BPJS Kesehatan Batal Naik, Pemerintah Harus Pastikan Subsidi Tepat Sasaran

Selasa, 10 Maret 2020 - 06:45 WIB
BPJS Kesehatan Batal Naik, Pemerintah Harus Pastikan Subsidi Tepat Sasaran
BPJS Kesehatan Batal Naik, Pemerintah Harus Pastikan Subsidi Tepat Sasaran
A A A
JAKARTA - Pemerintah harus kembali memutar otak untuk mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan . Hal ini seiring dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada gugatan uji materiil akhir Februari lalu.

Dengan demikian, iuran BPJS Kesehatan yang naik 100% per Januari 2020 otomatis kini tidak berlaku. Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 75/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 83/2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia tersebut," ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro dikutip dari amar putusan MA kemarin. (Baca: Sri Mulyani Siap Cairkan Rp12 Triliun untuk Tambah Defisit BPJS Kesehatan)

Diketahui Pasal 34 Perpres No 75/2019 menyebutkan iuran bagi BPJS Kesehatan yaitu sebesar Rp42.000 per orang per bulan untuk kelas III, kemudian Rp110.000 per orang per bulan untuk kelas perawatan II, dan Rp160.000 per orang per bulan untuk kelas perawatan I. Besaran iuran tersebut naik 100% dibandingkan ketentuan sebelumnya yang diatur pada Perpres 75 Tahun 2019 yakni kelas III Rp25.500, kelas II Rp51.000, dan kelas I Rp80.000.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan, pemerintah akan meninjau putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dia mengakui, BPJS Kesehatan secara keuangan memang merugi. Bahkan, menurutnya kucuran anggaran ke BPJS Kesehatan juga tidak banyak membantu.

“Saya sampaikan bahwa sampai dengan akhir Desember, kondisi keuangan BPJS meskipun saya sudah tambahkan Rp15 triliun dia masih negatif, hampir sekitar Rp13 triliun,” katanya.

Dia akan melihat implikasi dari putusan tersebut terhadap BPJS Kesehatan, termasuk pengaruhnya terhadap keuangan BPJS Kesehatan nantinya.

“Kalau dia secara keuangan akan terpengaruh, ya nanti kita lihat bagaimana BPJS Kesehatan akan bisa sustain. Dari sisi pelayanan jasa kesehatan kepada masyarakat secara luas,” ungkapnya. (Baca juga:

Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan bahwa pihaknya belum menerima salinan putusan MA terkait dikabulkannya judicial review Perpres No 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

“Sampai saat ini BPJS Kesehatan belum menerima salinan hasil putusan MA tersebut, sehingga belum dapat memberikan komentar lebih lanjut,“ kata Iqbal.

Iqbal menambahkan, saat ini BPJS Kesehatan belum bisa mengonfirmasi kebenaran isi putusan MA tersebut dan mempelajari hasilnya jika sudah diberikan. Apabila hasil konfirmasi sudah didapatkan dan teruji kebenarannya, BPJS Kesehatan akan melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Pada prinsipnya, BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari pemerintah,” tandas Iqbal.

Di bagian lain, anggota Komisi IX DPR Anwar Hafid menyambut baik putusan MA tersebut. Menurutnya, putusan tersebut menunjukkan bahwa negara masih hadir di tengah masyarakat. "Saya kira apa yang diputuskan oleh MA, pertama, pertanda negara hadir di tengah masyarakat. Negara masih peduli kepada rakyat kecil," ujar politikus Partai Demokrat ini di Jakarta kemarin.

Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, kata Anwar, menunjukkan bahwa negara masih mendengar suara hati rakyat yang disuarakan oleh DPR, khususnya Komisi IX yang selama ini kompak meneriakkan penolakan iuran BPJS. "Ini baru negara benar-benar hadir untuk rakyat," serunya.

Menurutnya, pelayanan kesehatan adalah hak seluruh rakyat Indonesia sehingga negara wajib menjamin bahwa tidak ada satu pun warga negara Indonesia, terlebih orang miskin, yang tidak dijamin pengobatannya oleh negara maupun oleh daerah. "Hakikatnya, BPJS lahir untuk rakyat yang susah hidupnya. Biarlah negara yang susah, asal jangan rakyat yang susah," paparnya.

