Menakertrans didesak keluarkan edaran pasca putusan outsourcing
A
A
A
Sindonews.com - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sulsel mendesak Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar segera mengeluarkan edaran pascakeluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang larangan outsourcing.
Putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan harus secepatnya diimplementasikan.
Sekretaris SPSI Sulsel Sibali mengungkapkan, putusan tersebut harus segera disampaikan ke pemerintah provinsi dan kabupaten kota untuk selanjutnya disampaikan kepada seluruh perusahaan, terutama yang selama ini menerapkan sistem outsourcing kepada pekerjanya. Putusan ini, kata dia harus segera direalisasikan agar perusahaan tidak terus-menerus merampas hak-hak buruh.
“Harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Olehnya, butuh penguatan dalam bentuk edaran menteri tenaga kerja dan transmigrasi, jika tidak maka putusan MK ini, hanya sekadar putusan yang tidak dijalankan,” ujar Sibali, Rabu (18/1/2012).
Khusus di Sulsel, kata dia praktik outsourcing telah lama mengelabui ribuan buruh dengan sistem kontrak tanpa kepastian kelanjutam kerja. Dia menyebutkan, terdapat puluhan perusahaan di Sulsel yang mempekerjakan buruh dengan sistem outsourcing antara lain, 911, Srikandi, dan Multi Prestasi. Perusahaan tersebut, kata dia tidak memberikan jaminan dan hak-hak buruh sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.
“Semua penyedia jasa security di Sulsel menggunakan sistem outsourcing. Ini harus segera dihentikan dan butuh komitmen stakeholder,” kata Sibali.
Sibali mengatakan, ketidakpastian bagi tenaga outsourcing antara lain hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) seperti yang dialami oleh security dan cleaning service. Mereka dipekerjakan oleh perusahaan penyedia jasa sehingga dengan mudahnya akan kehilangan pekerjaan jika masa kontrak telah habis.
Dia mencontohkan, security yang telah bekerja bertahun-tahun melalui sistem kontrak yang pada akhirnya berhenti setelah masa kontaknya berakhir. Jika hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis, habis pula masa kerja buruh dan tidak ada pesangon.
“Security itu bekerja secara terus menerus, jadi mestinya tidak boleh PKWT, tapi PKWTT. Seharusnya kerja sama dilakukan dengan perusahaan tempat dia bekerja, tidak melalui perusahaan penyedia jasa. Berbeda kalau misalnya SPG yang dikontrak dalam enam bulan untuk memasarkan produk tertentu,” kata dia.
Menurut Sibali, buruh di Sulsel masih lemah dalam memperjuangkan hak-haknya pada perusahaan. Selain itu, tekanan dari perusahaan tempatnya bekerja yang sewaktu-waktu bisa memutuskan kontrak kerjasama. “Ruang gerak buruh dibatasi, tidak boleh banyak protes, termasuk larangan berserikat,” kata dia.
Persoalan di Sulsel yang juga paling mendasar dalam sistem outsourcing adalah upah pekerja yang jauh di bawah upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kota (UMK). Padahal, Pemprov Sulsel sudah menetapkan UMP sebesar Rp1.200.000 bagi kabupaten/ kota yang belum menetapkan UMK. Sementara Pemkot Makassar juga telah menetapkan UMK sebesar Rp1.265.0000.
“Tapi pada kenyataan masih banyak yang digaji di bawah angkat itu. Banyak security yang digaji hanya Rp800.000 yang jelas-jelas melanggar. Belum lagi kalau upah itu disunat oleh oknum tertentu. Jamsostek sesuai dengan yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 juga tidak sepenuhnya dilaksanakan. Tapi, buruh ini tidak bisa berbuat banyak. Kalau protes akan dipecat,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel Latunreng mengatakan, sebelum putusan MK tentang larangan outsourcing dilaksanakan belum bisa diketahui dampaknya secara pasti. Namun dia mengkhawatirkan, putusan tersebut akan berdampak buruk pada dunia usaha di Sulsel. Tenaga outsourcing yang bekerja selama ini masih dibutuhkan oleh kalangan pengusaha.
“Efek domino atas putusan itu, investasi akan turun, dunia usaha akan melemah,” kata Latunreng.
Menurut dia, selama ini sistem outsourcing telah membantu pengusaha karena adanya kepastian dari penyedia jasa pekerja. Kendati demikian, lanjut Latunteng putusan MK sebagai putusan hukum harus dilaksanakan oleh instansi terkait dan diimpelementasikan oleh kalangan pengusaha di daerah ini. Dia hanya berharap, putusan ini tidak menghambat perkembangan dunia usaha.
“Saya kira MK melihat urgesinya. Jadi, apapun keputusan hukum harus dijunjung tinggi,” kata pengusaha properti ini.
Lebih lanjut, dia menyerukan kepada serikat pekerja membenahi anggota agar bisa bekerja dengan baik, meningkatkan kualitas, etika dan kompetensi. Putusan MK ini harus berdampak positif terhadap kompetensi tenaga kerja. Tidak hanya sekadar menuntut upah tinggi tanpa dibarengi dengan kualitas kerja.
“Harus berdampak pada perbaikan bagi serikat pekerja. Pemerintah dan hukum telah mendukung keinginan buruh, tinggal bagaimana memperbaiki citra, kualitas, dan kompetensi. Sederhana saja, pengusaha butuh kepastian dari pekerja,” kata dia.
Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan, ketidakpastian pekerja dengan sistem kontrak, termasuk outsourcing, telah melanggar konstitusi. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini diajukan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI). Oleh MK, aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hak-hak pekerja.
Putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan harus secepatnya diimplementasikan.
