Hanya 6 Provinsi peroleh WTP
A
A
A
Sindonews.com - Hasil audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menunjukkan belum maksimalnya sistem pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah. Dari 516 LKPD tahun 2010 yang diperiksa BPK pada tahun ini, hanya ada 34 pemda yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau hanya 7 persen dari jumlah keseluruhan.
Seperti lima tahun terakhir, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) masih mendominasi pada 2010. Sebanyak 66 persen atau 341 LKP memperoleh opini WDP sementara 5 persen atau 26 LKPD mendapat opini Tidak Wajar (TW) serta 22 persen atau 115 LKPD memperoleh opini Tidak Menyatakan Pendapat( TMP).
“Secara umum opini LKPD tahun 2010 menunjukkan kenaikan proporsi opini WTP dan WDP dibandingkan opini LKPD tahun sebelumnya,” ujar Ketua BPK Hadi Poernomo saat menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) II Tahun Anggaran 2011 kepada DPR, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Dari 34 pemda, hanya ada enam pemda provinsi yang memperoleh opini WTP, yakni Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara, DKI Jakarta yang merupakan ibu kota hanya mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Di level pemda kabupaten/ kota, terdapat 28 pemda (17 persen) yang LKPD-nya memperoleh opini WTP dari total 428 pemda tingkat kabupaten/ kota yang ada. Dibanding 2006–2009, jumlah LKPD yang mendapat opini WTP memang terus menunjukan peningkatan dan sebaliknya opini TW berkurang.
Tahun, 2009, misalnya hanya ada 15 pemda yang LKPD-nya memperoleh opini WTP (3 persen) dan masih ada 48 yang mendapat opini TW (10 persen) sedangkan pada tahun ini ada 34 yang mendapat opini WTP dan hanya 26 yang memperoleh opini TW.
Kendati demikian, jumlah LKPD yang memperoleh opini WTP sangat kecil dibandingkan total LKPD yang diperiksa, sedangkan opini WDP dari tahun ke tahun terus mendominasi. Pada 2006,jumlah LKPD yang memperoleh opini WDP mencapai 70 persen sementara pada 2007 (60 persen), 2008 (67 persen), serta 2009 (65 persen). Sebaliknya, opini WTP hanya 1 persen (2006), 1 persen (2007), 3 persen (2008), dan 3 persen (2009).
Secara khusus, Hadi Poernomo juga menyoroti banyaknya LKPD yang memperoleh opini TMP dan TW. Pada 2010 total ada 131 LKPD (27 persen) yang opininya berada pada status TMP dan TW. “Hal ini menunjukkan efektivitas SPI (sistem pengendalian intern) belum optimal,” ujarnya.
Hadi menjelaskan, kelemahan pengendalian intern dan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya meliputi permasalahan kurang tertibnya penyusunan dan penerapan kebijakan, lemahnya pengendalian fisik atas aset. Kelemahan pengelolaan dan pengendalian atas kas daerah, serta pencatatan transaksi yang kurang akurat dan tepat waktu.
Pemeriksaan terhadap 158 LKPD juga menemukan 1.796 kasus kelemahan SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian, serta potensi kerugian dan kekurangan penerimaan sebanyak 2.585 kasus senilai Rp1,72 triliun.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Marwanto Harjowiryono mengemukakan, Kemenkeu tidak memiliki sarana khusus yang bisa memaksa daerah memperbaiki LKPD-nya.
“Yang bisa kita lakukan itu pemberdayaan dan komunikasi capacity building terhadap pengelolaan keuangan daerah. Belum ada peraturan perundang-undangan untuk pemberian sanksi bagi daerah yang LKPD-nya tidak baik,” ujarnya, di kantor Kemenkeu, Jakarta, kemarin.
Marwanto menambahkan, yang hanya bisa dilakukan Kemenkeu untuk memperbaiki LKPD adalah merangsang daerah dengan cara pemberian insentif.
