Pemerintah abaikan aspirasi Pemda NTB
A
A
A
Sindonews.com - Niat pemerintah untuk membeli tujuh persen sisa divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) terus menemui tantangan. Kali ni DPD RI menilai pemerintah pusat dinilai mengabaikan aspirasi dan kepentingan daerah, khususnya daerah penghasil tambang, jika ngotot membeli tujuh persen sisa divestasi saham PT NTT tanpa persetujuan DPR.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Baiq Diyah Ratu Ganefi menegaskan, jika saham tujuh persen diserahkan pada daerah, maka daerah akan memiliki banyak keuntungan, mulai jumlah saham yang makin besar di PT NTT, posisi bargaining yang makin kuat, dan hasil royalti serta pajak yang makin meningkat, sehingga dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat daerah.
"Sudah saatnya daerah diberi keleluasaan. Bagaimana dan dengan cara apa saham itu dibeli daerah, ya silakan daerah diberi kebebasan. Toh, pemerintah pusat selama ini juga sudah menikmati royalti yang cukup besar," kata senator dari NTB itu, Senin (9/4/2012).
Anggota Komite II DPD yang membidangi sumber daya alam dan ekonomi lainnya ini mengungkapkan, DPD secara intitusi, sudah pernah mengundang Menkeu Agus Martowardojo dan Menteri ESDM (saat dijabat Darwin Zahedi Saleh) agar kepentingan daerah diutamakan, namun diabaikan pemerintah pusat.
Jika kesempatan ada daerah diberikan, juga didukung oleh wakil rakyat yang duduk di Komisi VII DPR Satya W Yudha (Golkar) dan juga anggota Komisi XI dari PPP Zaini Rachman. Keduanya menilai daerah penghasil harus diutamakan untuk kepentingan masyarakat daerah dan juga pemerintah pusat.
Sementara itu anggota Komisi XI DPR bidang keuangan dan perbankan Zaini Rachman menegaskan, langkah Menkeu Agus Martowardojo dalam kasus Newmont ini sangat keliru dari awal. Pertama, tidak mau meminta izin DPR untuk membeli sisa saham tujuh persen, tidak melaksanakan hasil audit BPK soal pembelian saham tersebut, dan terakhir kesalahan membawa masalah ini ke area sengketa kewenangan negara dengan mengajukan uji materi ke MK.
"Menurut saya, persidangan di MK soal Newmont itu mestinya batal demi hukum. Sebab tidak ada sengketa dan ini tidak kontekstual. Karena tidak ada kewenangan Kemenkeu yang diambil DPR dan juga BPK. Menkeu hanya mengulur-ulur waktu saja," tegas Zaini.
Politisi muda dari PPP ini menyebut apa yang dilakukan Menkeu selama ini tidak mendidik. "Saya menyayangkan upaya-upaya Menkeu yang terus ngotot. Dia membawa masalah Newmont ke area politis, sebab mendasarkan berbagai pertimbangan secara politis dalam kaitan penggunaan keuangan negara.Dia sepertinya kurang memahami tata laksana keuangan negara," imbuhnya.
Terkait tidak dilaksanakannya hasil audit investigasi BPK dalam kasus Newmont ini, sebelumnya Ketua BPK pada Selasa 3 April lalu menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu terancam terkena sanksi apabila tidak mau menuruti kemauan BPK terkait pembelian saham divestasi NNT sebesar tujuh persen yang harus disetujui oleh DPR.
Sedangkan anggota Komisi VII bidang pertambangan dan energi Satya W Yudha ketika dimintai tanggapannya menyatakan, sikap DPR tidak berubah yakni pembelian sisa saham divestasi Newmont itu harus atas persetujuan DPR. Jika tidak, potensi pelanggaran UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, sangat tinggi. Karena pembelian saham itu menggunakan dana PIP yang sebenarnya diperuntukkan bagi dana infrastruktur.
Ditanya soal perkembangan persidangan di MK soal Newmont, Satya tidak mau berkomentar banyak. "Kita tegaskan saja sikap DPR yang teguh dan tidak berubah. Kalau MK, itu lembaga lain, saya tidak akan menanggapi. Ikuti saja," katanya.
