Lifting gas masuk RAPBN 2013
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah memasukkan lifting (produksi siap jual) gas dalam asumsi makro Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013. Dengan demikian, produksi gas di masa mendatang akan ikut berperan dalam memengaruhi postur anggaran pendapatan dan belanja negara. Sebelumnya pemerintah hanya memasukkan asumsi produksi minyak dalam menyusun APBN.
“Hal ini untuk memberikan keseimbangan informasi karena selama ini lifting minyak menurun dan kalau pun turun sebetulnya gas meningkat, sehingga penerimaan migas terjadi kenaikan cukup baik,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo di Jakarta baru-baru ini.
Menkeu mengakui, sebelumnya asumsi makro menekankan pada lifting minyak dan asumsi harga minyak Indonesia (indonesia crude price/ICP), tapi kini pemerintah menambahkan secara spesifik lifting gas yang ekuivalen minyak.
Dia menjelaskan, pemerintah menetapkan asumsi lifting gas sebesar 1.290–1.360 juta barel ekuivalen minyak per hari (MBOEPD) pada penyampaian kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2013 dalam rapat paripurna DPR.
“Oleh karena itu, agar publik tahu dan juga agar menciptakan pertanggungjawaban yang baik bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), kita cantumkan sesuai kesepakatan lifting gas dari tahun ke tahun, dan ini menjadi bagian dari asumsi makro,” katanya.
Menkeu juga menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2013 diasumsikan sebesar 6,8–7,2 persen, laju inflasi 4,5–5,5 persen, tingkat suku bunga SPN 3 bulan sekitar 4,5-5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp8.700- Rp9.300 per dolar AS, harga minyak USD100–120 per barel, dan lifting minyak sekitar 910.000–940.000 barel per hari.
Penerimaan Hulu Migas
Terpisah, dalam diskusi bertajuk “Membangun Kemandirian dan Ketahanan Energi untuk Mendukung Pembangunan Nasional” yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Nasional di Universitas Islam Jakarta, berbagai kalangan mengkhawatirkan terus tergerusnya penerimaan negara dari sektor hulu migas akibat membengkaknya subsidi.
Penerimaan migas yang terus meningkat dari tahun ke tahun selalu diikuti naiknya subsidi energi, baik Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun listrik. Kondisi ini menyebabkan penerimaan migas tergerus sehingga tidak dapat digunakan secara optimal untuk kebutuhan yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur.
Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana dalam diskusi itu mengatakan, pihaknya terus berusaha meningkatkan penerimaan negara dari sektor migas. Hal itu dilakukan melalui peningkatan produksi maupun perbaikan harga jual. “Tahun ini, dari perbaikan beberapa harga gas domestik dan ekspor, penerimaan akan naik setidaknya Rp6 triliun,” katanya.
Berdasarkan data BP Migas, tahun 2011 lalu sumbangan industri migas mencapai USD35,233 miliar atau sekitar Rp317,1 triliun.Jumlah ini meningkat dibanding 2010 yang pendapatannya sebesar USD26,497 miliar atau sekitar Rp238,5 triliun.
Namun, Wakil Direktur Reforminer Institut Komaidi menambahkan, peningkatan pendapatan migas itu kemudian menjadi tidak optimal karena mayoritas digunakan untuk subsidi. “Hanya 20 persen digunakan untuk kegiatan lain,” katanya.
Dia mengutip, berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat, tahun 2009 subsidi energi dan dana bagi hasil untuk daerah sebanyak Rp120,68 triliun. Tahun berikutnya, naik menjadi Rp175,31 triliun. Tahun ini diperkirakan untuk subsidi energi saja mencapai Rp170 triliun. Berdasarkan simulasi yang dilakukan Reforminer, kuota premium dan solar tahun 2012 sekitar 38,3 juta kiloliter (kl).
