Listrik, besar pasak dari tiang
A
A
A
Sindonews.com - Kebutuhan yang besar, pasokan terbatas, serta harganya yang mahal menjadi masalah klasik dalam industri listrik Indonesia.
Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang tidak leluasa bahkan belum menikmati fasilitas listrik. Hal ini tecermin dari konsumsi listrik per kapita yang masih sangat kecil. Berdasarkan data Bank Dunia yang dilansir Frost & Sullivan, konsumsi listrik Indonesia sekitar 750 kWh per kapita.
Hal ini jauh di bawah Malaysia atau Singapura yang masing-masing sekitar 3.700 kWh per kapita dan 7.900 kWh per kapita. Bahkan tingkat konsumsi listrik Indonesia masih kalah dengan Vietnam yang sekitar 1.000 kWh per kapita. Di tingkat Asia Tenggara,besaran konsumsi listrik per kapita Indonesia sebanding dengan Filipina. Hal tersebut menggambarkan, banyak daerah yang belum menikmati listrik secara maksimal. Selama 2010 misalnya, semua daerah di Indonesia kecuali Jawa mengalami defisit listrik.
Sifat terisolasi daerah di Indonesia dan kurangnya fasilitas transmisi dan distribusi membuat transfer kelebihan daya menjadi sangat mahal. Fakta ini menunjukkan, listrik masih menjadi kebutuhan besar bagi masyarakat Indonesia.Hal ini juga berarti industri listrik mempunyai pasar yang besar untuk dikembangkan karena kebutuhannya masih besar dan belum dipenuhi dengan maksimal. Kebutuhan listrik yang besar ini menuntut pemerintah untuk bisa memenuhinya. Untuk itu, PLN memasok 78 persen listrik, sisanya sebesar 22 persen dipasok swasta (independent power producer/IPP).
Menurut analisa Frost & Sullivan, pada lima tahun mendatang potensi investasi untuk pembangkit listrik adalah sekitar USD33,5 miliar. Kapasitas pembangkit juga mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 13,8 persen. Pertumbuhan ini terjadi pada pembangkit tenaga uap, yang didorong cadangan batu bara, permintaan domestik yang kuat, dan fokus pemerintah untuk mempromosikan sektor ini. Harapannya, pada 2018 total kapasitas terpasang sebesar 33 GW.Kapasitas terpasang dari sektor ini diperkirakan akan tumbuh pada CAGR (compound annual growth rate) 13,8 persen selama periode 2008–2018.
Cadangan batu bara Indonesia memiliki yang berlimpah dan permintaan yang kuat untuk sektor manufaktur akan menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan sektor listrik tenaga uap. Sementara, pembangkit campuran tenaga air dan minyak mengalami pertumbuhan 10,8 persen pada 2011.Pemerintah berencana menambah daya 1,17 GW tenaga air sebagai bagian dari tahap kedua dari program percepatan.
Sebagian besar investasi di sektor ini akan dilakukan PLN. Gezhouba, sebuah perusahaan listrik tenaga air asal China, juga berencana berinvestasi di sektor pembangkit listrik tenaga air dan memperkuat kehadirannya di sektor utilitas di Indonesia. Indonesia memiliki total potensi tenaga air 75 GW yang sebagian besar masih belum dimanfaatkan.
Besarnya kebutuhan tapi pasokan minim membuat pemerintah harus impor listrik dari Malaysia hingga 50 megawatt (MW) pada 2014. Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman, impor listrik dilakukan dalam jangka lima tahun.Waktu lima tahun tersebut dipergunakan untuk mengganti pembangkit berbahar bakar minyak menjadi pembangkit lain yang lebih murah. Namun ada kemungkinan kontrak pembelian diperpanjang. Biaya lebih murah menjadi alasan pembelian listrik ke Malaysia.
Biaya pokok pembangkit yang menggunakan BBM mencapai 30 sen dolar per kilowatt hour (kWh), sedangkan Malaysia menjual listrik 9 sen dolar per kWh.Jarman memastikan bahwa impor tidak akan membuat PLN bergantung pada Malaysia. ”Kami tak boleh tergantung dari Serawak karena cadangan ini hanya untuk menggantikan pembangkit BBM, sehingga sebenarnya tanpa beli listrik pun, listrik di daerah tersebut cukup, tapi mahal,” kata Jarman. Selain impor,PLN berencana untuk ekspor listrik dari Sumatera ke Semenanjung Malaysia sebesar 600 MW yang akan dilakukan pada 2017.
Menurut Direktur Utama PLN Nur Pamudji, kebutuhan listrik Sumatera pada 2017 mencapai 7.000 MW dengan rasio elektrifikasi lebih dari 90 persen. Saat kebutuhan listrik mencapai angka tersebut,PLN sudah memiliki cadangan 40 persen lebih tinggi.
Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang tidak leluasa bahkan belum menikmati fasilitas listrik. Hal ini tecermin dari konsumsi listrik per kapita yang masih sangat kecil. Berdasarkan data Bank Dunia yang dilansir Frost & Sullivan, konsumsi listrik Indonesia sekitar 750 kWh per kapita.
Hal ini jauh di bawah Malaysia atau Singapura yang masing-masing sekitar 3.700 kWh per kapita dan 7.900 kWh per kapita. Bahkan tingkat konsumsi listrik Indonesia masih kalah dengan Vietnam yang sekitar 1.000 kWh per kapita. Di tingkat Asia Tenggara,besaran konsumsi listrik per kapita Indonesia sebanding dengan Filipina. Hal tersebut menggambarkan, banyak daerah yang belum menikmati listrik secara maksimal. Selama 2010 misalnya, semua daerah di Indonesia kecuali Jawa mengalami defisit listrik.
Sifat terisolasi daerah di Indonesia dan kurangnya fasilitas transmisi dan distribusi membuat transfer kelebihan daya menjadi sangat mahal. Fakta ini menunjukkan, listrik masih menjadi kebutuhan besar bagi masyarakat Indonesia.Hal ini juga berarti industri listrik mempunyai pasar yang besar untuk dikembangkan karena kebutuhannya masih besar dan belum dipenuhi dengan maksimal. Kebutuhan listrik yang besar ini menuntut pemerintah untuk bisa memenuhinya. Untuk itu, PLN memasok 78 persen listrik, sisanya sebesar 22 persen dipasok swasta (independent power producer/IPP).
Menurut analisa Frost & Sullivan, pada lima tahun mendatang potensi investasi untuk pembangkit listrik adalah sekitar USD33,5 miliar. Kapasitas pembangkit juga mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 13,8 persen. Pertumbuhan ini terjadi pada pembangkit tenaga uap, yang didorong cadangan batu bara, permintaan domestik yang kuat, dan fokus pemerintah untuk mempromosikan sektor ini. Harapannya, pada 2018 total kapasitas terpasang sebesar 33 GW.Kapasitas terpasang dari sektor ini diperkirakan akan tumbuh pada CAGR (compound annual growth rate) 13,8 persen selama periode 2008–2018.
Cadangan batu bara Indonesia memiliki yang berlimpah dan permintaan yang kuat untuk sektor manufaktur akan menjadi pendorong utama bagi pertumbuhan sektor listrik tenaga uap. Sementara, pembangkit campuran tenaga air dan minyak mengalami pertumbuhan 10,8 persen pada 2011.Pemerintah berencana menambah daya 1,17 GW tenaga air sebagai bagian dari tahap kedua dari program percepatan.
Sebagian besar investasi di sektor ini akan dilakukan PLN. Gezhouba, sebuah perusahaan listrik tenaga air asal China, juga berencana berinvestasi di sektor pembangkit listrik tenaga air dan memperkuat kehadirannya di sektor utilitas di Indonesia. Indonesia memiliki total potensi tenaga air 75 GW yang sebagian besar masih belum dimanfaatkan.
Besarnya kebutuhan tapi pasokan minim membuat pemerintah harus impor listrik dari Malaysia hingga 50 megawatt (MW) pada 2014. Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman, impor listrik dilakukan dalam jangka lima tahun.Waktu lima tahun tersebut dipergunakan untuk mengganti pembangkit berbahar bakar minyak menjadi pembangkit lain yang lebih murah. Namun ada kemungkinan kontrak pembelian diperpanjang. Biaya lebih murah menjadi alasan pembelian listrik ke Malaysia.
Biaya pokok pembangkit yang menggunakan BBM mencapai 30 sen dolar per kilowatt hour (kWh), sedangkan Malaysia menjual listrik 9 sen dolar per kWh.Jarman memastikan bahwa impor tidak akan membuat PLN bergantung pada Malaysia. ”Kami tak boleh tergantung dari Serawak karena cadangan ini hanya untuk menggantikan pembangkit BBM, sehingga sebenarnya tanpa beli listrik pun, listrik di daerah tersebut cukup, tapi mahal,” kata Jarman. Selain impor,PLN berencana untuk ekspor listrik dari Sumatera ke Semenanjung Malaysia sebesar 600 MW yang akan dilakukan pada 2017.
Menurut Direktur Utama PLN Nur Pamudji, kebutuhan listrik Sumatera pada 2017 mencapai 7.000 MW dengan rasio elektrifikasi lebih dari 90 persen. Saat kebutuhan listrik mencapai angka tersebut,PLN sudah memiliki cadangan 40 persen lebih tinggi.
()