Gas 3 Kg Tetap Disubsidi, Pemerintah Akan Uji Coba Distribusi Tertutup
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memastikan tidak akan mencabut subsidi gas elpiji 3 kilogram (kg) sehingga harganya tetap. Namun, pemerintah masih terus mencari formula yang pas untuk mengontrol subsidi tepat sasaran.
"Sudah dipastikan tidak ada pengalihan subsidi sehingga tidak menyebabkan kenaikan harga di pasaran,” ujar Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Alimuddin Baso saat diskusi bertajuk “Perubahan Skema Elpiji 3 Kg” di Jakarta kemarin.
Tapi, lanjut dia, ke depan konsumsi elpiji 3 kg harus dikontrol supaya tepat sasaran. Untuk itu, pihaknya terus melakukan kajian secara matang. Di antaranya dengan melakukan uji coba distribusi elpiji 3 kg secara tertutup sehingga mekanisme subsidi tersebut nanti tepat sasaran.
Menurut dia, saat ini kajian terkait distribusi elpiji 3 kg secara tertutup masih dalam kajian antar lembaga/kementerian. Kajian tersebut melibatkan Kementerian ESDM, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusiadan Kebudayaan (Menko PMK).
Adapun kajian tersebut satu di antaranya terkait kelayakan data penerima subsidi dan skema pembayaran subsidi. Rencananya pemerintah akan mengubah dari subsidi barang atau komoditas dialihkan menjadi subsidi langsung diterima masyarakat.
“Apakah nanti menggunakan sistem biometrik maupun barcode ini masih dalam kajian bersama. Selain itu, kami juga masih melakukan pematangan data penerima supaya subsidi benar-benar tepat sasaran dan dapat diterima bagi yang berhak,” katanya.
Alimuddin mengungkapkan, konsumsi elpiji 3 kg dari tahun ke tahun terus meningkat sehingga membebani keuangan negara. Realisasi subsidi elpiji 3 kg pada 2019 tembus Rp42,47 triliun dari total alokasi subsidi energi di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp75,55 triliun.
Dia merinci pada kurun 2014-2015 konsumsi elpiji 3 kg mengalami peningkatan 5%. Pada kurun waktu 2015-2016 meningkat sebesar 7%. Sementara pada kurun waktu 2018-2019 konsumsi elpiji 3 kg meningkat sebesar 4,9%.
Anggota DPR Komisi VII Kardaya Warnika meminta pemerintah tidak gegabah dalam rencana menerapkan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup. Perubahan skema subsidi dari semula diberikan pada komoditas beralih secara langsung ke perorangan harus dikaji secara matang supaya tidak membuat gaduh di masyarakat.
Menurut dia, pemerintah terlalu gegabah mengungkap rencana penerapan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup yang rencananya diterapkan Juni mendatang pasalnya secara data dan kajian belum siap sama sekali.
Pihaknya bahkan menyebut mekanismenya juga tidak diperhitungkan secara benar seperti akan disalurkan kepada golongan masyarakat tidak mampu melalui sistem barcode atau QR Code.
“Sepertinya pemerintah tidak memperhitungkan kalau ada masyarakat tidak mampu yang tidak punya handphone. Kemudian barcode itu di warung-warung itu apakah semua ada. Ini tidak masuk akal dan saya mengusulkan kalau menyangkut hajat orang banyak harus dikaji secara matang, jangan ngomong keluar dan perlu dilakukan pilot project,” katanya.
Pihaknya meminta pemerintah meniru gaya mantan Presiden Soeharto dalam membuat kebijakan. Menurutnya, mantan Presiden Soeharto kalau membuat kebijakan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sangat terukur. “Zaman Pak Harto itu detail sekali kalau ingin mengeluarkan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak. Benar-benar memperhitungkan dampaknya baik itu inflasi dan dampak lain ke masyarakat. Sekarang belum apa-apa sudah ngomong,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai rencana pemerintah mengubah distribusi subsidi elpiji 3 kilogram dari terbuka menjadi tertutup merupakan wujud kepanikan dalam merespons defisit neraca perdagangan akibat dari impor migas.
Padahal, defisit neraca perdagangan migas terjadi lama saat Pemerintah Indonesia keluar dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi(Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC).
