Migas & kedaulatan Republik Indonesia
A
A
A
Sindonews.com - Ketegangan di Selat Hormuz telah mengirim sinyal buruk ke pasar minyak dunia, kegalauan yang lebih serius dipastikan muncul jika terjadi perang di Selat Hormuz karena akan segera melambungkan harga minyak dunia yang akan memukul banyak negara,termasuk Indonesia yang menggantungkan sebagian besar impor minyak mentah dari Timur Tengah.
Sejak menjadi negara netpengimpor minyak pada 2004, Republik Indonesia menghadapi kerawanan terhadap kedaulatan energi nasional khususnya ketahanan pasokan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
Dari produksi minyak nasional,kedaulatan RI atas volume minyak mentah hanya sekitar 50 persen dari total lifting minyak, kita hanya mampu memasok 60 persen kebutuhan bahan baku kilang-kilang domestik sehingga masih harus mengimpor minyak sekitar 400 ribu barel per hari.
Sedangkan dampak dari kurangnya kilang di dalam negeri, produksi BBM hanya mencukupi 60 persen kebutuhan BBM nasional sehingga memaksa RI untuk mengimpor sekitar 400 ribu barel BBM setiap hari.Ketergantungan kepada asing menyebabkan kedaulatan energi RI rentan terhadap gejolak geopolitik, baik regional maupun global.
Volume Memang Segalanya
Sebagai negara net-pengimpor minyak, RI sejatinya menjadi negara yang sensitif terhadap kedaulatan volume lifting yang diproduksi di dalam negeri.Kedaulatan atas penguasaan volume di dalam negeri menjadi sangat strategis karena terkait langsung dengan besaran volume impor minyak dan BBM serta besaran subsidi BBM yang bermuara kepada defisit APBN. Ketahanan energi dipandang sangat strategis karena menjadi bagian terpenting bagi ketahanan ekonomi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Untuk meningkatkan kedaulatan energi, Indonesia diharapkan mampu mengembangkan tingkat cadangan migas melalui akselerasi kegiatan kebumian, baik kelengkapan data geologi dan geofisika utamanya di Indonesia timur dan wilayah perbatasan yang diharapkan menjadi tumpuan masa depan migas Indonesia maupun sarana penunjang nonkebumian untuk memperbaiki iklim investasi. Sedangkan untuk penguasaan migas di luar negeri, pemerintah sebaiknya segera memfasilitasi Pertamina untuk memperoleh konsesi lapangan migas di luar negeri.
Meningkatkan Kedaulatan Volume Minyak
Sejatinya sejak dikenalkannya production sharing contract (PSC),kedaulatan RI terhadap volume lifting migas nasional hanya sekitar 50 persen, sedangkan sisanya dikuasai oleh kontraktor melalui pembagian hasil produksi bagian kontraktor sebesar 15-20 persen dan sisanya sekitar 30-35 persen untuk pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang selama ini dibayar dengan volume migas (inkind).
Production sharing contract (PSC) memang memungkinkan kontraktor meminta pengembalian biaya cost recovery dalam bentuk volume minyak dan gas.Fasilitas ini membawa beberapa keuntungan bagi kontraktor, yang pertama mempunyai akses penguasaan volume yang dapat dibawa langsung ke negerinya, yang kedua mempunyai akses untuk menjual volume tersebut di pasar dengan harga premium, dan yang ketiga memiliki akses untuk swap (tukar-guling) antarpemangku kepentingan lain di dalam atau luar negeri.
Sebelum Indonesia menjadi negara net-pengimpor minyak, model kontrak PSC tidak bermasalah. Namun, setelah menjadi negara net-pengimpor minyak, pemerintah perlu mempertimbangkan model kontrak yang lebih berdaulat, tapi tetap menarik bagi investor. Besarnya volume migas Indonesia yang dikuasai kontraktor bergantung dua variabel utama yaitu harga minyak dan cost recovery.
Semakin tinggi cost recovery semakin banyak volume yang harus diserahkan kepada kontraktor sehingga di masa depan pengendalian dan pengawasan biaya perlu lebih ditingkatkan. Penguasaan volume oleh kontraktor atas pengembalian cost recovery sebesar 30-35 persen dari lifting jelas mengurangi kedaulatan RI dalam penguasaan migas di dalam negeri sehingga berpengaruh langsung terhadap tingkat ketahanan energi.
Guna mengangkat kedaulatan migas nasional, ke depan pemerintah perlu mempertimbangkan revisi model kontrak migas agar formula pengembalian cost recovery tidak lagi dalam bentuk volume tetapi diganti dengan uang, tidak lagi dalam bentuk inkind, tapi dalam bentuk cash dengan patokan harga pasar atau Indonesia crude price (ICP), yang penting secara bisnis kontraktor tetap diuntungkan.
Keuntungan bagi RI adalah volume migas untuk kilang BBM dan sektor pengguna migas lain di dalam negeri bertambah, jumlah impor minyak dan BBM berkurang, jumlah subsidi untuk BBM berkurang yang semuanya akan bermuara pada pengurangan defisit APBN,dan yang paling penting adalah kedaulatan energi nasional akan meningkat sejalan dengan berkurangnya tingkat ketergantungan impor dari negara lain utamanya Timur Tengah yang rawan dilanda gejolak geopolitik seperti krisis Selat Hormuz.
