Pelopor industri kecil dengan modal Rp50.000
A
A
A
Sindonews.com - Tarwa Hadi, pemilik produksi sale Suka Senang di Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, tidak pernah membayangkan akan mendapat penghargaan dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Kerja kerasnya membangun usaha telah berbuah manis.
Pria yang kini berusia 69 tahun itu terlihat gigih membangun usaha sale. Hal itu dilakukan setelah dia mengajukan pensiun dini sebagai pegawai perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta karena sakit pada 1992. Prinsipnya, rezeki sudah diatur oleh Tuhan. Dasar itulah yang membuat Tarwa Hadi melakukan coba-coba menggeluti makanan ringan sale pisang hingga ratusan warga Kabupaten Ciamis menggantungkan hidupnya sebagai karyawan dan masyarakat binaan yang kebutuhan sehari-harinya diperoleh dari usaha sale pisang.
Saat ini ada 70 karyawan, plus 400 masyarakat binaan pengrajin bahan baku lokal yang tersebar di delapan titik di Ciamis dan Kota Banjar. Tak heran jika orang nomor satu di Indonesia saat ini memberinya penghargaan. Seperti apa perasaan Tarwa Hadi, apakah usahanya itu langsung berjalan mulus? Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana Anda memulai usaha sale ini?
Kebanyakan orang melihat usaha sale Suka Senang sudah seperti ini. Padahal usaha yang saya rintis sudah lebih dari 14 tahun dan tentu tidak terjadi begitu saja. Untuk mendapatkan keuntungan, mempekerjakan banyak karyawan, dan melengkapi fasilitas produksi itu dibutuhkan totalitas. Tapi, intinya asal ada kemauan, tentu semua bisa terjadi. Dalam bisnis UKM jangan mengenal untung rugi, terus saja berkarya dan berproduksi seperti halnya memasang kupon judi.
Artinya, selain berusaha, juga harus yakin rezeki dari Tuhan akan datang. Usaha yang kami geluti ini dulu tidak seperti sekarang. Setelah pensiun dini sebagai pegawai perusahaan BUMN, saya sempat terpuruk menganggur lima tahun tanpa penghasilan tetap. Kurun waktu selama itu, saya hanya menghabiskan sisa uang pesangon dan pensiun. Untuk itu, saya memutuskan pulang kampung ke Ciamis. Saya memulai usaha ini benar-benar dari nol, saat itu saya ingin sisa hidup saya dijalani dengan usaha untuk menghidupi keluarga.
Apakah selama lima tahun Anda tidak berpikir untuk langsung menjalani usaha sale?
Tidak. Awalnya dengan uang sisa pesangon dan pensiun saya memulai usaha menjual kayu, namun kandas. Saya juga sempat mencoba menjual knalpot, tapi juga bernasib sama. Sementara uang yang tersedia semakin habis. Karena uang pesangon takut habis, saya memberanikan membeli lahan dan dipakai membuat rumah setengah jadi.
Di sela menunggu waktu penyelesaian rumah, istri saya, Odah Jubaedah, membuat kue dan dijual ke sejumlah warung ternama di Ciamis untuk menambah penghasilan. Tapi, penghasilan dari penjualan kue tidak seberapa. Karena pemilik warung hanya membayar kue yang terjual dengan harga Rp250 per butir. Sementara saingan jual kue saat itu sangat banyak.
Melihat kondisi itu, saya bersama istri mencoba mencari ide hingga ke Purwokerto, mencari barang apa yang bisa dibuat dan bisa dipasarkan. Namun, perjalanan menuju Purwokerto hanya menghabiskan uang dan pulang tanpa ide.
Lalu kapan Anda memulai bisnis sale?
Setelah mencoba berbagai usaha, suatu ketika istri saya mencoba membeli pisang sale yang sudah ditipiskan oleh perajin di kawasan Banjarsari, Ciamis. Saya sempat bertanya mau dimasak apa pisang-pisang yang sudah diiris tipis itu. Padahal, kami belum tahu bagaimana cara membuat sale.
Lalu, saya dan istri mencoba menggoreng sale pisang yang diselimuti tepung dengan modal awal Rp50.000. Waktu itu sekitar 1996. Pertama kami coba rasanya sedikit aneh, lalu kami tawarkan kepada anak-anak dan tetangga untuk mencicipi dan minta masukan kekurangan rasa.
Setelah menemukan cita rasa sendiri, baru kami memberanikan diri menitipkan sale buatan istri ke toko langganan sewaktu istri menjual kue dulu. Tanpa disadari, keberadaan sale produksi kami di beberapa toko di wilayah Ciamis mulai diminati.
Setelah merasa percaya diri, saya mencoba memperluas pasar dengan menitipkan sale ke sejumlah warung dan toko di wilayah Tasikmalaya. Perjuangannya cukup berat, karena tidak semua toko menerima titipan barang begitu saja.
Bagaimana Anda menghadapi masalah pemasaran yang begitu sulit?
