Kenaikan BK CPO beratkan pengusaha

Rabu, 25 Januari 2012 - 12:56 WIB
Kenaikan BK CPO beratkan pengusaha
Kenaikan BK CPO beratkan pengusaha
A A A
Sindonews.com - Kenaikan bea keluar (BK) crude palm oil (CPO) pada Februari dari 15 persen menjadi 16,5 persen membuat pengusaha kelapa sawit di Sumatera Utara (Sumut) kecewa dengan kenaikan tersebut.

BK ini naik dari Januari 2012 yang sebesar 15 persen. Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adiyaksa mengaku kecewa. Sebab, kenaikan tersebut semakin memberatkan pengusaha dan petani, lantaran ketidakpastian biaya ekspor.

Pemerintah dianggap mau menang sendiri dengan kebijakan ini. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 67/2010 Tentang Penetapan Bea Keluar berdasarkan harga referensi yang dihitung dari rata-rata harga CPO di Rotterdam, Belanda, satu bulan sebelumnya. Diketahui, harga referensi crude palm oil untuk bulan Februari 2012 sebesar USD1.073 per metrik ton.

“Dengan kenaikan harga CPO, sebagai pengusaha kita sebenarnya tidak untung, tapi pemerintah (yang untung). Walau begitu, pengusaha tidak keberatan membayarnya karena merupakan regulasi,” ujarnya.

Laksamana mengatakan, bea keluar dianggap pengusaha sebagai biaya produksi. Harga beli ke eksportir akan dikurangi karena ada bea keluar tersebut. “Kalau harga USD 15.000 per metrik, maka beanya sekitar 15 persen. Ini membuat harga tak stabil,” tuturnya.

Dengan beban harga bea keluar tersebut, lanjut Laksamana, tak membuat petani merasa untung. Sebaliknya, harga sawit mereka menurun. Hal ini terjadi karena secara langsung biaya produksi pengusaha yang bertambah dan dimasukkan ke harga beli petani.

“Pajak naik, harga pembelian kita murah. CPO naik, pajak jadi naik,” terangnya. Laksamana berharap, seharusnya dengan kenaikan bea keluar ini, pemerintah lebih memperhatikan infrastruktur di Sumut yang saat ini semakin rusak. Tapi kenyataannya, infrastruktur di Sumut sangat jelek karena tidak ada perbaikan.

Padahal, perusahaan turunan CPO cukup banyak beroperasi di Sumut. Namun, kontribusi bea keluar terhadap penerimaan dan pembangunan daerah di Sumut masih minim. Hal itu karena pendapatan pajak khusus untuk kebun masih dikelola pusat.

“Untuk itu, pemerintah pusat juga harus memikirkan perkembangan infrastruktur Sumut dalam membuat regulasi. Pungutan bea keluar selama ini tidak memberikan hasil maksimal karena masyarakat tidak menikmati. Jangan sampai karena masalah ini pelaku usaha menjadi malas. Pungutan yang tidak berdasar harus dipikirkan matang,” terangnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Negeri Medan (Unimed), M Ishak mengatakan, dalam melihat suatu regulasi seharusnya melihat dahulu latar belakangnya. “Pemerintah sih memang mau menang sendiri. Artinya, setiap kebijakan yang diambil, jarang sekali dilakukan berdasar sebuah kajian lebih dahulu. Jadi ya sangat temporer,” tuturnya.

Dia juga menilai, kalau pihak swasta merasa keberatan, karena kenaikan bea keluar itu membuat harga CPO naik.

“Bagaimana dengan kolega mereka di sana? (luar negeri). Dan bagaimana pula dengan keberlangsungan usaha pengusaha kita?” tanyanya. Jadi intinya, kata Ishak, pemerintah harus lebih berani untuk membuka diri atau mentransfer apa yang dimilikinya agar pengusaha juga sangat mengerti kondisi nyata pemerintahnya," tandasnya. (ank)
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3154 seconds (0.1#10.140)