Rawan konflik, ekspor CPO diminta disetop sementara

Rabu, 08 Februari 2012 - 17:09 WIB
Rawan konflik, ekspor CPO diminta disetop sementara
Rawan konflik, ekspor CPO diminta disetop sementara
A A A
Sindonews.com - Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) meminta pemerintah untuk sementara menghentikan ekspor kelapa sawit (crude palm oli/CPO) hingga sejumlah sengketa antara masyarakat dan perusahaan-perusahaan kelapa sawit dapat diselesaikan.

Dalam surat tuntutan yang ditujukan kepada Menteri Perindustrian MS Hidayat, KpSHK mencontohkan banyaknya kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM akibat konflik lahan antara perusahaan sawit dengan masyarakat lokal (adat) dalam setahun terakhir ini.

Beberapa waktu lalu terkuak sebuah tragedi kekerasan dari konflik lahan perkebunan sawit dengan petani plasma, tragedi Mesuji Berdarah, ditenggarai 30 orang tewas dalam tragedi tersebut.

Kemudian tragedi Maligi berdarah, dilaporkan bahwa 18 perempuan Maligi mengalami cedera, terkilir, patah tulang hingga alami keguguran, sebagian lelaki ditendang dan dipopor dengan senjata, konflik di perkebunan PT.Permata Hijau Pasaman (PHP) II, dengan petani plasma Maligi.

"Dan baru-baru ini, kembali terjadi bentrok antara aparat keamanan dengan petani plasma di Rokan Hulu-Riau karena konflik lahan perusahaan kelapa sawit dengan petani mandiri yang menimbulkan kekerasan, enam orang masyarakat mengalami luka tembak oleh satuan aparat Brimob dari Sumatera Utara," ungkap Koordinator Nasional KpSHK Moh Djauhari, seperti dikutip Sindonews dari isi surat tersebut, Rabu, (8/2/2012).

Kejadian kekerasan akibat konflik lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat lokal tersebut tercatat sebanyak 1.700 kejadian (dalam lima tahun terakhir), dan 1.000 kejadian diantaranya berindikasi ada pelanggaran HAM (Sekber PHRI, 2012).

Pemicu konflik lahan perkebunan bermula dari tidak ada kepastian hukum dari penguasaan dan pengelolaan lahan dan hutan dimana Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyebutkan sekira 56 persen kawasan hutan negara yang luas totalnya mencapai 134,7 juta hektare (ha) masih dalam keadaan tumpang tindih dalam hal penguasaan dan pengelolaan yaitu antara negara dengan masyarakat lokal (Departemen Kehutanan, 2002).

"Sementara itu Pemerintah (Kementerian Kehutanan) hanya mampu menyelesaikan tata batas kawasan hutan sebesar 13 persen, artinya 87 persen masih belum ada tata batasnya hingga saat ini," tuturnya.,

Dengan kondisi yang demikian, perluasan areal dari pembangunan perkebunan kelapa sawit swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada di lahan hutan (baik di areal hutan konversi maupun areal hutan yang dilepaskan menjadi HGU-Hak Guna Usaha), tidak bisa tidak, telah berada di atas tanah berkonflik (penguasaan dan pengelolaan).

"Pembangunan yang berada di tanah hutan berkonflik ini kemudian tidak pernah mendapatkan penyelesaian (kepastian hukum) yang memadai hingga kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM semakin hari semakin muncul kepermukaan secara liar," tuturnya.

Sementara itu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat ini ditargetkan mencapai tujuh persen pertahun sangat bergantung dari peningkatan produksi CPO dari perkebunan-perkebunan sawit swasta di Indonesia. CPO (Crude Palm Oil) Indonesia merupakan pemasok terbesar bagi permintaan CPO oleh Eropa, China dan India.

Produksi CPO Indonesia telah mencapai 16,5 juta ton (GaPKI, 2012) bersaing ketat dengan Malaysia yang duduk di urutan kedua. Kondisi ekspor CPO yang membaik dan harga CPO yang relatif meningkat di pasar dunia adalah situasi yang menguntungkan pelaku perkebunan sawit swasta dan investornya dengan mengabaikan kerugian sosial-lingkungan akibat banyaknya kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM dari konflik lahan kelola perusahaan.

Kondisi yang tidak adil tersebut seharusnya menjadi perhatian semua pihak, terutama pemerintah sebagai regulator di sektor produksi, distribusi dan perdagangan CPO (kelapa sawit) serta perusahaan swasta sebagai penerima manfaat ekonomi terbesar di sektor ini.

Tanggungjawab perusahaan perkebunan swasta dan BUMN sebagai penerima manfaat ekonomi terbesar di subsektor perkebunan kelapa sawit ini harus diperjelas. Kondisi tidak adanya penyelesaian konflik lahan beserta dampak-dampak sosial-lingkungannya menjadi tanggung jawab (tanggunggugat) perusahaan swasta (asosiasinya) dan BUMN.

Melalui tangan Pemerintah, tanggungjawab dan tanggunggugat perusahaan swasta perkebunan kelapa sawit dan BUMN terhadap penyelesaian konflik lahan dan dampak sosial-lingkungannya perlu ditagih dan diwajibkan. Terutama tanggungjawab dan tanggunggugat menciptakan suasana kondusif bagi berbagai penyelesaian secara hukum dari kejadian-kejadian akibat konflik lahan perkebunan kelapa sawit.

Untuk mendorong semua pihak (stakeholder) sektor perkebunan kelapa sawit terutama perusahaan swasta dan BUMN beserta asosiasinya agar bertanggungjawab dan bertanggunggugat secara bersama-sama menurunkan dan menyelesaikan berbagai sengketa atau konflik lahan antara perkebunan swasta atau BUMN dengan masyarakat lokal atau adat.

KpSHK bersama dengan lembaga masyarakat sipil dan organisasai massa di lokal, nasional dan internasional meminta dengan sangat kepada empat menteri terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kehutanan, serta Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk segera: Mengeluarkan surat keputusan bersama untuk penyetopan sementara ekspor CPO sebagai langkah percepatan-pengsegeraan bagi penyelesaian sengketa atau konflik lahan perkebunan kelapa sawit yang menimbulkan kekerasan dan pelanggaran HAM dan yang melibatkan pelaku usaha atau perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta dan BUMN, pemerintah dan masyarakat.

Meminta kepada Presiden untuk segera mengeluarkan surat perintah penetapan "daerah darurat konflik perkebunan sawit" di wilayah-wilayah atau areal perkebunan sawit swasta atau BUMN yang sedang mengalami konflik yang menimbulkan kejadian kekerasan dan pelanggaran HAM hingga waktu tertentu seiring dengan waktu proses penyelesaian secara hukum dari wilayah-wilayah berkonflik tersebut.

Meminta kepada wakil-wakil dari negara-negara tujuan ekspor CPO Indonesia agar membuat seruan yang mengikat kepada pelaku dagang CPO di negaranya untuk tidak membeli CPO Indonesia untuk sementara waktu hingga ada perkembangan signifikan bagi kepastian penyelesaian konflik perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

"Surat tuntutan ini diajukan secara bersama KpSHK dengan lembaga-lembaga masyarakat sipil, organisasi masyarakat, organisasi masyarakat adat di lokal, nasional dan internasional, sebagai bagian dari komponen bangsa dan warga negara Indonesia dalam mendorong keamanan dan kententraman dalam proses-proses Indonesia yang sedang membangun," tuntasnya.
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5551 seconds (0.1#10.140)