Sukses mengelola lembaga pendidikan
A
A
A
Sindonews.com - Berbekal keyakinan dan motivasi yang tinggi, perempuan setengah baya ini sukses mengelola bisnis lembaga pendidikan. Kini dia berhasil meluluskan ratusan siswa per tahun dari kampus yang didirikannya 12 tahun silam.
Adalah Christine Wu, wanita kelahiran Surabaya, 9 Mei 1967 yang kini mulai merasakan jerih payahnya membangun bisnis bersama sang suami, Wuryanano. Melalui lembaga pelatihan kerja dan kewirausahaan yang diberi nama Swastika Prima Entrepreneur College, Christine dan suaminya berhasil mencetak ratusan lulusan siap kerja.
Sejak awal mendirikan lembaga pendidikan itu pada 1 Juni 2000, niat Christine memang ingin menjadikan anak didiknya terampil di berbagai bidang pekerjaan. Saat itu dia berkomitmen membuat orang lain sukses berbekal keahlian yang diajarkan di kampusnya.
Swastika Prima adalah lembaga pendidikan terakreditasi nasional dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF) yang memiliki dua program pendidikan.
Pertama, Program Eksekutif Profesional Dua Tahun, terdiri atas program Business Management, Accounting, Business Secretary, Public Relations, Informatics & Design Graphics, dan Hotel & Tourism. Kedua, Program Jadi Entrepreneur Enam Bulan, yang tujuannya mencetak pengusaha andal. Khusus yang ini, Christine menargetkan lulusannya bisa menjadi wirausaha.
“Lembaga pendidikan ini saya dirikan bersama suami karena pada awalnya kami melihat kenyataan betapa sulitnya mencari dan mendapatkan tenaga kerja yang dapat diandalkan dan cocok dengan tugas-tugas kerjanya,” kata Christine di Jakarta beberapa waktu lalu.
Di samping mendidik siswa-siswa yang baru lulus SMA, Swastika Prima juga memiliki ambisi menambah jumlah pengusaha atau entrepreneur melalui pelatihan yang akan kerap diselenggarakan.
Dalam menjalankan bisnisnya, pemilik nama lengkap Christina Endang Hermin Susetiawati itu tidak hanya memberikan pengajaran di kampus. Dia juga kerap menggelar pelatihan sumber daya manusia mulai dari seminar motivasi bekerja sama dengan pihak lain.
“Ini untuk mengobarkan semangat entrepreneurship. Kami menjalankannya rutin sepanjang tahun. Kami berharap masyarakat bisa memperoleh insight atau pencerahan mental berpikirnya bahwa setiap orang itu punya hak sama untuk sukses dan setiap orang pasti bisa meraih sukses,” ungkap Christine.
Bisnis lembaga pendidikan, menurut Christine, memang tidak mudah. Persaingan dengan lembaga pendidikan lain yang serupa tidak bisa dihindarkan. Namun, dia optimistis dengan bersaing secara sehat, lembaga pendidikannya bisa bertahan hingga sekarang.
”Kalau soal jatuh bangun, saya tidak pernah jatuh terjerembab karena bersama suami selalu menyikapi situasi dan kondisi apa pun dengan sikap ikhlas,” ujar ibu dua anak ini.
Dia menilai, ke depan prospek bisnis di bidang pendidikan cukup baik sehingga jika tidak ada aral melintang, Christine bersama suaminya akan membuka cabang di beberapa kota di Indonesia. ”Masih menunggu kesiapan dananya dulu. Jika ada investor yang berminat pun, harus kami seleksi dulu,sejauh mana niat dan komitmennya di dunia pendidikan,” ucap dia yang mengawali usahanya dengan model Rp2 miliar itu.
Dalam menjalankan pendidikannya, Swastika Prima menerima rata-rata 300 orang per tahun. Dari jumlah tersebut, biaya yang dikeluarkan setiap mahasiswa dibedakan berdasarkan kategori tertentu. Di antaranya beasiswa penuh 100 persen yang diperuntukkan bagi 20 persen peserta didik yang tidak mampu.
Kategori lainnya, beasiswa 50 persen namun tetap membayar Uang Sumbangan Pendidikan (USP) sebesar Rp550.000 per bulan. Ketiga, tanpa beasiswa atau membayar penuh sebesar Rp550.000 per bulan. Khusus kategori ini, Swastika Prima memberikannya untuk 20 persen peserta didik dari kalangan keluarga mampu.
Christine mengakui prestasi terbesar lembaga pendidikan yang dikelolanya adalah ketika bisa meluluskan semua siswa dan sudah bekerja dan menjadikan siswanya berwirausaha sebelum lulus.