Bagi daerah yang memperoleh opini WTP dan mampu menyelesaikan APBDnya sesuai waktu maka mereka akan mendapat prioritas untuk mendapatkan dana insentif daerah. “Daerah yang WTP dan APBD-nya tepat waktu akan mendapat prioritas. Itu insentif kami,” tandasnya. (ank)
Seperti lima tahun terakhir, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) masih mendominasi pada 2010. Sebanyak 66 persen atau 341 LKP memperoleh opini WDP sementara 5 persen atau 26 LKPD mendapat opini Tidak Wajar (TW) serta 22 persen atau 115 LKPD memperoleh opini Tidak Menyatakan Pendapat( TMP).
“Secara umum opini LKPD tahun 2010 menunjukkan kenaikan proporsi opini WTP dan WDP dibandingkan opini LKPD tahun sebelumnya,” ujar Ketua BPK Hadi Poernomo saat menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) II Tahun Anggaran 2011 kepada DPR, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Dari 34 pemda, hanya ada enam pemda provinsi yang memperoleh opini WTP, yakni Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara, DKI Jakarta yang merupakan ibu kota hanya mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Di level pemda kabupaten/ kota, terdapat 28 pemda (17 persen) yang LKPD-nya memperoleh opini WTP dari total 428 pemda tingkat kabupaten/ kota yang ada. Dibanding 2006–2009, jumlah LKPD yang mendapat opini WTP memang terus menunjukan peningkatan dan sebaliknya opini TW berkurang.
Tahun, 2009, misalnya hanya ada 15 pemda yang LKPD-nya memperoleh opini WTP (3 persen) dan masih ada 48 yang mendapat opini TW (10 persen) sedangkan pada tahun ini ada 34 yang mendapat opini WTP dan hanya 26 yang memperoleh opini TW.
Kendati demikian, jumlah LKPD yang memperoleh opini WTP sangat kecil dibandingkan total LKPD yang diperiksa, sedangkan opini WDP dari tahun ke tahun terus mendominasi. Pada 2006,jumlah LKPD yang memperoleh opini WDP mencapai 70 persen sementara pada 2007 (60 persen), 2008 (67 persen), serta 2009 (65 persen). Sebaliknya, opini WTP hanya 1 persen (2006), 1 persen (2007), 3 persen (2008), dan 3 persen (2009).
Secara khusus, Hadi Poernomo juga menyoroti banyaknya LKPD yang memperoleh opini TMP dan TW. Pada 2010 total ada 131 LKPD (27 persen) yang opininya berada pada status TMP dan TW. “Hal ini menunjukkan efektivitas SPI (sistem pengendalian intern) belum optimal,” ujarnya.
Hadi menjelaskan, kelemahan pengendalian intern dan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya meliputi permasalahan kurang tertibnya penyusunan dan penerapan kebijakan, lemahnya pengendalian fisik atas aset. Kelemahan pengelolaan dan pengendalian atas kas daerah, serta pencatatan transaksi yang kurang akurat dan tepat waktu.
Pemeriksaan terhadap 158 LKPD juga menemukan 1.796 kasus kelemahan SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian, serta potensi kerugian dan kekurangan penerimaan sebanyak 2.585 kasus senilai Rp1,72 triliun.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Marwanto Harjowiryono mengemukakan, Kemenkeu tidak memiliki sarana khusus yang bisa memaksa daerah memperbaiki LKPD-nya.
“Yang bisa kita lakukan itu pemberdayaan dan komunikasi capacity building terhadap pengelolaan keuangan daerah. Belum ada peraturan perundang-undangan untuk pemberian sanksi bagi daerah yang LKPD-nya tidak baik,” ujarnya, di kantor Kemenkeu, Jakarta, kemarin.
Marwanto menambahkan, yang hanya bisa dilakukan Kemenkeu untuk memperbaiki LKPD adalah merangsang daerah dengan cara pemberian insentif.
Bagi daerah yang memperoleh opini WTP dan mampu menyelesaikan APBDnya sesuai waktu maka mereka akan mendapat prioritas untuk mendapatkan dana insentif daerah. “Daerah yang WTP dan APBD-nya tepat waktu akan mendapat prioritas. Itu insentif kami,” tandasnya. (ank)
()