Sekretaris SPSI Sulsel Sibali mengungkapkan, putusan tersebut harus segera disampaikan ke pemerintah provinsi dan kabupaten kota untuk selanjutnya disampaikan kepada seluruh perusahaan, terutama yang selama ini menerapkan sistem outsourcing kepada pekerjanya. Putusan ini, kata dia harus segera direalisasikan agar perusahaan tidak terus-menerus merampas hak-hak buruh.
“Harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Olehnya, butuh penguatan dalam bentuk edaran menteri tenaga kerja dan transmigrasi, jika tidak maka putusan MK ini, hanya sekadar putusan yang tidak dijalankan,” ujar Sibali, Rabu (18/1/2012).
Khusus di Sulsel, kata dia praktik outsourcing telah lama mengelabui ribuan buruh dengan sistem kontrak tanpa kepastian kelanjutam kerja. Dia menyebutkan, terdapat puluhan perusahaan di Sulsel yang mempekerjakan buruh dengan sistem outsourcing antara lain, 911, Srikandi, dan Multi Prestasi. Perusahaan tersebut, kata dia tidak memberikan jaminan dan hak-hak buruh sebagaimana yang diatur dalam konstitusi.
“Semua penyedia jasa security di Sulsel menggunakan sistem outsourcing. Ini harus segera dihentikan dan butuh komitmen stakeholder,” kata Sibali.
Sibali mengatakan, ketidakpastian bagi tenaga outsourcing antara lain hubungan kerja dilakukan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) seperti yang dialami oleh security dan cleaning service. Mereka dipekerjakan oleh perusahaan penyedia jasa sehingga dengan mudahnya akan kehilangan pekerjaan jika masa kontrak telah habis.
Dia mencontohkan, security yang telah bekerja bertahun-tahun melalui sistem kontrak yang pada akhirnya berhenti setelah masa kontaknya berakhir. Jika hubungan pemberian kerja antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing habis, habis pula masa kerja buruh dan tidak ada pesangon.
“Security itu bekerja secara terus menerus, jadi mestinya tidak boleh PKWT, tapi PKWTT. Seharusnya kerja sama dilakukan dengan perusahaan tempat dia bekerja, tidak melalui perusahaan penyedia jasa. Berbeda kalau misalnya SPG yang dikontrak dalam enam bulan untuk memasarkan produk tertentu,” kata dia.
Menurut Sibali, buruh di Sulsel masih lemah dalam memperjuangkan hak-haknya pada perusahaan. Selain itu, tekanan dari perusahaan tempatnya bekerja yang sewaktu-waktu bisa memutuskan kontrak kerjasama. “Ruang gerak buruh dibatasi, tidak boleh banyak protes, termasuk larangan berserikat,” kata dia.
Persoalan di Sulsel yang juga paling mendasar dalam sistem outsourcing adalah upah pekerja yang jauh di bawah upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kota (UMK). Padahal, Pemprov Sulsel sudah menetapkan UMP sebesar Rp1.200.000 bagi kabupaten/ kota yang belum menetapkan UMK. Sementara Pemkot Makassar juga telah menetapkan UMK sebesar Rp1.265.0000.
“Tapi pada kenyataan masih banyak yang digaji di bawah angkat itu. Banyak security yang digaji hanya Rp800.000 yang jelas-jelas melanggar. Belum lagi kalau upah itu disunat oleh oknum tertentu. Jamsostek sesuai dengan yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 juga tidak sepenuhnya dilaksanakan. Tapi, buruh ini tidak bisa berbuat banyak. Kalau protes akan dipecat,” ujar dia.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel Latunreng mengatakan, sebelum putusan MK tentang larangan outsourcing dilaksanakan belum bisa diketahui dampaknya secara pasti. Namun dia mengkhawatirkan, putusan tersebut akan berdampak buruk pada dunia usaha di Sulsel. Tenaga outsourcing yang bekerja selama ini masih dibutuhkan oleh kalangan pengusaha.
“Efek domino atas putusan itu, investasi akan turun, dunia usaha akan melemah,” kata Latunreng.
Menurut dia, selama ini sistem outsourcing telah membantu pengusaha karena adanya kepastian dari penyedia jasa pekerja. Kendati demikian, lanjut Latunteng putusan MK sebagai putusan hukum harus dilaksanakan oleh instansi terkait dan diimpelementasikan oleh kalangan pengusaha di daerah ini. Dia hanya berharap, putusan ini tidak menghambat perkembangan dunia usaha.
“Saya kira MK melihat urgesinya. Jadi, apapun keputusan hukum harus dijunjung tinggi,” kata pengusaha properti ini.
Lebih lanjut, dia menyerukan kepada serikat pekerja membenahi anggota agar bisa bekerja dengan baik, meningkatkan kualitas, etika dan kompetensi. Putusan MK ini harus berdampak positif terhadap kompetensi tenaga kerja. Tidak hanya sekadar menuntut upah tinggi tanpa dibarengi dengan kualitas kerja.
“Harus berdampak pada perbaikan bagi serikat pekerja. Pemerintah dan hukum telah mendukung keinginan buruh, tinggal bagaimana memperbaiki citra, kualitas, dan kompetensi. Sederhana saja, pengusaha butuh kepastian dari pekerja,” kata dia.
Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan, ketidakpastian pekerja dengan sistem kontrak, termasuk outsourcing, telah melanggar konstitusi. Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini diajukan oleh Didik Suprijadi yang mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2MLI). Oleh MK, aturan untuk pekerja outsourcing (penyedia jasa pekerjaan) dalam UU tersebut,yaitu Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b dianggap inkonstitusional jika tidak menjamin hak-hak pekerja.
()