Ancaman Tarif Trump Dianggap Sepi, 20 Negara Ingin Gabung BRICS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perkembangan BRICS dalam dua tahun terakhir meningkat pesat dengan dukungan negara-negara di belahan bumi selatan yang tumbuh dengan laju yang belum pernah terjadi sebelumnya. BRICS juga lantang menyerukan dedolarisasi untuk ekonomi global yang berkelanjutan dan mempromosikan mata uang lokal dalam upaya tersebut.
Hal itu telah memancing kemarahan presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang kemudian mengancam kelompok tersebut secara khusus. Trump juga menantang blok tersebut untuk tidak lagi berusaha menyingkirkan dolar AS, atau mengambil risiko stop berdagang dengan negara yang memiliki perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Namun demikian, ancaman keras itu tampaknya belum memberikan dampak yang diharapkan oleh orang nomor satu AS tersebut. Sebab, rencana pertumbuhan BRICS tampaknya tidak terpengaruh, dan sebanyak 20 negara disebut-sebut masih berupaya masuk ke dalam kelompok tersebut.
Menurut asisten presiden Rusia Yury Ushakov, sejumlah negara masih intens berkomunikasi dengan blok tersebut mengenai keanggotaan mereka. "Pintu asosiasi tetap terbuka bagi negara-negara yang berpikiran terbuka," kata Ushakov. "Saat ini, lebih dari dua lusin negara telah menunjukkan minat dalam dialog sistemik dengan BRICS," imbuhnya, seperti dilansir Watcher Guru, Sabtu (28/12/2024).
Ushakov mencatat bahwa daftar negara tersebut meliputi Azerbaijan, Bahrain, Bangladesh, Burkina Faso, Kamboja, Chad, Kolombia, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Honduras, Laos, Kuwait, Maroko, Myanmar, Nikaragua, Pakistan, Palestina, Senegal, Sudan Selatan, Sri Lanka, Suriah, Venezuela, dan Zimbabwe.
Pada pertemuan puncak tahunan terbarunya, BRICS telah memperkenalkan kelompok negara mitra barunya. Ini merupakan kumpulan negara yang bermitra dengan blok tersebut tetapi memiliki manfaat terbatas jika dibandingkan dengan anggota aktif. Hingga saat ini, 9 negara mitra telah diperkenalkan oleh kolektif tersebut.
Hal itu telah memancing kemarahan presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang kemudian mengancam kelompok tersebut secara khusus. Trump juga menantang blok tersebut untuk tidak lagi berusaha menyingkirkan dolar AS, atau mengambil risiko stop berdagang dengan negara yang memiliki perekonomian terbesar di dunia tersebut.
Namun demikian, ancaman keras itu tampaknya belum memberikan dampak yang diharapkan oleh orang nomor satu AS tersebut. Sebab, rencana pertumbuhan BRICS tampaknya tidak terpengaruh, dan sebanyak 20 negara disebut-sebut masih berupaya masuk ke dalam kelompok tersebut.
Menurut asisten presiden Rusia Yury Ushakov, sejumlah negara masih intens berkomunikasi dengan blok tersebut mengenai keanggotaan mereka. "Pintu asosiasi tetap terbuka bagi negara-negara yang berpikiran terbuka," kata Ushakov. "Saat ini, lebih dari dua lusin negara telah menunjukkan minat dalam dialog sistemik dengan BRICS," imbuhnya, seperti dilansir Watcher Guru, Sabtu (28/12/2024).
Ushakov mencatat bahwa daftar negara tersebut meliputi Azerbaijan, Bahrain, Bangladesh, Burkina Faso, Kamboja, Chad, Kolombia, Republik Kongo, Guinea Ekuatorial, Honduras, Laos, Kuwait, Maroko, Myanmar, Nikaragua, Pakistan, Palestina, Senegal, Sudan Selatan, Sri Lanka, Suriah, Venezuela, dan Zimbabwe.
Pada pertemuan puncak tahunan terbarunya, BRICS telah memperkenalkan kelompok negara mitra barunya. Ini merupakan kumpulan negara yang bermitra dengan blok tersebut tetapi memiliki manfaat terbatas jika dibandingkan dengan anggota aktif. Hingga saat ini, 9 negara mitra telah diperkenalkan oleh kolektif tersebut.
(fjo)