Hal lain yang tidak kalah penting di dalam penegakan kedaulatan energi nasional, khususnya kedaulatan migas, adalah kemauan RI untuk mempersempit ruang gerak para pemburu rente yang menjadi parasit di lingkaran elite politik yang secara terselubung mengupayakan langgengnya impor minyak dan BBM.
EDDY PURWANTO
Mantan Deputi BP Migas
Sejak menjadi negara netpengimpor minyak pada 2004, Republik Indonesia menghadapi kerawanan terhadap kedaulatan energi nasional khususnya ketahanan pasokan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
Dari produksi minyak nasional,kedaulatan RI atas volume minyak mentah hanya sekitar 50 persen dari total lifting minyak, kita hanya mampu memasok 60 persen kebutuhan bahan baku kilang-kilang domestik sehingga masih harus mengimpor minyak sekitar 400 ribu barel per hari.
Sedangkan dampak dari kurangnya kilang di dalam negeri, produksi BBM hanya mencukupi 60 persen kebutuhan BBM nasional sehingga memaksa RI untuk mengimpor sekitar 400 ribu barel BBM setiap hari.Ketergantungan kepada asing menyebabkan kedaulatan energi RI rentan terhadap gejolak geopolitik, baik regional maupun global.
Volume Memang Segalanya
Sebagai negara net-pengimpor minyak, RI sejatinya menjadi negara yang sensitif terhadap kedaulatan volume lifting yang diproduksi di dalam negeri.Kedaulatan atas penguasaan volume di dalam negeri menjadi sangat strategis karena terkait langsung dengan besaran volume impor minyak dan BBM serta besaran subsidi BBM yang bermuara kepada defisit APBN. Ketahanan energi dipandang sangat strategis karena menjadi bagian terpenting bagi ketahanan ekonomi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Untuk meningkatkan kedaulatan energi, Indonesia diharapkan mampu mengembangkan tingkat cadangan migas melalui akselerasi kegiatan kebumian, baik kelengkapan data geologi dan geofisika utamanya di Indonesia timur dan wilayah perbatasan yang diharapkan menjadi tumpuan masa depan migas Indonesia maupun sarana penunjang nonkebumian untuk memperbaiki iklim investasi. Sedangkan untuk penguasaan migas di luar negeri, pemerintah sebaiknya segera memfasilitasi Pertamina untuk memperoleh konsesi lapangan migas di luar negeri.
Meningkatkan Kedaulatan Volume Minyak
Sejatinya sejak dikenalkannya production sharing contract (PSC),kedaulatan RI terhadap volume lifting migas nasional hanya sekitar 50 persen, sedangkan sisanya dikuasai oleh kontraktor melalui pembagian hasil produksi bagian kontraktor sebesar 15-20 persen dan sisanya sekitar 30-35 persen untuk pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang selama ini dibayar dengan volume migas (inkind).
Production sharing contract (PSC) memang memungkinkan kontraktor meminta pengembalian biaya cost recovery dalam bentuk volume minyak dan gas.Fasilitas ini membawa beberapa keuntungan bagi kontraktor, yang pertama mempunyai akses penguasaan volume yang dapat dibawa langsung ke negerinya, yang kedua mempunyai akses untuk menjual volume tersebut di pasar dengan harga premium, dan yang ketiga memiliki akses untuk swap (tukar-guling) antarpemangku kepentingan lain di dalam atau luar negeri.
Sebelum Indonesia menjadi negara net-pengimpor minyak, model kontrak PSC tidak bermasalah. Namun, setelah menjadi negara net-pengimpor minyak, pemerintah perlu mempertimbangkan model kontrak yang lebih berdaulat, tapi tetap menarik bagi investor. Besarnya volume migas Indonesia yang dikuasai kontraktor bergantung dua variabel utama yaitu harga minyak dan cost recovery.
Semakin tinggi cost recovery semakin banyak volume yang harus diserahkan kepada kontraktor sehingga di masa depan pengendalian dan pengawasan biaya perlu lebih ditingkatkan. Penguasaan volume oleh kontraktor atas pengembalian cost recovery sebesar 30-35 persen dari lifting jelas mengurangi kedaulatan RI dalam penguasaan migas di dalam negeri sehingga berpengaruh langsung terhadap tingkat ketahanan energi.
Guna mengangkat kedaulatan migas nasional, ke depan pemerintah perlu mempertimbangkan revisi model kontrak migas agar formula pengembalian cost recovery tidak lagi dalam bentuk volume tetapi diganti dengan uang, tidak lagi dalam bentuk inkind, tapi dalam bentuk cash dengan patokan harga pasar atau Indonesia crude price (ICP), yang penting secara bisnis kontraktor tetap diuntungkan.
Keuntungan bagi RI adalah volume migas untuk kilang BBM dan sektor pengguna migas lain di dalam negeri bertambah, jumlah impor minyak dan BBM berkurang, jumlah subsidi untuk BBM berkurang yang semuanya akan bermuara pada pengurangan defisit APBN,dan yang paling penting adalah kedaulatan energi nasional akan meningkat sejalan dengan berkurangnya tingkat ketergantungan impor dari negara lain utamanya Timur Tengah yang rawan dilanda gejolak geopolitik seperti krisis Selat Hormuz.
Hal lain yang tidak kalah penting di dalam penegakan kedaulatan energi nasional, khususnya kedaulatan migas, adalah kemauan RI untuk mempersempit ruang gerak para pemburu rente yang menjadi parasit di lingkaran elite politik yang secara terselubung mengupayakan langgengnya impor minyak dan BBM.
EDDY PURWANTO
Mantan Deputi BP Migas
()