Industri aviasi butuh perbaikan
A
A
A
Sindonews.com - Industri penerbangan di Tanah Air saat ini dinilai masih belum memenuhi standar dunia, baik dari sisi maskapai penerbangan maupun dari infrastruktur kebandarudaraan.
Menurut Presiden Komisaris CSE Aviation Chappy Hakim, hal itu cukup memprihatinkan. Mengingat kebutuhan akan transportasi udara di Indonesia yang semakin tinggi, ditambah persaingan dengan maskapai asing, dia menilai maskapai nasional saat ini dalam posisi yang lemah.
“Maka dapat dipastikan bahwa saat Asian Open Sky diberlakukan pada 2015, akan banyak maskapai asing bermain di wilayah domestik. Dikhawatirkan, kejadian ini sama seperti di industri perhotelan. Banyak hotel asing berdiri di sini, tetapi hotel kita tidak ada yang berkibar di negara lain,” ujar Chappy dalam seminar bertajuk “Mengantar Industri Penerbangan Indonesia Menuju Kelas Dunia” di Jakarta, Rabu (25/1/2012).
Dari sisi infrastruktur pendukung, lanjut dia, perangkat kebandarudaraan Indonesia pun masih terbatas, antara lain dengan masalah kapasitas bandara yang sudah kelebihan muatan, tenaga ATC (air traffic controller) yang kurang, hingga minimnya tenaga pilot.
Selain hal tersebut, lanjut Chappy, dari sisi teknologi pun banyak peralatan yang memerlukan up date untuk menyesuaikan pertumbuhan. “Kondisi sekarang, kita memerlukan penyempurnaan, perbaikan, pemeliharaan dan pengawasan,” tegasnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Herry Bakti S Gumay mengakui, saat ini masih banyak kekurangan dalam infrastruktur kebandarudaraan di Indonesia. Namun, imbuh dia, pemerintah terus memacu peningkatan infrastruktur tersebut.
“Hambatan memang ada, namun kita harus tetap jalan, pemerintah akan memacu infrastruktur khususnya bandara udara di wilayah Indonesia bagian timur,” kata Herry.
Dia mengatakan, pada tahun ini pemerintah telah memberikan dana sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) APBN 2012 sebesar Rp3 triliun yang khusus diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur bandar udara di Indonesia bagian timur.
Di sisi lain, imbuh dia, untuk mengatasi permasalahan dalam industri penerbangan nasional agar bisa bersaing dengan penerbangan kelas dunia, undang-undang penerbangan juga harus direvisi dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan.
Soal kurangnya infrastruktur pendukung, Ketua Asosiasi Air Traffic Control System I Gusti Susila mengakui bahwa saat ini pihaknya memang masih mengalami kekurangan sumber daya manusia (SDM) untuk pengatur lalu lintas udara hingga 1.000 orang.
Dia menjelaskan, sekolah pendidikan yang mencetak SDM berkualitas bagi pengerja ATC masih terbatas. “Hal ini harus ada percepatan yang mendorong berupa lembaga yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Untuk itu, Susilo meminta pemerintah untuk mempercepat peresmian Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (PPNPI) dalam satu penyedia, dari saat ini yang masih terbagi dalam lima penyedia. “PPNPI itu sebagai penanggung jawab dengan adanya kekurangan SDM ini,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, dalam pengaturan lalu lintas udara, pihaknya juga masih mengalami kekurangan teknologi baik dalam sarana maupun prasarana kebandarudaraan. “Kita butuh alat komunikasi, alat surveillance dengan teknologi yang setara untuk bandara internasional lain di tingkat regional,” jelasnya.
Penyamaan teknologi ATC tersebut, ujar Susilo, sebagai kesinambungan antara bandara nasional dengan bandara lain di tingkat regional. Bandara di tingkat regional yang telah memiliki teknologi ATC tingkat tinggi adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand. (bro)
()