Pengalaman orang lain jadi guru terbaik
A
A
A
Sindonews.com - Investasi menjanjikan return tak masuk akal kembali marak. Ratusan miliar hingga triliunan rupiah telah diraup para penipu berkedok investasi dari masyarakat yang mudah tergoda keuntungan menggiurkan.
Mereka yang punya uang mestinya paham falsafah utama dalam berinvestasi yaitu high risk,high return. Terakhir kali kita membaca kasus Koperasi Langit Biru (KLB) yang menawarkan keuntungan 10% per bulan. Return sebesar 10 persen per bulan yang dibungakan majemuk adalah setara dengan 313,8 persen setahun. Adakah investasi yang dapat memberikan return setinggi itu secara pasti dan terus menerus untuk jumlah berapa pun?
Kalau memang pasti, para penyelenggara investasi itu akan menjadi miliarder dengan mudah sekaligus investor paling top di dunia. Bukankah mereka dapat meminjam dana yang diperlukan dari bank yang bunganya maksimal belasan persen per tahun atau mencari mitra strategis yang usahanya memang mencari bisnis prospektif? Bukankah hasil investasi satu-dua bulan saja sudah cukup untuk biaya bunga setahun?
Jika kita mengerti sedikit saja mengenai investasi, kita tentu sadar kalau suku bunga pendapatan tetap seperti obligasi baik dalam rupiah maupun dalam dolar saat ini tidak ada yang lebih dari delapan persen p.a.Investasi dalam saham di BEI sekali-sekali memang bisa memberikan tingkat keuntungan hingga 40 persen p.a. atau bahkan lebih besar, tetapi tidak ada yang berani menjanjikan sebesar itu di depan apalagi terus-menerus.
Investasi dalam saham di luar negeri lebih keuntungannya jauh lebih rendah lagi daripada di Indonesia. Investasi di tanah dan properti dikenakan biaya transaksi besar dan relatif tidak likuid meskimenjanjikan returntinggi. Investasi dalam emas wajarnya hanya memberikan return beberapa persen di atas inflasi dan juga menghadapi volatilitas tinggi dalam jangka pendek. Investasidalamsektorriilseperti berdagang atau memproduksi barang dan jasa, dalam jangka pendek mungkin saja dapat meraup untung sampai puluhan persen, tetapi ini tidak akan dapat terjadi terus-menerus dan untuk jumlah berapa saja.
Tuanakotta (2007) menuliskan kasus penawaran produk investasi dengan return yang tidak masuk akal seperti ini sudah kuno dan didokumentasikan untuk pertama kali pada 1919 ketika Carlo Ponzi, imigran asal Italia. Saat itu dia mendirikan perusahaan yang diberinya nama The Security Exchange Company. Melalui perusahaan ini, ia menjual surat promes berbunga 50 persen dalam 90 hari.
Jumlah dana yang berhasil dihimpunnya saat itu mencapai USD1 juta per minggu, hingga para pegawainya tidak cukup untuk menangani transaksi sebesar itu. Ponzi pun langsung menjadi jutawan baru. Hasil penjualan surat utang itu ternyata tidak ditanamkannya kembali, tetapi dipakainya untuk membayar bunga sebesar 50 persen itu. Sekitar setahun kemudian skema penipuan ini berakhir karena dana yang harus dikeluarkan untuk membayar bunga melampaui jumlah dana yang diterimanya.
Sejak saat itu penipuan dengan kedok produk investasi seperti ini disebut skema Ponzi atau skema piramida. Sampai sekarang kejahatan jenis ini masih saja terjadi,termasuk di negara-negara maju seperti Amerika dengan mega skandal Madoff. Bedanya, kini produk-produk yang ditawarkan keren-keren istilahnya. Setiaptahun ada saja korban produk baru penipuan seperti ini. Selama masih memperoleh keuntungan yang dijanjikan, investor tamak dan tak rasional ini akan diam.
Namun, setelah nasib uangnya tidak jelas,mereka akan minta bantuan pemerintah dan otoritas agar dapat memperoleh dananya kembali. Sewaktu masih di sekolah dulu, kita selalu diajari dengan falsafah ”pengalaman adalah guru terbaik”.Falsafah tersebut kini sudah harus diganti menjadi ”pengalaman orang lain adalah guru terbaik”.
Perbedaan antara keduanya adalah jika pengalaman adalah guru terbaik, kita harus mengalami banyak kesusahan dan pengorbanan seperti rugi dulu atau tidak naik kelas dulu sebelum dapat untung atau naik kelas. Masalahnya, untuk memperoleh pengalaman itu, seseorang sering harus membayar mahal seperti menjadi korban kasus penipuan skema Ponzi terlebih dahulu.
Orang pandai belajar dari kesalahan sendiri, tetapi yang lebih pandai akan belajar dari kesalahan orang lain. Jangan terkecoh dengan izin perusahaan yang umumnya hanya berupa surat izin usaha perdagangan (SIUP) umum dan bukan izin menghimpun uang.
