Kementerian ESDM Pastikan Penurunan Harga Gas Industri Difinalisasi
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengusahakan agar penurunan harga gas sebesar USD6 per Million British Thermal Unit(MMBTU) menyasar pembangkit listrik. Saat ini penurunan harga gas industri tersebut telah masuk tahap finalisasi.
Rencananya, penurunan harga gas akan diterapkan pada 1 April 2020 mendatang. “Jadi, nanti untuk pembangkit listrik juga. Tunggu saja tinggal beberapa minggu lagi,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, penetapan harga gas sebesar USD6 per MMBTU telah diusulkan untuk masuk dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 40/2016 yang kemudian akan diatur melalui Peraturan Menteri ESDM. “Jadi, nanti bisa (dalam bentuk) peraturan presiden atau peraturan menteri,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, apabila penurunan harga gas tersebut menyasar pembangkit listrik, kinerja keuangan PLN akan semakin sehat. Sebab, turunnya harga gas akan sangat berpengaruh terhadap besaran biaya pokok produksi (BPP). “Kalau harga gas ini bisa diubah maka akan sangat membantu keuangan PLN. Sebab, turunnya harga gas akan sangat berpengaruh terhadap besaran BPP,” kata dia.
Menurut dia, tahun ini PLN menganggarkan sebesar Rp359,03 triliun untuk penyediaan BPP. Adapun sebesar 41%-nya atau Rp146,67 triliun digunakan perseroan untuk belanja bahan bakar. Kemudian porsi belanja bahan bakar gas pembangkit listrik PLN mencapai sebesar 38,36% atau Rp60,98 triliun. Adapun alokasi belanja bahan bakar gas dalam penyediaan BPP porsinya paling besar dibandingkan dengan bahan bakar lainnya.
Rinciannya, alokasi belanja bahan bakar batu bara sebesar Rp56,26 triliun, bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp24,17 triliun, serta bahan bakar dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp5,24 triliun. Namun begitu, listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas tidak sebesar batu bara.
Rida menyebutkan, kapasitas daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas sebesar 65,24 terawat thours (Twh) atau mencapai 21,28% dari total kapasitas yang dihasilkan dari berbagai macam pembangkit. Adapun jumlah itu lebih kecil dibandingkan degan kapasitas tenaga listrik yang dihasilkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mencapai 187,52 Twh. (Baca: Rencana Penurunan Harga Gas Industri Dipertanyakan)
“Oleh karena itu, turunnya harga gas sangat berpengaruh terhadap BPP sehingga menghemat keuangan PLN, dan pada ujungnya mengurangi beban subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata dia. Rida mengungkapkan, apabila harga gas pembangkit listrik diturunkan sebesar USD6per MMBTU, maka penghematan yang dihasilkan PLN mencapai Rp18,58 triliun. Efisiensi tersebut diperoleh dari penghematan kompensasi sebesar Rp14,2 triliun dan subsidi sebesar Rp4,38 triliun. Penghematan itu dihitung berdasarkan asumsi harga gas pembangkit tahun ini sebesar USD8,39 per MMBTU.
Dengan demikian, kata dia, akan terjadi efisiensi USD2,39per MMBTU apabila harga gas diturunkan menjadi USD6 perMMBTU kemudian dikalikan dengan volume kebutuhan gas di masing-masing pembangkit. “Jadi, kalau dari sisi hilirnya, yaitu pengguna seperti PLN jelas akan terjadi penghematan. Tapi, kalau harganya tetap, maka tidak akan terjadi penghematan,” katanya.
Rida mengatakan, penghematan sebesar Rp18,58 triliun tersebut belum dihitung dari rencana PLN melaksanakan program konversi pembangkitdari BBM ke gas sebanyak 52 pembangkit. Pihaknya mengatakan, apabila penurunan harga gas termasuk 52 pembangkit tersebut, maka penghematan PLN akan lebih dahsyat lagi. “Kalau itu diintervensi lebih dahsyat lagi. Penghematan bisa dua kali lipat,” ujarnya.
Rida pun berharap penurunan harga gas untuk pembangkit listrik dimasukkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2016. Saat ini rencana penurunan harga gas untuk pembangkit listrik sedang dikaji di Kementerian Keuangan. “Lagi dihitung dulu dampaknya ke penerimaan negara oleh Kemenkeu,” kata dia.
Konsumsi Listrik Diproyeksi Tumbuh Melambat
Sementara itu, pemerintah memprediksi konsumsi listrik PLN tahun ini bakal lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu akibat kondisi ekonomi yang lesu dari wabah virus corona.
Berdasarkan laporan Kementerian ESDM, realisasi konsumsi listrik pada 2019 tumbuh 4,5% lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan sebesar 6,5%. “Asumsi tahun lalu itu 6,5%, tapi kenyataannya hanya tumbuh 4,5%. Kemungkinannya tahun ini konsumsi listrik akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu walaupun tahun ini masih berjalan,” ujar Arifin.
