Ini 4 Potensi Risiko Ekonomi dari Kebijakan Stimulus Dampak Corona
A
A
A
JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai kebijakan stimulus fiskal, pelebaran defisit, pembiayaan dalam rangka mempercepat penanggulangan wabah corona (Covid-19), memiliki setidaknya empat potensi risiko yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
"Yang pertama, risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar. Sayangnya penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing," ujar Direktur Riset CORE Piter Abdullah Redjalam di Jakarta, Kamis (9/4/2020).
Menurut dia, sekitar 35-40% SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun China. Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow).
"Contoh teranyar bisa dilihat pada bulan Februari dan Maret lalu ketika dana asing keluar sebanyak Rp145 triliun dari surat utang pemerintah. Dampaknya imbal hasil SUN meningkat dan beban biaya penerbitan SUN di masa mendatang menjadi lebih besar," tuturnya.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menambahkan, tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar.
"Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4%. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan. Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia," ungkap Yusuf.
Selanjutnya, risiko crowding out menurutnya juga bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.
"Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah," imbuhnya.
Risiko peningkatan utang luar negeri swasta juga membayangi. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri, maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung turun. Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89% utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS (USD) dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
"Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas. Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar. Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufaktur ataupun keuangan," pungkas Yusuf.
"Yang pertama, risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar. Sayangnya penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing," ujar Direktur Riset CORE Piter Abdullah Redjalam di Jakarta, Kamis (9/4/2020).
Menurut dia, sekitar 35-40% SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun China. Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow).
"Contoh teranyar bisa dilihat pada bulan Februari dan Maret lalu ketika dana asing keluar sebanyak Rp145 triliun dari surat utang pemerintah. Dampaknya imbal hasil SUN meningkat dan beban biaya penerbitan SUN di masa mendatang menjadi lebih besar," tuturnya.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menambahkan, tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar.
"Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4%. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan. Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia," ungkap Yusuf.
Selanjutnya, risiko crowding out menurutnya juga bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.
"Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah," imbuhnya.
Risiko peningkatan utang luar negeri swasta juga membayangi. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri, maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung turun. Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89% utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS (USD) dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
"Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas. Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar. Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufaktur ataupun keuangan," pungkas Yusuf.
(fjo)