Dia berharap ke depan Swastika Prima mampu menerima ribuan peserta didik sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat kami berdayakan sesuai potensi masing-masing. ”Dengan demikian negara dan bangsa kita dapat lebih makmur sentosa tiada derita,” katanya. (ank)
Adalah Christine Wu, wanita kelahiran Surabaya, 9 Mei 1967 yang kini mulai merasakan jerih payahnya membangun bisnis bersama sang suami, Wuryanano. Melalui lembaga pelatihan kerja dan kewirausahaan yang diberi nama Swastika Prima Entrepreneur College, Christine dan suaminya berhasil mencetak ratusan lulusan siap kerja.
Sejak awal mendirikan lembaga pendidikan itu pada 1 Juni 2000, niat Christine memang ingin menjadikan anak didiknya terampil di berbagai bidang pekerjaan. Saat itu dia berkomitmen membuat orang lain sukses berbekal keahlian yang diajarkan di kampusnya.
Swastika Prima adalah lembaga pendidikan terakreditasi nasional dari Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF) yang memiliki dua program pendidikan.
Pertama, Program Eksekutif Profesional Dua Tahun, terdiri atas program Business Management, Accounting, Business Secretary, Public Relations, Informatics & Design Graphics, dan Hotel & Tourism. Kedua, Program Jadi Entrepreneur Enam Bulan, yang tujuannya mencetak pengusaha andal. Khusus yang ini, Christine menargetkan lulusannya bisa menjadi wirausaha.
“Lembaga pendidikan ini saya dirikan bersama suami karena pada awalnya kami melihat kenyataan betapa sulitnya mencari dan mendapatkan tenaga kerja yang dapat diandalkan dan cocok dengan tugas-tugas kerjanya,” kata Christine di Jakarta beberapa waktu lalu.
Di samping mendidik siswa-siswa yang baru lulus SMA, Swastika Prima juga memiliki ambisi menambah jumlah pengusaha atau entrepreneur melalui pelatihan yang akan kerap diselenggarakan.
Dalam menjalankan bisnisnya, pemilik nama lengkap Christina Endang Hermin Susetiawati itu tidak hanya memberikan pengajaran di kampus. Dia juga kerap menggelar pelatihan sumber daya manusia mulai dari seminar motivasi bekerja sama dengan pihak lain.
“Ini untuk mengobarkan semangat entrepreneurship. Kami menjalankannya rutin sepanjang tahun. Kami berharap masyarakat bisa memperoleh insight atau pencerahan mental berpikirnya bahwa setiap orang itu punya hak sama untuk sukses dan setiap orang pasti bisa meraih sukses,” ungkap Christine.
Bisnis lembaga pendidikan, menurut Christine, memang tidak mudah. Persaingan dengan lembaga pendidikan lain yang serupa tidak bisa dihindarkan. Namun, dia optimistis dengan bersaing secara sehat, lembaga pendidikannya bisa bertahan hingga sekarang.
”Kalau soal jatuh bangun, saya tidak pernah jatuh terjerembab karena bersama suami selalu menyikapi situasi dan kondisi apa pun dengan sikap ikhlas,” ujar ibu dua anak ini.
Dia menilai, ke depan prospek bisnis di bidang pendidikan cukup baik sehingga jika tidak ada aral melintang, Christine bersama suaminya akan membuka cabang di beberapa kota di Indonesia. ”Masih menunggu kesiapan dananya dulu. Jika ada investor yang berminat pun, harus kami seleksi dulu,sejauh mana niat dan komitmennya di dunia pendidikan,” ucap dia yang mengawali usahanya dengan model Rp2 miliar itu.
Dalam menjalankan pendidikannya, Swastika Prima menerima rata-rata 300 orang per tahun. Dari jumlah tersebut, biaya yang dikeluarkan setiap mahasiswa dibedakan berdasarkan kategori tertentu. Di antaranya beasiswa penuh 100 persen yang diperuntukkan bagi 20 persen peserta didik yang tidak mampu.
Kategori lainnya, beasiswa 50 persen namun tetap membayar Uang Sumbangan Pendidikan (USP) sebesar Rp550.000 per bulan. Ketiga, tanpa beasiswa atau membayar penuh sebesar Rp550.000 per bulan. Khusus kategori ini, Swastika Prima memberikannya untuk 20 persen peserta didik dari kalangan keluarga mampu.
Christine mengakui prestasi terbesar lembaga pendidikan yang dikelolanya adalah ketika bisa meluluskan semua siswa dan sudah bekerja dan menjadikan siswanya berwirausaha sebelum lulus.
Dia berharap ke depan Swastika Prima mampu menerima ribuan peserta didik sehingga semakin banyak masyarakat yang dapat kami berdayakan sesuai potensi masing-masing. ”Dengan demikian negara dan bangsa kita dapat lebih makmur sentosa tiada derita,” katanya. (ank)
()