“Tapi, di sisi lain pemerintah panik karena berbagai kebijakan seperti mandatori B30, penyerapan minyak KKKS dalam negeri ke Pertamina belum mampu mengurangi impor secara signifikan, dan akhirnya memaksa akan menerapkan kebijakan perubahan skema elpji 3 kg,“ katanya.
Menurut dia, seharusnya pemerintah tidak perlu panik dalam merespons defisit neraca perdagangan migas sehingga membuat gaduh masyarakat. Pihaknya menyarankan apabila pemerintah ingin menerapkan kebijakan yang bersentuhan langsung ke masyarakat, seharusnya itu dikaji secara matang dan kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.
“Memang benar elpiji 75% harus impor, tapi kepanikan ini menunjukkan pemerintah tidak melakukan perencanaan secara jangka panjang,” tandasnya.
Dia mengatakan ide distribusi elpiji 3 kg tersebut baik untuk diterapkan. Meski begitu, pemerintah perlu mematangkan basis datanya supaya tidak terjadi kesalahan di lapangan.
Di sisi lain, pemerintah juga belum melaporkan kepada parlemen terkait rencana implementasi distribusi elpiji tertutup tersebut, tapi sudah berwacana sehingga mengakibatkan kegaduhan di masyarakat.
Tidak hanya itu, Komaidi juga menilai kajian terkait distribusi elpiji 3 kg secara tertutup belum matang. “Niat bagus bisa jadi tidak bagus kalau dilakukan dengan cara tidak baik,” ujarnya.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fahmy Radhi meminta konsumsi elpiji 3 kg dikendalikan supaya tidak membebani keuangan negara. Menu-rutnya, ada dua cara mengendalikan subsidi elpiji yakni dengan jangka pendek dan jangka panjang. “Jangka pendek harus dilakukan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup dan secara jangka panjang perlu ditingkatkan pembangunan jaringan gas dan kompor listrik,” ujarnya.
Dia mengatakan, penerapan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup dapat dilakukan dengan sistem barcode. Adapun pendataan warga miskin bisa dimasukkan dalam data based penerima bantuan beras untuk rakyat miskin sebagai penerima subsidi langsung.
“Meski begitu, perlu dibuat roadmap supaya solusi jangka pendek dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga secara jangka panjang baik pembangunan jaringan gas ataupun kompor listrik,” katanya.
"Sudah dipastikan tidak ada pengalihan subsidi sehingga tidak menyebabkan kenaikan harga di pasaran,” ujar Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Alimuddin Baso saat diskusi bertajuk “Perubahan Skema Elpiji 3 Kg” di Jakarta kemarin.
Tapi, lanjut dia, ke depan konsumsi elpiji 3 kg harus dikontrol supaya tepat sasaran. Untuk itu, pihaknya terus melakukan kajian secara matang. Di antaranya dengan melakukan uji coba distribusi elpiji 3 kg secara tertutup sehingga mekanisme subsidi tersebut nanti tepat sasaran.
Menurut dia, saat ini kajian terkait distribusi elpiji 3 kg secara tertutup masih dalam kajian antar lembaga/kementerian. Kajian tersebut melibatkan Kementerian ESDM, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusiadan Kebudayaan (Menko PMK).
Adapun kajian tersebut satu di antaranya terkait kelayakan data penerima subsidi dan skema pembayaran subsidi. Rencananya pemerintah akan mengubah dari subsidi barang atau komoditas dialihkan menjadi subsidi langsung diterima masyarakat.
“Apakah nanti menggunakan sistem biometrik maupun barcode ini masih dalam kajian bersama. Selain itu, kami juga masih melakukan pematangan data penerima supaya subsidi benar-benar tepat sasaran dan dapat diterima bagi yang berhak,” katanya.
Alimuddin mengungkapkan, konsumsi elpiji 3 kg dari tahun ke tahun terus meningkat sehingga membebani keuangan negara. Realisasi subsidi elpiji 3 kg pada 2019 tembus Rp42,47 triliun dari total alokasi subsidi energi di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar Rp75,55 triliun.
Dia merinci pada kurun 2014-2015 konsumsi elpiji 3 kg mengalami peningkatan 5%. Pada kurun waktu 2015-2016 meningkat sebesar 7%. Sementara pada kurun waktu 2018-2019 konsumsi elpiji 3 kg meningkat sebesar 4,9%.