Dia pun mendorong agar PLN lebih proaktif dalam memasarkan listrik khususnya untuk sektor industri. Upaya tersebut dilakukan guna mendorong pertumbuhan konsumsi listrik supaya bisa lebih optimal. “PLN harus lebih didorong supaya lebih proaktif, karena penjualan listrik keindustri itu sifatnya business to business(b to b),” kata dia. (Baca juga: DPR Minta Penurunan Harga Gas Tidak Diberikan untuk Industri Asing)
Pihaknya meminta di tengah penurunan konsumsi listrik, kapasitas daya yang berlebih dapat dimanfaatkan secara optimal. Apalagi reserve margin tenaga listrik saat ini rata-rata bisa mencapai 40% sehingga harus dimanfaatkan supaya bisa terserap. (Nanang Wijayanto)
Rencananya, penurunan harga gas akan diterapkan pada 1 April 2020 mendatang. “Jadi, nanti untuk pembangkit listrik juga. Tunggu saja tinggal beberapa minggu lagi,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, penetapan harga gas sebesar USD6 per MMBTU telah diusulkan untuk masuk dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 40/2016 yang kemudian akan diatur melalui Peraturan Menteri ESDM. “Jadi, nanti bisa (dalam bentuk) peraturan presiden atau peraturan menteri,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, apabila penurunan harga gas tersebut menyasar pembangkit listrik, kinerja keuangan PLN akan semakin sehat. Sebab, turunnya harga gas akan sangat berpengaruh terhadap besaran biaya pokok produksi (BPP). “Kalau harga gas ini bisa diubah maka akan sangat membantu keuangan PLN. Sebab, turunnya harga gas akan sangat berpengaruh terhadap besaran BPP,” kata dia.
Menurut dia, tahun ini PLN menganggarkan sebesar Rp359,03 triliun untuk penyediaan BPP. Adapun sebesar 41%-nya atau Rp146,67 triliun digunakan perseroan untuk belanja bahan bakar. Kemudian porsi belanja bahan bakar gas pembangkit listrik PLN mencapai sebesar 38,36% atau Rp60,98 triliun. Adapun alokasi belanja bahan bakar gas dalam penyediaan BPP porsinya paling besar dibandingkan dengan bahan bakar lainnya.
Rinciannya, alokasi belanja bahan bakar batu bara sebesar Rp56,26 triliun, bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN) sebesar Rp24,17 triliun, serta bahan bakar dari energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp5,24 triliun. Namun begitu, listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas tidak sebesar batu bara.
Rida menyebutkan, kapasitas daya listrik yang dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar gas sebesar 65,24 terawat thours (Twh) atau mencapai 21,28% dari total kapasitas yang dihasilkan dari berbagai macam pembangkit. Adapun jumlah itu lebih kecil dibandingkan degan kapasitas tenaga listrik yang dihasilkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang mencapai 187,52 Twh. (Baca: Rencana Penurunan Harga Gas Industri Dipertanyakan)
“Oleh karena itu, turunnya harga gas sangat berpengaruh terhadap BPP sehingga menghemat keuangan PLN, dan pada ujungnya mengurangi beban subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata dia. Rida mengungkapkan, apabila harga gas pembangkit listrik diturunkan sebesar USD6per MMBTU, maka penghematan yang dihasilkan PLN mencapai Rp18,58 triliun. Efisiensi tersebut diperoleh dari penghematan kompensasi sebesar Rp14,2 triliun dan subsidi sebesar Rp4,38 triliun. Penghematan itu dihitung berdasarkan asumsi harga gas pembangkit tahun ini sebesar USD8,39 per MMBTU.
Dengan demikian, kata dia, akan terjadi efisiensi USD2,39per MMBTU apabila harga gas diturunkan menjadi USD6 perMMBTU kemudian dikalikan dengan volume kebutuhan gas di masing-masing pembangkit. “Jadi, kalau dari sisi hilirnya, yaitu pengguna seperti PLN jelas akan terjadi penghematan. Tapi, kalau harganya tetap, maka tidak akan terjadi penghematan,” katanya.
Rida mengatakan, penghematan sebesar Rp18,58 triliun tersebut belum dihitung dari rencana PLN melaksanakan program konversi pembangkitdari BBM ke gas sebanyak 52 pembangkit. Pihaknya mengatakan, apabila penurunan harga gas termasuk 52 pembangkit tersebut, maka penghematan PLN akan lebih dahsyat lagi. “Kalau itu diintervensi lebih dahsyat lagi. Penghematan bisa dua kali lipat,” ujarnya.
Rida pun berharap penurunan harga gas untuk pembangkit listrik dimasukkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40/2016. Saat ini rencana penurunan harga gas untuk pembangkit listrik sedang dikaji di Kementerian Keuangan. “Lagi dihitung dulu dampaknya ke penerimaan negara oleh Kemenkeu,” kata dia.
Konsumsi Listrik Diproyeksi Tumbuh Melambat
Sementara itu, pemerintah memprediksi konsumsi listrik PLN tahun ini bakal lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu akibat kondisi ekonomi yang lesu dari wabah virus corona.
Berdasarkan laporan Kementerian ESDM, realisasi konsumsi listrik pada 2019 tumbuh 4,5% lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan sebesar 6,5%. “Asumsi tahun lalu itu 6,5%, tapi kenyataannya hanya tumbuh 4,5%. Kemungkinannya tahun ini konsumsi listrik akan lebih rendah dibandingkan tahun lalu walaupun tahun ini masih berjalan,” ujar Arifin.
Dia pun mendorong agar PLN lebih proaktif dalam memasarkan listrik khususnya untuk sektor industri. Upaya tersebut dilakukan guna mendorong pertumbuhan konsumsi listrik supaya bisa lebih optimal. “PLN harus lebih didorong supaya lebih proaktif, karena penjualan listrik keindustri itu sifatnya business to business(b to b),” kata dia. (Baca juga: DPR Minta Penurunan Harga Gas Tidak Diberikan untuk Industri Asing)
Pihaknya meminta di tengah penurunan konsumsi listrik, kapasitas daya yang berlebih dapat dimanfaatkan secara optimal. Apalagi reserve margin tenaga listrik saat ini rata-rata bisa mencapai 40% sehingga harus dimanfaatkan supaya bisa terserap. (Nanang Wijayanto)
(ysw)