Menyoroti peraturan alih daya bank nasional

Kamis, 05 Januari 2012 - 10:04 WIB
Menyoroti peraturan...
Menyoroti peraturan alih daya bank nasional
A A A

Sindonews.com - Akhirnya, Bank Indonesia (BI) menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 13/25/2011, tanggal 9 Desember 2011, mengenai Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan ke Pihak Lain.

Sarinya, bank nasional tidak boleh menyerahkan kegiatan inti kepada pihak lain misalnya teller, customer service, analis kredit, account officer dan penagihan untuk kegiatan kredit. Bagaimana bank nasional menyikapinya? Tegasnya, bank nasional hanya dapat melakukan alih daya (outsourcing) untuk pekerjaan penunjang pada alur kegiatan usaha bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha bank (Pasal 4).

”Pekerjaan penunjang” adalah pekerjaan yang tidak harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha bank sehingga apabila pekerjaan itu tidak ada kegiatan dimaksud, masih dapat terlaksana tanpa gangguan berarti. Dalam alur kegiatan usaha bank misalnya pemberian kredit, antara lain pekerjaan call center, pemasaran.

Contoh pada pekerjaan penunjang pada alur kegiatan pendukung usaha bank, antara lain pekerjaan yang dilakukan sekretaris, pencatat agenda, resepsionis, petugas kebersihan, petugas keamanan, pramubakti, kurir, data entry,dan pengemudi. Selain itu, bank nasional dilarang melakukan alih daya yang mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau risiko dari objek pekerjaan yang dialihdayakan kepada perusahaan penyedia jasa (Pasal 5).

Dengan bahasa lebih lugas, misalnya dalam alih daya penagihan kredit melalui perjanjian pemborongan, bank dilarang mengalihkan risiko kredit yang ditimbulkan oleh tidak tertagihnya kredit dengan menggunakan cara seperti mekanisme penjualan tagihan kredit melalui skim anjak piutang. Artinya,bank nasional tetap bertanggung jawab atas risiko kredit. Lagi-lagi, bagaimana bank nasional menyikapinya? Pertama, menerapkan manajemen risiko.

Sungguh, PBI ini merupakan langkah strategis bagi industri perbankan nasional. Peraturan ini mengingatkan bahwa rekrutmen tenaga kerja alih daya membawa potensi risiko. Untuk itu, bank nasional diajak untuk menerapkan manajemen risiko dalam memilih perusahaan penyedia jasa. Intinya, bank nasional wajib melaksanakan jiwa manajemen risiko dengan melakukan identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko.

Pada umumnya, bank pelat merah telah memiliki perusahaan penyedia jasa sehingga dapat menerapkan manajemen risiko lebih dini. Mengapa? Karena divisi sumber daya manusia mereka pasti sudah menetapkan pagar-pagar bagi perusahaan penyedia jasa. Katakanlah, perusahaan penyedia jasa wajib menjaga kerahasiaan, pengamanan informasi bank, dan data nasabah bank dan membuat laporan tertulis secara berkala.

Nah, bagi bank nasional yang belum memiliki perusahaan penyedia jasa, wajib lebih teliti. Kedua, menjadi pelopor. Langkah BI ini merupakan pelopor sehingga diharapkan dapat memengaruhi industri lainnya untuk mengikutinya. Dengan bahasa lebih bening, industri lainnya juga akan mempekerjakan tenaga kerja alih daya hanya untuk pekerjaan penunjang usaha. Bukan bisnis inti.

Paling tidak, lembaga keuangan bukan bank (LKBB) antara lain perusahaan asuransi, sekuritas, pembiayaan, dan dana pensiun dapat meniru bank nasional. Untuk itu, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang membawahi LKBB sudah selayaknya dapat menerapkan kebijakan sebagaimana BI terapkan kepada bank nasional. Hal ini pada akhirnya kelak akan membantu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menata tenaga kerja alih daya.

Ketiga, memberikan jaminan kesehatan. Meski PBI tak mengaturnya, bank nasional sudah semestinya memberikan jaminan kesehatan kepada tenaga kerja alih daya dan keluarganya. Jadi,jaminan ini bukan hanya kepada tenaga kerja tetap.Ini bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada mereka sehingga dapat bekerja lebih produktif. Produktivitas tinggi akan mengerek pendapatan bank nasional.

Keempat, menyediakan pelatihan kerja. Bank nasional pun wajib memberikan pelatihan kerja kepada tenaga kerja alih daya.Hal ini bertujuan untuk membekali, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi.

Ujungnya, produktivitas kerja akan meningkat. Materinya meliputi pengetahuan produk (product knowledge) perbankan antara lain giro, tabungan, deposito, kredit, transaksi internasional (ekspor, impor, bank garansi, remitansi), treasury, manajemen risiko, kepatuhan, dan audit.

Pelatihan itu perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha. Kelima, memberikan perlindungan kerja. Bank nasional wajib pula memberikan perlindungan kerja yang meliputi kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan baik mental maupun fisik. Ringkas tutur, bank nasional hendaknya tidak meremehkan status tenaga kerja alih daya. Bahkan, bank nasional seharusnya juga memberikan tunjangan hari raya (THR) dan bonus tahunan.

Bukankah mereka selama ini telah memberikan kontribusi signifikan dalam mencetak laba tinggi? Keenam, mengatur tenaga kerja profesional. Bukan hanya itu. Kini ada kecenderungan bank nasional merekrut tenaga kerja profesional (pro hire) untuk posisi tertentu. Mengingat dianggap lebih profesional, mereka diperlakukan istimewa. Misalnya, mereka diberikan gaji lebih besar daripada posisi yang sama yang dipangku tenaga kerja biasa. Ini menimbulkan efek kecemburuan sosial dan iklim lingkungan kerja yang kurang sedap.

Maka, BI patut mempertimbangkan untuk mengatur rekrutmen tenaga kerja profesional ini. Dengan mengambil aneka sikap tersebut, tenaga kerja alih daya akan lebih kompeten untuk memberikan kontribusi kepada bank nasional. Alhasil, bank nasional kian mampu melakukan bisnis inti yakni mengucurkan kredit lebih deras. Untuk apa? Untuk mendorong perekonomian nasional tumbuh lebih subur daripada 6,5 persen pada 2012 sehingga mampu mencetak kesempatan kerja yang lebih luas.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0537 seconds (0.1#10.140)