Petani tolak perpanjangan HGU perkebunan
A
A
A
Sindonews.com - Ribuan petani penggarap meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Garut tidak memperpanjang Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan swasta dan BUMN yang telah habis. Para petani menilai, pemberian izin bagi pengelola perkebunan di atas lahan negara tidak akan menyejahterakan mereka.
“Banyak petani yang tidak bisa menggarap lahan negara bila HGU tetap berada di tangan pihak perkebunan. Kebijakan ini bertentangan dengan UUD 45 Pasal 33 dan UUPA No 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa tanah-tanah milik negara harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,” ucap koordinator petani yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustiana, Selasa (17/3/2012).
Dia menjelaskan, pemerintah seharusnya memberikan hak garapan atas lahan negara seluas 150 ribu hektar di Garut. Bila itu dilakukan, secara tidak langsung, 3.000 petani yang tidak lain berstatus masyarakat miskin bisa sejahtera dengan penghasilan Rp5 juta per hektar atau Rp2,5 juta per setengah hektar.
“Kami juga menginginkan agar pemerintah melibatkan masyarakat dan aparat desa dalam setiap perencanaan, penentuan tata batas, maupun izin peruntukan pemanfaatan tanah negara yang ada di Garut. Sebab, mereka juga berhak dan bertanggung jawab atas pengawasan serta pemanfaatan lahan di sekitar desa,” ujarnya.
Seorang petani asal Kecamatan Kadungora, Mansur Hidayat, 75, warga Kampung Kaledong, Desa Gandamekar, Kecamatan Kadungora, menuturkan, kehadiran perusahaan perkebunan di lahan sekitar desa menyulitkan mereka menggarap lahannya.
Ia mengaku, sebagian besar masyarakat secara turun temurun telah menggarap lahan-lahan tersebut untuk areal pertanian. “Kemudian muncul perkebunan. Dampaknya kami jadi tidak bisa leluasa menggarap,” katanya. (ank)
“Banyak petani yang tidak bisa menggarap lahan negara bila HGU tetap berada di tangan pihak perkebunan. Kebijakan ini bertentangan dengan UUD 45 Pasal 33 dan UUPA No 5 Tahun 1960 yang menyatakan bahwa tanah-tanah milik negara harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,” ucap koordinator petani yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP), Agustiana, Selasa (17/3/2012).
Dia menjelaskan, pemerintah seharusnya memberikan hak garapan atas lahan negara seluas 150 ribu hektar di Garut. Bila itu dilakukan, secara tidak langsung, 3.000 petani yang tidak lain berstatus masyarakat miskin bisa sejahtera dengan penghasilan Rp5 juta per hektar atau Rp2,5 juta per setengah hektar.
“Kami juga menginginkan agar pemerintah melibatkan masyarakat dan aparat desa dalam setiap perencanaan, penentuan tata batas, maupun izin peruntukan pemanfaatan tanah negara yang ada di Garut. Sebab, mereka juga berhak dan bertanggung jawab atas pengawasan serta pemanfaatan lahan di sekitar desa,” ujarnya.
Seorang petani asal Kecamatan Kadungora, Mansur Hidayat, 75, warga Kampung Kaledong, Desa Gandamekar, Kecamatan Kadungora, menuturkan, kehadiran perusahaan perkebunan di lahan sekitar desa menyulitkan mereka menggarap lahannya.
Ia mengaku, sebagian besar masyarakat secara turun temurun telah menggarap lahan-lahan tersebut untuk areal pertanian. “Kemudian muncul perkebunan. Dampaknya kami jadi tidak bisa leluasa menggarap,” katanya. (ank)
()