Kemenperin fasilitasi negosiasi harga gas
A
A
A
Sindonews.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan memfasilitasi negosiasi harga gas antara asosiasi industri dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).
Hal itu dilakukan karena kebanyakan industri pengguna gas saat ini menyatakan belum siap untuk menerima kenaikan harga gas yang dinilai terlalu drastis. Kenaikan harga gas yang drastis dan mendadak dikhawatirkan berdampak buruk terhadap proses serta biaya produksi.
“Asosiasi-asosiasi ini karena ada kejutan (harga) yang tinggi jadi mereka tidak terlalu siap.Mereka minta ke kita agar memfasilitasi untuk membuka lagi kemungkinan negosiasi harga dari yang ditetapkan sekarang,” papar Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Panggah Susanto di Jakarta kemarin.
Kemenperin, tegas dia, akan terus mendorong daya saing industri melalui pemanfaatan gas secara maksimal. Langkah pertama Kemenperin, jelas dia, mengupayakan agar secara jangka panjang gas yang menjadi keunggulan Indonesia sebagai produsen gas terbesar di ASEAN dapat menjadi pendorong daya saing industri. Untuk itu, tegas dia, harga gas di Indonesia perlu diperlakukan secara berbeda.Dia mengatakan, harga gas di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain.
Dia mencontohkan, harga gas di Singapura tidak bisa dijadikan acuan karena negara itu relatif kecil dan tidak memiliki sumber daya alam dan pendapatan per kapitanya pun lebih besar dari Indonesia. Dia menambahkan, setiap sektor industri juga mengeluarkan biaya tambahan yang berbeda apabila untuk membeli gas.Dengan struktur biaya yang bermacam-macam, imbuh dia, pengenaan harga baru yang sama akan memberi pengaruh berbeda.
Seperti diketahui,PGN menaikkan harga gas per 1 Mei 2012 menjadi USD10,2 per MMBTU (million metric british thermal unit), dari semula USD6,6 per MMBTU, atau lebih dari 50 persen. PGN menaikkan harga karena harga dari produsen gas yang memasok BUMN itu juga mengalami kenaikan drastis. Kendati demikian, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai kenaikan harga gas hingga 50 persen terlalu tinggi bagi industri.
“Jadi, harus duduk bersama. Jangan mau menang sendiri saja. Semua dikumpulkan PGN, asosiasiasosiasi yang pakai gas. Ini tidak ada yang lihat kepentingan nasional, keuntungan bersama,”kata Sofjan. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengajukan keberatan atas kenaikan harga gas yang diberlakukan PGN sejak 1 Mei 2012.
Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman mengatakan, kenaikan harga gas akan membuat harga makanan dan minuman naik 5–7,5 persen, mengingat bahan bakar gas menyumbang 10-15 persen dari biaya produksi. “Kalau melihat kondisi sekarang ini ada kesan pelaksanaannya mendadak tanpa melalui perencanaan matang,” kata Adhi. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Widjaya juga menyatakan keberatan.
Menurut dia, PGN melakukan kenaikan harga gas sepihak,padahal selama ini belum mampu memenuhi kuota pasokan gas. “Sangat aneh,harga naik tetapi kuantitas dan kualitas pelayanan tidak, ini yang membuat kalangan industri protes kepada pemerintah,”cetusnya. Kebutuhan gas secara nasional terbagi tiga,yakni untuk industri hilir 1.000 MMSCFD (juta kaki kubik per hari), industri pupuk 1.000 MMCFD, dan PLN 1.796 MSCFD,dengan total kebutuhan sebesar 3.796 MMSCFD.
Namun, selama ini PGN baru mampu memasok 2.300 MMSCFD. “Sebelumnya kami sudah kirim surat protes ke PGN tetapi tidak digubris. Langkah terakhir saya sudah berkirim surat kepada Presiden. Semoga ada jalan keluar agar persoalan gas ini tidak membuat industri merugi,”ujarnya.
Achmad menjelaskan, kalau volume gas memadai maka industri dapat mengoptimalkan mesin yang dimiliki sehingga tercapai target efisiensi. Namun dengan kondisi sekarang, kemampuan produksi hanya 70 persen.