Beberapa saksi ahli telah dimintai tanggapannya dalam persidangan MK, seperti pada Rabu 4 April lalu, antara lain Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu yang menyatakan pembelian saham itu harus seizin DPR. Perlunya persetujuan komisi terkait ini jangan dimaknai menghambat divestasi.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Baiq Diyah Ratu Ganefi menegaskan, jika saham tujuh persen diserahkan pada daerah, maka daerah akan memiliki banyak keuntungan, mulai jumlah saham yang makin besar di PT NTT, posisi bargaining yang makin kuat, dan hasil royalti serta pajak yang makin meningkat, sehingga dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat daerah.
"Sudah saatnya daerah diberi keleluasaan. Bagaimana dan dengan cara apa saham itu dibeli daerah, ya silakan daerah diberi kebebasan. Toh, pemerintah pusat selama ini juga sudah menikmati royalti yang cukup besar," kata senator dari NTB itu, Senin (9/4/2012).
Anggota Komite II DPD yang membidangi sumber daya alam dan ekonomi lainnya ini mengungkapkan, DPD secara intitusi, sudah pernah mengundang Menkeu Agus Martowardojo dan Menteri ESDM (saat dijabat Darwin Zahedi Saleh) agar kepentingan daerah diutamakan, namun diabaikan pemerintah pusat.
Jika kesempatan ada daerah diberikan, juga didukung oleh wakil rakyat yang duduk di Komisi VII DPR Satya W Yudha (Golkar) dan juga anggota Komisi XI dari PPP Zaini Rachman. Keduanya menilai daerah penghasil harus diutamakan untuk kepentingan masyarakat daerah dan juga pemerintah pusat.
Sementara itu anggota Komisi XI DPR bidang keuangan dan perbankan Zaini Rachman menegaskan, langkah Menkeu Agus Martowardojo dalam kasus Newmont ini sangat keliru dari awal. Pertama, tidak mau meminta izin DPR untuk membeli sisa saham tujuh persen, tidak melaksanakan hasil audit BPK soal pembelian saham tersebut, dan terakhir kesalahan membawa masalah ini ke area sengketa kewenangan negara dengan mengajukan uji materi ke MK.
"Menurut saya, persidangan di MK soal Newmont itu mestinya batal demi hukum. Sebab tidak ada sengketa dan ini tidak kontekstual. Karena tidak ada kewenangan Kemenkeu yang diambil DPR dan juga BPK. Menkeu hanya mengulur-ulur waktu saja," tegas Zaini.
Politisi muda dari PPP ini menyebut apa yang dilakukan Menkeu selama ini tidak mendidik. "Saya menyayangkan upaya-upaya Menkeu yang terus ngotot. Dia membawa masalah Newmont ke area politis, sebab mendasarkan berbagai pertimbangan secara politis dalam kaitan penggunaan keuangan negara.Dia sepertinya kurang memahami tata laksana keuangan negara," imbuhnya.
Terkait tidak dilaksanakannya hasil audit investigasi BPK dalam kasus Newmont ini, sebelumnya Ketua BPK pada Selasa 3 April lalu menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu terancam terkena sanksi apabila tidak mau menuruti kemauan BPK terkait pembelian saham divestasi NNT sebesar tujuh persen yang harus disetujui oleh DPR.
Sedangkan anggota Komisi VII bidang pertambangan dan energi Satya W Yudha ketika dimintai tanggapannya menyatakan, sikap DPR tidak berubah yakni pembelian sisa saham divestasi Newmont itu harus atas persetujuan DPR. Jika tidak, potensi pelanggaran UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, sangat tinggi. Karena pembelian saham itu menggunakan dana PIP yang sebenarnya diperuntukkan bagi dana infrastruktur.
Ditanya soal perkembangan persidangan di MK soal Newmont, Satya tidak mau berkomentar banyak. "Kita tegaskan saja sikap DPR yang teguh dan tidak berubah. Kalau MK, itu lembaga lain, saya tidak akan menanggapi. Ikuti saja," katanya.
Beberapa saksi ahli telah dimintai tanggapannya dalam persidangan MK, seperti pada Rabu 4 April lalu, antara lain Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu yang menyatakan pembelian saham itu harus seizin DPR. Perlunya persetujuan komisi terkait ini jangan dimaknai menghambat divestasi.
()