BUDI FRENSIDY
Penasihat Investasi dan
Penulis Buku Matematika Keuangan
Mereka yang punya uang mestinya paham falsafah utama dalam berinvestasi yaitu high risk,high return. Terakhir kali kita membaca kasus Koperasi Langit Biru (KLB) yang menawarkan keuntungan 10% per bulan. Return sebesar 10 persen per bulan yang dibungakan majemuk adalah setara dengan 313,8 persen setahun. Adakah investasi yang dapat memberikan return setinggi itu secara pasti dan terus menerus untuk jumlah berapa pun?
Kalau memang pasti, para penyelenggara investasi itu akan menjadi miliarder dengan mudah sekaligus investor paling top di dunia. Bukankah mereka dapat meminjam dana yang diperlukan dari bank yang bunganya maksimal belasan persen per tahun atau mencari mitra strategis yang usahanya memang mencari bisnis prospektif? Bukankah hasil investasi satu-dua bulan saja sudah cukup untuk biaya bunga setahun?
Jika kita mengerti sedikit saja mengenai investasi, kita tentu sadar kalau suku bunga pendapatan tetap seperti obligasi baik dalam rupiah maupun dalam dolar saat ini tidak ada yang lebih dari delapan persen p.a.Investasi dalam saham di BEI sekali-sekali memang bisa memberikan tingkat keuntungan hingga 40 persen p.a. atau bahkan lebih besar, tetapi tidak ada yang berani menjanjikan sebesar itu di depan apalagi terus-menerus.
Investasi dalam saham di luar negeri lebih keuntungannya jauh lebih rendah lagi daripada di Indonesia. Investasi di tanah dan properti dikenakan biaya transaksi besar dan relatif tidak likuid meskimenjanjikan returntinggi. Investasi dalam emas wajarnya hanya memberikan return beberapa persen di atas inflasi dan juga menghadapi volatilitas tinggi dalam jangka pendek. Investasidalamsektorriilseperti berdagang atau memproduksi barang dan jasa, dalam jangka pendek mungkin saja dapat meraup untung sampai puluhan persen, tetapi ini tidak akan dapat terjadi terus-menerus dan untuk jumlah berapa saja.
Tuanakotta (2007) menuliskan kasus penawaran produk investasi dengan return yang tidak masuk akal seperti ini sudah kuno dan didokumentasikan untuk pertama kali pada 1919 ketika Carlo Ponzi, imigran asal Italia. Saat itu dia mendirikan perusahaan yang diberinya nama The Security Exchange Company. Melalui perusahaan ini, ia menjual surat promes berbunga 50 persen dalam 90 hari.
Jumlah dana yang berhasil dihimpunnya saat itu mencapai USD1 juta per minggu, hingga para pegawainya tidak cukup untuk menangani transaksi sebesar itu. Ponzi pun langsung menjadi jutawan baru. Hasil penjualan surat utang itu ternyata tidak ditanamkannya kembali, tetapi dipakainya untuk membayar bunga sebesar 50 persen itu. Sekitar setahun kemudian skema penipuan ini berakhir karena dana yang harus dikeluarkan untuk membayar bunga melampaui jumlah dana yang diterimanya.
Sejak saat itu penipuan dengan kedok produk investasi seperti ini disebut skema Ponzi atau skema piramida. Sampai sekarang kejahatan jenis ini masih saja terjadi,termasuk di negara-negara maju seperti Amerika dengan mega skandal Madoff. Bedanya, kini produk-produk yang ditawarkan keren-keren istilahnya. Setiaptahun ada saja korban produk baru penipuan seperti ini. Selama masih memperoleh keuntungan yang dijanjikan, investor tamak dan tak rasional ini akan diam.
Namun, setelah nasib uangnya tidak jelas,mereka akan minta bantuan pemerintah dan otoritas agar dapat memperoleh dananya kembali. Sewaktu masih di sekolah dulu, kita selalu diajari dengan falsafah ”pengalaman adalah guru terbaik”.Falsafah tersebut kini sudah harus diganti menjadi ”pengalaman orang lain adalah guru terbaik”.
Perbedaan antara keduanya adalah jika pengalaman adalah guru terbaik, kita harus mengalami banyak kesusahan dan pengorbanan seperti rugi dulu atau tidak naik kelas dulu sebelum dapat untung atau naik kelas. Masalahnya, untuk memperoleh pengalaman itu, seseorang sering harus membayar mahal seperti menjadi korban kasus penipuan skema Ponzi terlebih dahulu.
Orang pandai belajar dari kesalahan sendiri, tetapi yang lebih pandai akan belajar dari kesalahan orang lain. Jangan terkecoh dengan izin perusahaan yang umumnya hanya berupa surat izin usaha perdagangan (SIUP) umum dan bukan izin menghimpun uang.
BUDI FRENSIDY
Penasihat Investasi dan
Penulis Buku Matematika Keuangan
()