Industri keluhkan kenaikan harga gas
A
A
A
Sindonews.com - Kalangan industri mengeluhkan kenaikan harga gas yang dinilai drastis yang ditetapkan PT Perusahaan Gas Nasional Tbk (PGN). Hal itu dinilai amat memberatkan industri manufaktur.
“Kami keberatan dengan kenaikan harga yang mencapai 55 persen karena berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi anggota asosiasi. Kenaikan harga itu ditetapkan secara sepihak tanpa sosialisasi terlebih dahulu dan sangat memberatkan industri manufaktur, khususnya petrokimia dan turunannya,” ungkap Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (INAplas) Suhat Miyarso di Jakarta, kemarin.
Menurut Suhat, produsen petrokimia dan industri turunannya sebenarnya tidak mempermasalahkan adanya kenaikan harga oleh PGN. Namun, besaran kenaikan yang langsung 55 persen dinilai terlalu tinggi. Kebijakan yang tiba-tiba itu pun menurutnya tidak sesuai dengan etika bisnis.
“Kami menerima surat pemberitahuan PGN tentang kenaikan harga pada 9 Mei 2012. Dalam surat tersebut dinyatakan kenaikan harga berlaku sejak 1 Mei 2012. Dalam etika bisnis, tidak ada aturan sepihak seperti itu,” cetusnya.
Terkait dengan itu, INAplas meminta Kementerian Perindustrian untuk memfasilitasi pertemuan dengan manajemen PGN untuk mencari solusi terbaik. Dia menegaskan, industri tidak menolak kenaikan harga, namun berharap prosesnya terlebih dulu melalui sosialisasi dan menyediakan tenggang waktu, tidak langsung mencapai 55 persen.
PGN baru-baru ini menaikkan harga jual gas menjadi USD10,2 per MMBTU, dari semula USD6,6 per MMBTU. Kenaikan harga tersebut berlaku untuk seluruh industri yang selama ini mengonsumsi gas PGN. Hal itu berkaitan dengan naiknya harga gas dari lapangan Grissik, Blok Corridor yang dioperasikan ConocoPhillips dan lapangan Pertamina EP di Sumatera Selatan.
“Harganya naik lebih dari dua kali lipat,” kata Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Gde Pradnyana beberapa waktu lalu.
Langkah menaikkan harga, ungkap Sekretaris Perusahaan PGN Heri Yusup, belum lama ini adalah langkah strategis untuk mengantisipasi kenaikan harga dari pemasok gas terhadap pendapatan perusahaan. Kendati harga gas yang diterima PGN naik hingga 200 persen, jelas dia, perseroan tetap mempertimbangkan kemampuan dan daya beli pelanggannya sehingga tidak menerapkan kenaikan dengan persentase serupa.
PGN pun berharap kenaikan harga selanjutnya akan mendorong produsen gas lebih memprioritaskan gas ke dalam negeri untuk kebutuhan industri domestik. Namun, menurut Suhat,kenaikan sebesar itu jika dipaksakan bakal memukul banyak industri nasional. “Bukan hanya industri petrokimia dan turunannya, melainkan juga industri keramik, pupuk dan lain-lain,” tuturnya.
Di sisi lain, lanjut dia, opsi untuk menaikkan harga jual produk petrokimia ke konsumen dan industri turunannya tidak bisa dilakukan. Hal itu karena produsen petrokimia harus mematuhi harga di pasar internasional. Padahal, untuk industri petrokimia, kenaikan harga gas hingga 55 persen akan mendongkrak biaya produksi sebesar 15 persen. Sedangkan, margin rata-rata industri petrokimia hanya 10 persen.
“Bisa dibayangkan kalau biaya produksi naik, sementara harga jual tetap. Maka dipastikan industri akan mengalami kesulitan. Kami berharap dapat bertemu dengan PGN untuk menegosiasikan kenaikan harga gas,” tegas Suhat.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) meminta agar pemerintah bisa menjamin adanya pasokan gas untuk sektor makanan dan minuman nasional. Terlebih setelah harga gas naik, tegas Sekjen Gapmmi Franky Sibarani, posisi industri semakin rentan.