Anggota DPR Komisi VII Kardaya Warnika meminta pemerintah tidak gegabah dalam rencana menerapkan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup. Perubahan skema subsidi dari semula diberikan pada komoditas beralih secara langsung ke perorangan harus dikaji secara matang supaya tidak membuat gaduh di masyarakat.
Menurut dia, pemerintah terlalu gegabah mengungkap rencana penerapan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup yang rencananya diterapkan Juni mendatang pasalnya secara data dan kajian belum siap sama sekali.
Pihaknya bahkan menyebut mekanismenya juga tidak diperhitungkan secara benar seperti akan disalurkan kepada golongan masyarakat tidak mampu melalui sistem barcode atau QR Code.
“Sepertinya pemerintah tidak memperhitungkan kalau ada masyarakat tidak mampu yang tidak punya handphone. Kemudian barcode itu di warung-warung itu apakah semua ada. Ini tidak masuk akal dan saya mengusulkan kalau menyangkut hajat orang banyak harus dikaji secara matang, jangan ngomong keluar dan perlu dilakukan pilot project,” katanya.
Pihaknya meminta pemerintah meniru gaya mantan Presiden Soeharto dalam membuat kebijakan. Menurutnya, mantan Presiden Soeharto kalau membuat kebijakan yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak sangat terukur. “Zaman Pak Harto itu detail sekali kalau ingin mengeluarkan kebijakan terkait hajat hidup orang banyak. Benar-benar memperhitungkan dampaknya baik itu inflasi dan dampak lain ke masyarakat. Sekarang belum apa-apa sudah ngomong,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai rencana pemerintah mengubah distribusi subsidi elpiji 3 kilogram dari terbuka menjadi tertutup merupakan wujud kepanikan dalam merespons defisit neraca perdagangan akibat dari impor migas.
Padahal, defisit neraca perdagangan migas terjadi lama saat Pemerintah Indonesia keluar dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi(Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC).
“Tapi, di sisi lain pemerintah panik karena berbagai kebijakan seperti mandatori B30, penyerapan minyak KKKS dalam negeri ke Pertamina belum mampu mengurangi impor secara signifikan, dan akhirnya memaksa akan menerapkan kebijakan perubahan skema elpji 3 kg,“ katanya.
Menurut dia, seharusnya pemerintah tidak perlu panik dalam merespons defisit neraca perdagangan migas sehingga membuat gaduh masyarakat. Pihaknya menyarankan apabila pemerintah ingin menerapkan kebijakan yang bersentuhan langsung ke masyarakat, seharusnya itu dikaji secara matang dan kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.
“Memang benar elpiji 75% harus impor, tapi kepanikan ini menunjukkan pemerintah tidak melakukan perencanaan secara jangka panjang,” tandasnya.
Dia mengatakan ide distribusi elpiji 3 kg tersebut baik untuk diterapkan. Meski begitu, pemerintah perlu mematangkan basis datanya supaya tidak terjadi kesalahan di lapangan.
Di sisi lain, pemerintah juga belum melaporkan kepada parlemen terkait rencana implementasi distribusi elpiji tertutup tersebut, tapi sudah berwacana sehingga mengakibatkan kegaduhan di masyarakat.
Tidak hanya itu, Komaidi juga menilai kajian terkait distribusi elpiji 3 kg secara tertutup belum matang. “Niat bagus bisa jadi tidak bagus kalau dilakukan dengan cara tidak baik,” ujarnya.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fahmy Radhi meminta konsumsi elpiji 3 kg dikendalikan supaya tidak membebani keuangan negara. Menu-rutnya, ada dua cara mengendalikan subsidi elpiji yakni dengan jangka pendek dan jangka panjang. “Jangka pendek harus dilakukan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup dan secara jangka panjang perlu ditingkatkan pembangunan jaringan gas dan kompor listrik,” ujarnya.
Dia mengatakan, penerapan distribusi elpiji 3 kg secara tertutup dapat dilakukan dengan sistem barcode. Adapun pendataan warga miskin bisa dimasukkan dalam data based penerima bantuan beras untuk rakyat miskin sebagai penerima subsidi langsung.
“Meski begitu, perlu dibuat roadmap supaya solusi jangka pendek dapat dipertanggungjawabkan. Begitu juga secara jangka panjang baik pembangunan jaringan gas ataupun kompor listrik,” katanya.
(ysw)