Ya, memang perlu kerja keras. Tidak jarang sale yang hendak dititipkan ditolak pemilik toko. Untuk meyakinkan pemilik toko, kami terpaksa harus memberikan secara cuma-cuma untuk sekadar dicoba. Dengan cara seperti itu, beberapa di antaranya mulai percaya, sekalipun ada di antara toko yang menerima dengan terpaksa.
Namun dalam kurun waktu beberapa bulan, kami mendapat kabar gembira, sale pisang direspons pemilik toko dengan banyaknya pembeli. Banyak pemilik toko yang meminta kami untuk mengirim kembali karena selalu habis dibeli.
Bagaimana pasar Suka Senang bisa luas seperti sekarang ini?
Intinya tidak cepat puas. Setelah memenuhi untuk pasar Ciamis dan Tasikmalaya, kami memberanikan diri membawa produk ke Jakarta, menggunakan relasi saya sewaktu masih bekerja sebagai pegawai BUMN. Dalam waktu singkat, usaha kami membuahkan hasil. Berapa pun sale yang dikirim ke Jakarta selalu habis. Untuk itu, pertama kalinya saya mengangkat empat pegawai agar proses produksi cepat dan dapat memenuhi pesanan.
Di luar dugaan, keberadaan sale di sejumlah toko kecil di Jakarta dilirik salah satu perusahaan besar. Saat itu saya mengirim barang ke Jakarta dan ditemui oleh seorang sales girl dan meminta sample produk untuk ditawarkan ke bosnya. Sebab, kebetulan saat itu sale yang tersisa tinggal satu. Saat itu saya diminta menunggu selama satu bulan. Harapan kami sudah pupus, karena dari waktu yang dijanjikan sudah lewat, tapi Tuhan berkata lain, produk kami diterima setelah lolos uji lab Badan POM selama waktu satu bulan yang dijanjikan.
Dari sana, produksi sale kami tidak pernah berhenti. Sampai-sampai kami tidak bisa lagi menghitung berapa perputaran uang dari hasil penjualan dan cost produksi. Karena banyak tenaga yang tidak bisa kami tangani, akhirnya kami terus tambah karyawan, termasuk ahli pembukuan keuangan dan sopir. Saya juga membeli armada, menyelesaikan bangunan rumah yang masih setengah jadi, membuat dua lokal pabrik, dan baru-baru ini membuat outlet kantor serta rumah makan.
Berapa kisaran produksi saat ini?
Produksi sale setiap bulan tidak kurang dari 10 ton dengan bahan baku yang dipasok dari sekitar 400 pengrajin binaan di sejumlah kecamatan. Untuk terus meningkatkan peminat, kami juga terus berupaya memodifikasi sale. Caranya dengan menyesuaikan selera pembeli. Sekarang produk Suka Senang sudah menembus pasar luar negeri.
Sale apa saja yang Anda produksi?
Ada sale lidah, sale opak, sale ambon, sale molen, sale moka, dan vanila. Namun, sale khas Suka Senang yang sedang tren saat ini adalah sale gulung. Untuk bahan, kami hanya memakai dua jenis pisang, yaitu pisang ambon dan siem. Selain sale, kami juga mulai produksi keripik pisang, nangka, dan sukun.
Apa tanggapan Anda tentang penghargaan yang diberikan Presiden SBY atas usaha yang sudah Anda lakukan?
Penghargaan sebetulnya bukan tujuan utama, tapi secara tidak langsung membantu promosi dan keyakinan pembeli. Kami mulai dapat penghargaan itu pada 2004 sampai sekarang, dari bupati dan gubernur. Sementara untuk skala nasional dan internasional, di antaranya penghargaan stand terbaik kedua Food Etnic 2006, Pramakarya dari Presiden 2007, One Vilage One Product (OPOP) 2009 di Bali, dan peraih penghargaan Upakarti dari Presiden 2011-2012.
Setelah mendapat Upakarti, apa yang akan Anda dilakukan ke depan?
Terus terang saja, penghargaan Upakarti bagi saya enak diterima, tapi berat setelah mengembannya. Dengan penghargaan ini, mau tidak mau kami harus lebih maju, lebih baik dari saat ini. Tanggung jawab sebagai pelopor harus terus bergulir dan menjadikan Suka Senang semakin berkembang. Salah satunya kalau ada modal lagi, kami akan membuka cabang dan toko di tempat lain. Rencananya dimulai di Bandung dan Jakarta.
Dengan meraih Upakarti, saya juga harus terus berjuang membina kelompok pengrajin memajukan masyarakat, dulu saya tersentuh melihat masyarakat banyak pengangguran, ada pekerjaan ini saya bangga. Saya komitmen dengan masyarakat akan terus bekerja bersama, selama mereka juga memperhatikan kualitas bahan baku yang diproduksi.
Syaratnya harus berkualitas, bersih, dan berkesinambungan. Itu saja. Kami juga berharap ada pelaku usaha lain yang bisa melebihi kami. Saya tidak akan menjadikan pelaku usaha baru sebagai saingan, karena setiap pembeli punya cita rasa tersendiri dan dengan rasa yang berbeda. (bro)
()