BBM batal naik, kondisi fiskal berpotensi gamang
A
A
A
Sindonews.com - Keputusan DPR RI menyetujui penambahan ayat 6a pasal 7, dinilai pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmato dapat menimbulkan ketidakpastian pada kondisi fiskal.
DPR memang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dalam kurun waktu enam bulan berjalan melampaui 15 persen dari ICP yang ditetapkan dalam RAPBNP 2012 sebesar USD105 per barel atau sudah melewati USD120,75.
Namun, pasal ini juga mengunci pemerintah dalam hal kebijakan kenaikan BBM. Karena meskipun harga ICP terus melambung, pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM bersubsidi selama rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir tidak melebihi USD120,75.
Pri Agung menilai Pasal 7 ayat 6A menimbulkan ketidakpastian, karena harga ICP tidak bisa ditebak. Harga ICP sangat fluktuatif dan hanya bisa dilihat dari pergerakan harian.
“Keputusan itu (Pasal 7 ayat 6A) sangat politis dan kompromi dengan berbagai kepentingan. Pasal ini membuat pemerintah di dalam politik anggarannya seperti berjudi karena tidak ada yang bisa tahu harga ICP dalam enam bulan berjalan. Ini terlalu berjudi,” ujar Pri Agung, Sabtu 31 maret 2012 malam .
Pri Agung menambahkan, akan sulit bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi meskipun harga ICP naik. Pasalnya, batas yang ditetapkan untuk menaikkan harga BBM, yakni rata-rata ICP dalam enam bulan harus di atas USD120,75, terbilang tinggi.
Sebagai informasi, rata-rata ICP dalam lima bulan terakhir (November 2011–Maret 2012) adalah USD117,95. Artinya, bila pemerintah ingin menaikkan harga BBM pada Mei mendatang, rata-rata ICP pada April minimal harus berada pada level USD134,90. Karena ICP rata-rata enam bulan berjalannya (November 2011–April 2012) adalah USD120,77 atau melebihi batas yang ditetapkan sebesar USD120,75.
Terakhir kali rata-rata ICP menyentuh level USD134 adalah pada Juli 2008. Pergerakan ICP yang tidak menentu itu bisa membuat pemerintah mengajukan RAPBNP dua kali tahun ini. “Kalau harga stabil tinggi tetapi tetap di bawah USD120,75, bisa-bisa ujungnya akan ada APBNP kedua,” tuturnya.
Menurut Pri Agung, keputusan DPR yang lebih memilih untuk memodifikasi Pasal 7 ayat 6 dengan menambahkan satu ayat tambahan menunjukkan sikap DPR yang ingin melempar tanggung jawab kepada pemerintah atas kenaikan harga BBM.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu mengingatkan, pemerintah hanya bisa menentukan pembiayaan serta mempersiapkan langkah-langkah antisipasi dalam mengambil kebijakan fiskal bila ada kepastian di sana. “Harga ICP tidak bisa diprediksi dan hanya bisa dilihat per harinya. Ini makin tidak pasti,” ujar Anggito.
Anggito juga mengaku kecewa dengan sikap DPR yang kurang memikirkan dampak fiskal jangka panjang. “Tentu saya kecewa karena DPR memberikan ketidakpastian. Menurut saya ini sangat memalukan,” tuturnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro mengakui ada risiko fiskal yang harus ditanggung pemerintah menyusul pilihan DPR kemarin. Pemerintah harus ekstra hati-hati dalam menjaga kesehatan fiskal ke depan bila tidak ingin anggaran ataupun defisit membengkak karena subsidi. Terlebih, opsi pembatasan tidak dimungkinkan lagi karena sudah dihapus melalui mekanisme APBNP 2012.
“Intinya kita lebih berhati-hati. (Tidak ada pembatasan atas) adanya pengendalian. Dalam pengertian, cegah kebocoran, konversi gas,” papar Bambang seusai sidang paripurna di Gedung DPR, Sabtu pagi kemarin. (ank)
DPR memang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dalam kurun waktu enam bulan berjalan melampaui 15 persen dari ICP yang ditetapkan dalam RAPBNP 2012 sebesar USD105 per barel atau sudah melewati USD120,75.
Namun, pasal ini juga mengunci pemerintah dalam hal kebijakan kenaikan BBM. Karena meskipun harga ICP terus melambung, pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM bersubsidi selama rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir tidak melebihi USD120,75.
Pri Agung menilai Pasal 7 ayat 6A menimbulkan ketidakpastian, karena harga ICP tidak bisa ditebak. Harga ICP sangat fluktuatif dan hanya bisa dilihat dari pergerakan harian.
“Keputusan itu (Pasal 7 ayat 6A) sangat politis dan kompromi dengan berbagai kepentingan. Pasal ini membuat pemerintah di dalam politik anggarannya seperti berjudi karena tidak ada yang bisa tahu harga ICP dalam enam bulan berjalan. Ini terlalu berjudi,” ujar Pri Agung, Sabtu 31 maret 2012 malam .
Pri Agung menambahkan, akan sulit bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi meskipun harga ICP naik. Pasalnya, batas yang ditetapkan untuk menaikkan harga BBM, yakni rata-rata ICP dalam enam bulan harus di atas USD120,75, terbilang tinggi.
Sebagai informasi, rata-rata ICP dalam lima bulan terakhir (November 2011–Maret 2012) adalah USD117,95. Artinya, bila pemerintah ingin menaikkan harga BBM pada Mei mendatang, rata-rata ICP pada April minimal harus berada pada level USD134,90. Karena ICP rata-rata enam bulan berjalannya (November 2011–April 2012) adalah USD120,77 atau melebihi batas yang ditetapkan sebesar USD120,75.
Terakhir kali rata-rata ICP menyentuh level USD134 adalah pada Juli 2008. Pergerakan ICP yang tidak menentu itu bisa membuat pemerintah mengajukan RAPBNP dua kali tahun ini. “Kalau harga stabil tinggi tetapi tetap di bawah USD120,75, bisa-bisa ujungnya akan ada APBNP kedua,” tuturnya.
Menurut Pri Agung, keputusan DPR yang lebih memilih untuk memodifikasi Pasal 7 ayat 6 dengan menambahkan satu ayat tambahan menunjukkan sikap DPR yang ingin melempar tanggung jawab kepada pemerintah atas kenaikan harga BBM.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu mengingatkan, pemerintah hanya bisa menentukan pembiayaan serta mempersiapkan langkah-langkah antisipasi dalam mengambil kebijakan fiskal bila ada kepastian di sana. “Harga ICP tidak bisa diprediksi dan hanya bisa dilihat per harinya. Ini makin tidak pasti,” ujar Anggito.
Anggito juga mengaku kecewa dengan sikap DPR yang kurang memikirkan dampak fiskal jangka panjang. “Tentu saya kecewa karena DPR memberikan ketidakpastian. Menurut saya ini sangat memalukan,” tuturnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Bambang Brodjonegoro mengakui ada risiko fiskal yang harus ditanggung pemerintah menyusul pilihan DPR kemarin. Pemerintah harus ekstra hati-hati dalam menjaga kesehatan fiskal ke depan bila tidak ingin anggaran ataupun defisit membengkak karena subsidi. Terlebih, opsi pembatasan tidak dimungkinkan lagi karena sudah dihapus melalui mekanisme APBNP 2012.
“Intinya kita lebih berhati-hati. (Tidak ada pembatasan atas) adanya pengendalian. Dalam pengertian, cegah kebocoran, konversi gas,” papar Bambang seusai sidang paripurna di Gedung DPR, Sabtu pagi kemarin. (ank)
()