“Kita akan minta dialokasikan lebih untuk industri makanan dan minuman khususnya yang investasinya sudah ada.Kita pada posisi yang sulit. Permasalahan naiknya gas dibebankan ke industri.Itu seharusnya tidak mengorbankan industri,” tegas Franky akhir pekan lalu. (ank)
“Kami keberatan dengan kenaikan harga yang mencapai 55 persen karena berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi anggota asosiasi. Kenaikan harga itu ditetapkan secara sepihak tanpa sosialisasi terlebih dahulu dan sangat memberatkan industri manufaktur, khususnya petrokimia dan turunannya,” ungkap Wakil Ketua Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik Indonesia (INAplas) Suhat Miyarso di Jakarta, kemarin.
Menurut Suhat, produsen petrokimia dan industri turunannya sebenarnya tidak mempermasalahkan adanya kenaikan harga oleh PGN. Namun, besaran kenaikan yang langsung 55 persen dinilai terlalu tinggi. Kebijakan yang tiba-tiba itu pun menurutnya tidak sesuai dengan etika bisnis.
“Kami menerima surat pemberitahuan PGN tentang kenaikan harga pada 9 Mei 2012. Dalam surat tersebut dinyatakan kenaikan harga berlaku sejak 1 Mei 2012. Dalam etika bisnis, tidak ada aturan sepihak seperti itu,” cetusnya.
Terkait dengan itu, INAplas meminta Kementerian Perindustrian untuk memfasilitasi pertemuan dengan manajemen PGN untuk mencari solusi terbaik. Dia menegaskan, industri tidak menolak kenaikan harga, namun berharap prosesnya terlebih dulu melalui sosialisasi dan menyediakan tenggang waktu, tidak langsung mencapai 55 persen.
PGN baru-baru ini menaikkan harga jual gas menjadi USD10,2 per MMBTU, dari semula USD6,6 per MMBTU. Kenaikan harga tersebut berlaku untuk seluruh industri yang selama ini mengonsumsi gas PGN. Hal itu berkaitan dengan naiknya harga gas dari lapangan Grissik, Blok Corridor yang dioperasikan ConocoPhillips dan lapangan Pertamina EP di Sumatera Selatan.
“Harganya naik lebih dari dua kali lipat,” kata Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Gde Pradnyana beberapa waktu lalu.
Langkah menaikkan harga, ungkap Sekretaris Perusahaan PGN Heri Yusup, belum lama ini adalah langkah strategis untuk mengantisipasi kenaikan harga dari pemasok gas terhadap pendapatan perusahaan. Kendati harga gas yang diterima PGN naik hingga 200 persen, jelas dia, perseroan tetap mempertimbangkan kemampuan dan daya beli pelanggannya sehingga tidak menerapkan kenaikan dengan persentase serupa.
PGN pun berharap kenaikan harga selanjutnya akan mendorong produsen gas lebih memprioritaskan gas ke dalam negeri untuk kebutuhan industri domestik. Namun, menurut Suhat,kenaikan sebesar itu jika dipaksakan bakal memukul banyak industri nasional. “Bukan hanya industri petrokimia dan turunannya, melainkan juga industri keramik, pupuk dan lain-lain,” tuturnya.
Di sisi lain, lanjut dia, opsi untuk menaikkan harga jual produk petrokimia ke konsumen dan industri turunannya tidak bisa dilakukan. Hal itu karena produsen petrokimia harus mematuhi harga di pasar internasional. Padahal, untuk industri petrokimia, kenaikan harga gas hingga 55 persen akan mendongkrak biaya produksi sebesar 15 persen. Sedangkan, margin rata-rata industri petrokimia hanya 10 persen.
“Bisa dibayangkan kalau biaya produksi naik, sementara harga jual tetap. Maka dipastikan industri akan mengalami kesulitan. Kami berharap dapat bertemu dengan PGN untuk menegosiasikan kenaikan harga gas,” tegas Suhat.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) meminta agar pemerintah bisa menjamin adanya pasokan gas untuk sektor makanan dan minuman nasional. Terlebih setelah harga gas naik, tegas Sekjen Gapmmi Franky Sibarani, posisi industri semakin rentan.
“Kita akan minta dialokasikan lebih untuk industri makanan dan minuman khususnya yang investasinya sudah ada.Kita pada posisi yang sulit. Permasalahan naiknya gas dibebankan ke industri.Itu seharusnya tidak mengorbankan industri,” tegas Franky akhir pekan lalu. (ank)
()