Prosedur Izin Impor Bahan Pangan di Indonesia Dinilai Masih Rumit
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Eka Sastra menyebutkan bahwa virus corona, selain musibah, juga menjadi titik evaluasi tata produksi dan distribusi Indonesia. Terlebih lagi, tingkat efisiensi produksi Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya.
"Contoh dari sisi produksi, beras kita 50% sampai berapa kali lebih tinggi dibandingkan negara lain, sehingga mau tidak mau kita harus membenahi sistem produksi mulai dari lahan dan tenaga kerja," ujar Eka di Jakarta, Sabtu (7/3/2020).
Dia juga mengkritisi pola distribusi atau tata niaga Indonesia yang dinilai masih rumit dalam soal perizinan impor. "Kalau kita harus menunggu Surat Perizinan Impor (SPI) di kondisi seperti ini, ya stoknya keburu habis. Presiden Joko Widodo kan sudah bilang kalau perizinan impor harus dipercepat prosesnya," ungkap Eka.
Ia mengatakan bahwa SPI sebenarnya adalah Permendag, yang harusnya lebih mudah dicabut kapan saja oleh eksekutif dengan kebijakan yang lebih efisien. Terlebih lagi, Eka menyampaikan bahwa sistem impor Indonesia sudah sangat ketinggalan zaman, masih menggunakan sistem kuota.
"Harusnya kita pakai sistem tarif, jadi di sini tarifnya yang kita mainkan. Sistem ini lebih kompetitif dan terbuka, jadi ngga perlu prosedur birokratif yang ribet," jelasnya.
Eka menambahkan, dengan sistem tata niaga yang lebih terbuka dan adil, akan lebih mudah bagi pengusaha muda dan baru untuk berkembang, serta memudahkan produsen dan konsumen.
"Jadi, dengan sistem ini, kita menggabungkan visible hands (pemerintah) dan invisible hands (pasar). Jadi ada mekanisme pasar yang dikontrol secara serius oleh pemerintah," tuturnya.
"Contoh dari sisi produksi, beras kita 50% sampai berapa kali lebih tinggi dibandingkan negara lain, sehingga mau tidak mau kita harus membenahi sistem produksi mulai dari lahan dan tenaga kerja," ujar Eka di Jakarta, Sabtu (7/3/2020).
Dia juga mengkritisi pola distribusi atau tata niaga Indonesia yang dinilai masih rumit dalam soal perizinan impor. "Kalau kita harus menunggu Surat Perizinan Impor (SPI) di kondisi seperti ini, ya stoknya keburu habis. Presiden Joko Widodo kan sudah bilang kalau perizinan impor harus dipercepat prosesnya," ungkap Eka.
Ia mengatakan bahwa SPI sebenarnya adalah Permendag, yang harusnya lebih mudah dicabut kapan saja oleh eksekutif dengan kebijakan yang lebih efisien. Terlebih lagi, Eka menyampaikan bahwa sistem impor Indonesia sudah sangat ketinggalan zaman, masih menggunakan sistem kuota.
"Harusnya kita pakai sistem tarif, jadi di sini tarifnya yang kita mainkan. Sistem ini lebih kompetitif dan terbuka, jadi ngga perlu prosedur birokratif yang ribet," jelasnya.
Eka menambahkan, dengan sistem tata niaga yang lebih terbuka dan adil, akan lebih mudah bagi pengusaha muda dan baru untuk berkembang, serta memudahkan produsen dan konsumen.
"Jadi, dengan sistem ini, kita menggabungkan visible hands (pemerintah) dan invisible hands (pasar). Jadi ada mekanisme pasar yang dikontrol secara serius oleh pemerintah," tuturnya.
(fjo)