Ekspor LNG, PGN Jajaki Potensi Pasar Baru di ASEAN Hingga Eropa
A
A
A
JAKARTA - PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. (PGN) saat ini sedang menjajaki potensi ekspor ke luar negeri setelah mengambil alih pengelolaan bisnis gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) milik PT Pertamina (Persero). Saat ini, PGN sedang memetakan potensi pasar ekspor LNG baik lingkup ASEAN hingga Eropa.
“Seluruh bisnis LNG sudah di PGN. Saat ini kami sedang mencari pasar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” ujar Direktur Utama PGN Gigih Prakoso saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/2/2020).
Menurut dia, terdapat sejumlah potensi yang sedang dipetakan oleh PGN dan telah masuk dalam portofolio perusahaan. Adapun wilayah ASEAN, imbuhnya, masih menjadi potensi besar untuk terus dikembangkan.
Selain itu, PGN juga sedang menjajaki peluang ekspor LNG baru ke Eropa. “Kami saat ini sedang menentukan market baru di luar negeri untuk dapat mengoptimalisasi portofolio LNG ke pasar internasional,” tandas dia.
Berdasarkan laporan PGN, Filipina menjadi potensi ekspor LNG dengan total kebutuhan mencapai 1 metrik ton per annum (mtpa) atu 18 kargo pada 2023-2043. Kemudian Myanmar diproyeksikan menjadi pasar LNG PGN dengan potensi kebutuhan mencapai 0,5 mtpa.
Selanjutnya Jepang ditargetkan bakal menyerap 2 kargo LNG pada tahun ini dan China ditargetkan bakal menjadi sasaran ekspor PGN dengan total potensi mencapai 6-7 kargo per tahun yang akan dimulai pada 2020 ini. Selanjutnya pasar Eropa berpotensi menyerap LNG sebanyak 2 kargo pada tahun ini.
Di sisi lain, PGN juga akan mengoptimalkan pasokan LNG di dalam negeri seiring kebijakan pemerintah meminta PT PLN (Persero) mengubah energi pembangkit listriknya dari bahan bakar minyak (BBM) menjadi LNG sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 13 Tahun 2020. Dalam hal ini, PGN diminta Pertamina selaku induk perusahaan untuk memasok kebutuhan LNG ke PLN hingga membangun infrastruktur gasnya.
Untuk memasok sekitar 52 pembangkit listrik yang direncanakan bakal beralih dari BBM ke gas tersebut, penyaluran LNG akan dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama meliputi penyaluran gas sebesar 96 british thermal unit per hari (bbtud) untuk pembangkit yang berada di Krueng, Nias, kluster Nusa Tenggara, kluster Kalimantan Barat, kluster Papua Utara dengan total kapasitas mencapai 1.164 megawatt (mw).
Tahap kedua meliputi penyaluran gas 33 bbtud untuk kluster Sulawesi dan kluster Maluku dengan kapasitas pembangkit sebesar 278 mw. Tahap ketiga meliputi kluster Maluku Utara dan kluster Papua Selatan untuk penyaluran gas sebesar 19 bbtud dengan total kapasitas pembangkit 240 MW. Selanjutnya, tahap quick win di Tanjung Selor untuk pembangkit berkapasitas 15 mw dengan penyaluran gas sebesar 0,66 bbtud melalui iso tank.
Gigih memproyeksikan penyediaan pasokan LNG hingga pembangunan infrastrutur gas dapat selesai dalam kurun waktu dua tahun. Pihaknya mengatakan gasifikasi pembangkit listrik tersebut diperkirakan PLN mampu melakukan efisiensi mencapai Rp1,92 triliun per tahun.
“Targetnya rampung dalam waktu dua tahun dengan empat tahapan yang kami lakukan. Dengan adanya penugasan tersebut PLN bisa menghemat Rp1,92 triliun per tahun,” kata dia.
Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan, untuk menindaklanjuti penyediaan pasokan dan infrastruktur gas pembangkit tersebut PGN bersama PLN akan melakukan kerja sama penandatanganan Head of Agreement yang diperkirakan bakal terlaksana pada kuartal I/2020. Penugasan tersebut merupakan fase baru dalam memperkuat pengelolaan bisnis gas bumi secara terintegrasi baik melalui pipa, CNG, dan LNG.
Menurut Rahmat, penyediaan pasokan kebijakan konversi BBM ke gas tersebut diharapkan mampu memberikan harga biaya pokok penyediaan tenaga listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar lainnya jenis High Speed Diesel (HSD) dengan mengoptimalkan pemanfaatan kargo LNG yang dimiliki oleh Pertamina sejalan bersama implementasi konsolisasi bisnis gas.
Pihaknya juga berharap milestone ini semakin memperkuat peran subholding gas dalam melayani kebutuhan gas bumi seluruh sektor, khususnya di dalam menekan biaya konsumsi energi yang akan membantu efisiensi dan defisit neraca migas nasional.