Hal itu dilakukan karena kebanyakan industri pengguna gas saat ini menyatakan belum siap untuk menerima kenaikan harga gas yang dinilai terlalu drastis. Kenaikan harga gas yang drastis dan mendadak dikhawatirkan berdampak buruk terhadap proses serta biaya produksi.
“Asosiasi-asosiasi ini karena ada kejutan (harga) yang tinggi jadi mereka tidak terlalu siap.Mereka minta ke kita agar memfasilitasi untuk membuka lagi kemungkinan negosiasi harga dari yang ditetapkan sekarang,” papar Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Panggah Susanto di Jakarta kemarin.
Kemenperin, tegas dia, akan terus mendorong daya saing industri melalui pemanfaatan gas secara maksimal. Langkah pertama Kemenperin, jelas dia, mengupayakan agar secara jangka panjang gas yang menjadi keunggulan Indonesia sebagai produsen gas terbesar di ASEAN dapat menjadi pendorong daya saing industri. Untuk itu, tegas dia, harga gas di Indonesia perlu diperlakukan secara berbeda.Dia mengatakan, harga gas di Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain.
Dia mencontohkan, harga gas di Singapura tidak bisa dijadikan acuan karena negara itu relatif kecil dan tidak memiliki sumber daya alam dan pendapatan per kapitanya pun lebih besar dari Indonesia. Dia menambahkan, setiap sektor industri juga mengeluarkan biaya tambahan yang berbeda apabila untuk membeli gas.Dengan struktur biaya yang bermacam-macam, imbuh dia, pengenaan harga baru yang sama akan memberi pengaruh berbeda.
Seperti diketahui,PGN menaikkan harga gas per 1 Mei 2012 menjadi USD10,2 per MMBTU (million metric british thermal unit), dari semula USD6,6 per MMBTU, atau lebih dari 50 persen. PGN menaikkan harga karena harga dari produsen gas yang memasok BUMN itu juga mengalami kenaikan drastis. Kendati demikian, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai kenaikan harga gas hingga 50 persen terlalu tinggi bagi industri.
“Jadi, harus duduk bersama. Jangan mau menang sendiri saja. Semua dikumpulkan PGN, asosiasiasosiasi yang pakai gas. Ini tidak ada yang lihat kepentingan nasional, keuntungan bersama,”kata Sofjan. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengajukan keberatan atas kenaikan harga gas yang diberlakukan PGN sejak 1 Mei 2012.
Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman mengatakan, kenaikan harga gas akan membuat harga makanan dan minuman naik 5–7,5 persen, mengingat bahan bakar gas menyumbang 10-15 persen dari biaya produksi. “Kalau melihat kondisi sekarang ini ada kesan pelaksanaannya mendadak tanpa melalui perencanaan matang,” kata Adhi. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Widjaya juga menyatakan keberatan.
Menurut dia, PGN melakukan kenaikan harga gas sepihak,padahal selama ini belum mampu memenuhi kuota pasokan gas. “Sangat aneh,harga naik tetapi kuantitas dan kualitas pelayanan tidak, ini yang membuat kalangan industri protes kepada pemerintah,”cetusnya. Kebutuhan gas secara nasional terbagi tiga,yakni untuk industri hilir 1.000 MMSCFD (juta kaki kubik per hari), industri pupuk 1.000 MMCFD, dan PLN 1.796 MSCFD,dengan total kebutuhan sebesar 3.796 MMSCFD.
Namun, selama ini PGN baru mampu memasok 2.300 MMSCFD. “Sebelumnya kami sudah kirim surat protes ke PGN tetapi tidak digubris. Langkah terakhir saya sudah berkirim surat kepada Presiden. Semoga ada jalan keluar agar persoalan gas ini tidak membuat industri merugi,”ujarnya.
Achmad menjelaskan, kalau volume gas memadai maka industri dapat mengoptimalkan mesin yang dimiliki sehingga tercapai target efisiensi. Namun dengan kondisi sekarang, kemampuan produksi hanya 70 persen.
()