Di sisi lain, Anwar meminta tata kelola keuangan BPJS Kesehatan dengan rumah sakit atau puskesmas diperbaiki. Dia meminta agar ada audit untuk memastikan permintaan klaim-klaim rumah sakit. “Apa benar sudah sesuai atau tidak,” ujarnya.

Menurutnya, selama ini persoalan klaim tersebut yang mengetahui hanya pihak rumah sakit dengan petugas BPJS. Dia mencontohkan dulu ketika dirinya menjadi bupati Morowali, Sulawesi Selatan, untuk mengetahui klaim Jamkesda, dia mempekerjakan dokter sebagai tim auditor sehingga benar-benar mengetahui laporan yang diberikan pihak rumah sakit memang sudah sesuai atau belum.

“Harusnya itu kalau betul kita mau membenahi BPJS, itu (persoalannya) diklaim (tagihan). Itu harus benar-benar kita jaga karena kemungkinan besar sumber kebocoran ada di situ, karena tidak semua verifikator BPJS itu tahu maka itu harus disoroti,” katanya.

Pastikan Subsidi Tepat Sasaran

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKB Anggia Ermarini bersyukur karena selama ini seluruh anggota Komisi IX telah berteriak lantang menyuarakan kenaikan iuran BPJS, khususnya untuk kelas III mandiri. "Kita bersyukurlah karena perjuangannya sudah lama banget, enggak karu-karuan," katanya.

Ketua Umum PP Fatayat NU ini mengatakan, dari hasil diskusi dengan berbagai kalangan, sebenarnya negara mampu mengalokasikan subsidi kesehatan, terutama untuk rakyat kecil yang membutuhkan. "Alhamdulillah, ini buat orang-orang yang sangat membutuhkan layanan kesehatan," tuturnya.

Kendati begitu, Anggia mengatakan bahwa negara masih memiliki pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan terkait dengan layanan kesehatan, yakni perlunya dilakukan pembenahan data orang-orang yang seharusnya berhak atau tidak berhak mendapatkan subsidi kesehatan dari negara. "Ini banyak orang yang seharusnya dapat subsidi kesehatan tapi tidak mendapatkan, dan sebaliknya banyak yang seharusnya tidak mendapatkan, tapi dapat," katanya.

Dikatakan Anggia, negara seharusnya bisa mencari sumber dana dari pos lainnya tanpa perlu mengutak-atik sumber dari subsidi kesehatan. Dia mencontohkan untuk subsidi bahan bakar minyak yang banyak juga dinikmati oleh kalangan mampu.

"Pasti ada jalan keluar kalau misalnya Menkeu secara keseluruhan cara berpikirnya lebih komprehensif. (Subsidi kesehatan) ini kan hak warga untuk mendapatkan fasilitas kesehatan," tuturnya.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Piter Abdullah mengatakan, banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan dengan tidak sekadar menaikkan anggaran BPJS Kesehatan. Menurut dia, keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran perlu dipertimbangkan dalam arti meningkatkan pengawasan.

“Selama ini BPJS juga harus memperhatikan tindakan-tindakan atau perawatan yang seharusnya tidak perlu dilakukan kepada peserta, sehingga kesannya berlebihan. Itu salah satu yang harus diawasi sehingga penggunaan pembayarannya terpantau sesuai semestinya,” ujarnya.

Di sisi lain, pengawasan yang perlu dilakukan adalah evaluasi kepesertaan BPJS selama ini yang rajin membayar dan yang sering menunda. “Artinya jika tindakannya sama, berarti yang sering bayar pasti akan berpikir buat apa rajin membayar kalau pelayanannya sama. Saya kira itu salah satu yang harus dievaluasi,” ungkapnya. (Abdul Rochim/Neneng Zubaidah/Raka Dwi Novianto/Dita Angga/Ichsan Amin)
(ysw)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5353 seconds (0.1#10.140)