“Hal ini cukup rasional di mana selama ini harga gas bumi masih cukup bersaing di banding dengan BBM. Kami yakin pemerintah akan memberikan dukungan terbaik dalam pencapaian pelaksanaan program tersebut,” kata dia.
“Seluruh bisnis LNG sudah di PGN. Saat ini kami sedang mencari pasar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” ujar Direktur Utama PGN Gigih Prakoso saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/2/2020).
Menurut dia, terdapat sejumlah potensi yang sedang dipetakan oleh PGN dan telah masuk dalam portofolio perusahaan. Adapun wilayah ASEAN, imbuhnya, masih menjadi potensi besar untuk terus dikembangkan.
Selain itu, PGN juga sedang menjajaki peluang ekspor LNG baru ke Eropa. “Kami saat ini sedang menentukan market baru di luar negeri untuk dapat mengoptimalisasi portofolio LNG ke pasar internasional,” tandas dia.
Berdasarkan laporan PGN, Filipina menjadi potensi ekspor LNG dengan total kebutuhan mencapai 1 metrik ton per annum (mtpa) atu 18 kargo pada 2023-2043. Kemudian Myanmar diproyeksikan menjadi pasar LNG PGN dengan potensi kebutuhan mencapai 0,5 mtpa.
Selanjutnya Jepang ditargetkan bakal menyerap 2 kargo LNG pada tahun ini dan China ditargetkan bakal menjadi sasaran ekspor PGN dengan total potensi mencapai 6-7 kargo per tahun yang akan dimulai pada 2020 ini. Selanjutnya pasar Eropa berpotensi menyerap LNG sebanyak 2 kargo pada tahun ini.
Di sisi lain, PGN juga akan mengoptimalkan pasokan LNG di dalam negeri seiring kebijakan pemerintah meminta PT PLN (Persero) mengubah energi pembangkit listriknya dari bahan bakar minyak (BBM) menjadi LNG sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 13 Tahun 2020. Dalam hal ini, PGN diminta Pertamina selaku induk perusahaan untuk memasok kebutuhan LNG ke PLN hingga membangun infrastruktur gasnya.
Untuk memasok sekitar 52 pembangkit listrik yang direncanakan bakal beralih dari BBM ke gas tersebut, penyaluran LNG akan dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama meliputi penyaluran gas sebesar 96 british thermal unit per hari (bbtud) untuk pembangkit yang berada di Krueng, Nias, kluster Nusa Tenggara, kluster Kalimantan Barat, kluster Papua Utara dengan total kapasitas mencapai 1.164 megawatt (mw).
Tahap kedua meliputi penyaluran gas 33 bbtud untuk kluster Sulawesi dan kluster Maluku dengan kapasitas pembangkit sebesar 278 mw. Tahap ketiga meliputi kluster Maluku Utara dan kluster Papua Selatan untuk penyaluran gas sebesar 19 bbtud dengan total kapasitas pembangkit 240 MW. Selanjutnya, tahap quick win di Tanjung Selor untuk pembangkit berkapasitas 15 mw dengan penyaluran gas sebesar 0,66 bbtud melalui iso tank.
Gigih memproyeksikan penyediaan pasokan LNG hingga pembangunan infrastrutur gas dapat selesai dalam kurun waktu dua tahun. Pihaknya mengatakan gasifikasi pembangkit listrik tersebut diperkirakan PLN mampu melakukan efisiensi mencapai Rp1,92 triliun per tahun.
“Targetnya rampung dalam waktu dua tahun dengan empat tahapan yang kami lakukan. Dengan adanya penugasan tersebut PLN bisa menghemat Rp1,92 triliun per tahun,” kata dia.
Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama mengatakan, untuk menindaklanjuti penyediaan pasokan dan infrastruktur gas pembangkit tersebut PGN bersama PLN akan melakukan kerja sama penandatanganan Head of Agreement yang diperkirakan bakal terlaksana pada kuartal I/2020. Penugasan tersebut merupakan fase baru dalam memperkuat pengelolaan bisnis gas bumi secara terintegrasi baik melalui pipa, CNG, dan LNG.
Menurut Rahmat, penyediaan pasokan kebijakan konversi BBM ke gas tersebut diharapkan mampu memberikan harga biaya pokok penyediaan tenaga listrik yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan bahan bakar lainnya jenis High Speed Diesel (HSD) dengan mengoptimalkan pemanfaatan kargo LNG yang dimiliki oleh Pertamina sejalan bersama implementasi konsolisasi bisnis gas.
Pihaknya juga berharap milestone ini semakin memperkuat peran subholding gas dalam melayani kebutuhan gas bumi seluruh sektor, khususnya di dalam menekan biaya konsumsi energi yang akan membantu efisiensi dan defisit neraca migas nasional.
“Hal ini cukup rasional di mana selama ini harga gas bumi masih cukup bersaing di banding dengan BBM. Kami yakin pemerintah akan memberikan dukungan terbaik dalam pencapaian pelaksanaan program tersebut,” kata dia.
(ind)