Kemudian, pada 2025 kuotanya diperkirakan mencapai 69,2 juta kl, dengan subsidi BBM mencapai Rp308 triliun. Padahal, penerimaan dari minyak diperkirakan akan berkurang sebanyak Rp144 triliun karena produksinya yang terus menurun. “Keadaan ini tidak dapat terus dibiarkan. Harus ada langkah konkret mengurangi ketergantungan terhadap minyak,” tegasnya. (ank)
“Hal ini untuk memberikan keseimbangan informasi karena selama ini lifting minyak menurun dan kalau pun turun sebetulnya gas meningkat, sehingga penerimaan migas terjadi kenaikan cukup baik,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo di Jakarta baru-baru ini.
Menkeu mengakui, sebelumnya asumsi makro menekankan pada lifting minyak dan asumsi harga minyak Indonesia (indonesia crude price/ICP), tapi kini pemerintah menambahkan secara spesifik lifting gas yang ekuivalen minyak.
Dia menjelaskan, pemerintah menetapkan asumsi lifting gas sebesar 1.290–1.360 juta barel ekuivalen minyak per hari (MBOEPD) pada penyampaian kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2013 dalam rapat paripurna DPR.
“Oleh karena itu, agar publik tahu dan juga agar menciptakan pertanggungjawaban yang baik bagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), kita cantumkan sesuai kesepakatan lifting gas dari tahun ke tahun, dan ini menjadi bagian dari asumsi makro,” katanya.
Menkeu juga menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2013 diasumsikan sebesar 6,8–7,2 persen, laju inflasi 4,5–5,5 persen, tingkat suku bunga SPN 3 bulan sekitar 4,5-5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp8.700- Rp9.300 per dolar AS, harga minyak USD100–120 per barel, dan lifting minyak sekitar 910.000–940.000 barel per hari.
Penerimaan Hulu Migas
Terpisah, dalam diskusi bertajuk “Membangun Kemandirian dan Ketahanan Energi untuk Mendukung Pembangunan Nasional” yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Nasional di Universitas Islam Jakarta, berbagai kalangan mengkhawatirkan terus tergerusnya penerimaan negara dari sektor hulu migas akibat membengkaknya subsidi.
Penerimaan migas yang terus meningkat dari tahun ke tahun selalu diikuti naiknya subsidi energi, baik Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun listrik. Kondisi ini menyebabkan penerimaan migas tergerus sehingga tidak dapat digunakan secara optimal untuk kebutuhan yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur.
Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana dalam diskusi itu mengatakan, pihaknya terus berusaha meningkatkan penerimaan negara dari sektor migas. Hal itu dilakukan melalui peningkatan produksi maupun perbaikan harga jual. “Tahun ini, dari perbaikan beberapa harga gas domestik dan ekspor, penerimaan akan naik setidaknya Rp6 triliun,” katanya.
Berdasarkan data BP Migas, tahun 2011 lalu sumbangan industri migas mencapai USD35,233 miliar atau sekitar Rp317,1 triliun.Jumlah ini meningkat dibanding 2010 yang pendapatannya sebesar USD26,497 miliar atau sekitar Rp238,5 triliun.
Namun, Wakil Direktur Reforminer Institut Komaidi menambahkan, peningkatan pendapatan migas itu kemudian menjadi tidak optimal karena mayoritas digunakan untuk subsidi. “Hanya 20 persen digunakan untuk kegiatan lain,” katanya.
Dia mengutip, berdasarkan laporan keuangan pemerintah pusat, tahun 2009 subsidi energi dan dana bagi hasil untuk daerah sebanyak Rp120,68 triliun. Tahun berikutnya, naik menjadi Rp175,31 triliun. Tahun ini diperkirakan untuk subsidi energi saja mencapai Rp170 triliun. Berdasarkan simulasi yang dilakukan Reforminer, kuota premium dan solar tahun 2012 sekitar 38,3 juta kiloliter (kl).
Kemudian, pada 2025 kuotanya diperkirakan mencapai 69,2 juta kl, dengan subsidi BBM mencapai Rp308 triliun. Padahal, penerimaan dari minyak diperkirakan akan berkurang sebanyak Rp144 triliun karena produksinya yang terus menurun. “Keadaan ini tidak dapat terus dibiarkan. Harus ada langkah konkret mengurangi ketergantungan terhadap minyak,” tegasnya. (ank)
()