Ladang investasi bukan hanya deposito
A
A
A
Sindonews.com - Ke mana para kas surplus Indonesia menginvestasikan uangnya? Urutan pertama tentunya deposito dan urutan terakhir hampir pasti adalah obligasi dan saham. Jumlah investor saham kita yang hanya sekitar 0,1% atau 1 untuk setiap 1.000 penduduk sangat jauh di bawah mereka yang punya deposito bank.
Mengapa begitu sedikit orang Indonesia berinvestasi dalam saham? Ada yang langsung menjawab kalau rata-rata orang Indonesia masih belum cukup kaya untuk berinvestasi saham. Jawaban ini rasanya kurang tepat karena jumlah deposito yang dihimpun perbankan nasional kenyataannya mencapai ratusan triliun rupiah. Jika digabung dengan tabungan, dana pihak ketiga di perbankan bahkan mencapai lebih dari Rp2.000 triliun.
Sementara untuk menjadi investor saham cukup punya Rp1 juta. Selain itu, yang benar adalah kita harus berinvestasi saham untuk bisa kaya, dan bukan harus kaya untuk bisa investasi saham. Ada lagi yang mengatakan, karena orang kita umumnya takut risiko sehingga tidak punya nyali untuk membeli saham. Masalahnya, menyimpan uang lebih besar dari Rp100 juta di bank pun sekarang menghadapi risiko yang sama. Membuka usaha sekecil apapun juga mengandung risiko dan sulit untuk diminimumkan.
Para investor saham sebagian besar juga orang yang takut risiko dan bukan risk takers. Tidak sedikit juga yang berdalih main saham memerlukan pengetahuan yang cukup sehingga tidak cocok untuk sarana investasi kaum awam. Jawaban yang masuk akal tetapi ada jalan keluarnya yaitu mengikuti nasihat Peter Lynch dalam bukunya One Up On Wall Street. Lynch mengatakan, tidak sulit menemukan perusahaan yang bagus, karena produk bagus ada di sekitar kita.
Lagi pula, anda dapat berinvestasi saham secara tidak langsung yaitu melalui reksa dana saham. Jawaban yang paling ngawur adalah yang mengatakan berinvestasi saham itu spekulasi atau zero-sum game, istilah kerennya. Sangat disayangkan kalau berinvestasi saham disamakan dengan berjudi main black jack di kasino. Jawaban yang lebih tepat adalah karena masyarakat kita sangat gemar deposito alias masih deposito-minded.
Gencarnya pemerintah mengajak masyarakat menabung melalui tabanas dan taska beberapa dekade lalu membuahkan hasil. Masyarakat kita sangat mengenal deposito. Jika deposito sudah lama ada di Indonesia, investasi saham baru mulai ramai sekitar tahun 1989 tetapi agak loyo saat krisis menghantam Indonesia tahun 1998.
Bank-based
Sebelumnya mereka yang kas surplus tidak punya pilihan lain kecuali menyimpan uangnya di bank. Demikian juga perusahaan yang kas defisit hanya bisa mendapatkan dana dari bank. Sistem keuangan seperti ini disebut sistem keuangan berbasis bank atau bank-based. Jerman, Jepang, dan banyak negara berkembang menganut sistem keuangan ini.
Pendukung sistem keuangan bank-based berpendapat kalau sistem ini lebih baik ketimbang market-based dalam mengatasi terjadinya asimetri informasi dan meminimumkan biaya keagenan terutama untuk negara-negara yang berada dalam tahapan awal pembangunan ekonominya. Tanpa ada bank, biaya yang harus dikeluarkan investor untuk memperoleh dan memproses informasi mengenai kondisi dan kinerja perusahaan menjadi sangat tinggi.
Keberadaan bank menurunkan risiko dan biaya pengawasan yang harus ditanggung investor publik. Pengawasan oleh bank sebagai kreditur jauh lebih efektif daripada pengawasan oleh sekumpulan kas surplus (investor) dengan informasi terbatas yang dimilikinya. Di sisi lain ada sistem keuangan berbasis pasar atau market-based yang dianut Amerika dan Inggris.
Dalam marketbased, sumber pembiayaan utama adalah dari pasar modal atau terjadi interaksi langsung antara yang punya uang dan perusahaan yang butuh uang. Pendukung sistem market based menekankan pentingnya pasar modal dalam memberikan insentif kepada kas surplus dan kas defisit.
Sistem keuangan ini lebih efisien karena bersifat langsung tanpa melalui perantara keuangan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
BUDI FRENSIDY, Penasihat Investasi dan Penulis Buku Matematika Keuangan (mai)
Mengapa begitu sedikit orang Indonesia berinvestasi dalam saham? Ada yang langsung menjawab kalau rata-rata orang Indonesia masih belum cukup kaya untuk berinvestasi saham. Jawaban ini rasanya kurang tepat karena jumlah deposito yang dihimpun perbankan nasional kenyataannya mencapai ratusan triliun rupiah. Jika digabung dengan tabungan, dana pihak ketiga di perbankan bahkan mencapai lebih dari Rp2.000 triliun.
Sementara untuk menjadi investor saham cukup punya Rp1 juta. Selain itu, yang benar adalah kita harus berinvestasi saham untuk bisa kaya, dan bukan harus kaya untuk bisa investasi saham. Ada lagi yang mengatakan, karena orang kita umumnya takut risiko sehingga tidak punya nyali untuk membeli saham. Masalahnya, menyimpan uang lebih besar dari Rp100 juta di bank pun sekarang menghadapi risiko yang sama. Membuka usaha sekecil apapun juga mengandung risiko dan sulit untuk diminimumkan.
Para investor saham sebagian besar juga orang yang takut risiko dan bukan risk takers. Tidak sedikit juga yang berdalih main saham memerlukan pengetahuan yang cukup sehingga tidak cocok untuk sarana investasi kaum awam. Jawaban yang masuk akal tetapi ada jalan keluarnya yaitu mengikuti nasihat Peter Lynch dalam bukunya One Up On Wall Street. Lynch mengatakan, tidak sulit menemukan perusahaan yang bagus, karena produk bagus ada di sekitar kita.
Lagi pula, anda dapat berinvestasi saham secara tidak langsung yaitu melalui reksa dana saham. Jawaban yang paling ngawur adalah yang mengatakan berinvestasi saham itu spekulasi atau zero-sum game, istilah kerennya. Sangat disayangkan kalau berinvestasi saham disamakan dengan berjudi main black jack di kasino. Jawaban yang lebih tepat adalah karena masyarakat kita sangat gemar deposito alias masih deposito-minded.
Gencarnya pemerintah mengajak masyarakat menabung melalui tabanas dan taska beberapa dekade lalu membuahkan hasil. Masyarakat kita sangat mengenal deposito. Jika deposito sudah lama ada di Indonesia, investasi saham baru mulai ramai sekitar tahun 1989 tetapi agak loyo saat krisis menghantam Indonesia tahun 1998.
Bank-based
Sebelumnya mereka yang kas surplus tidak punya pilihan lain kecuali menyimpan uangnya di bank. Demikian juga perusahaan yang kas defisit hanya bisa mendapatkan dana dari bank. Sistem keuangan seperti ini disebut sistem keuangan berbasis bank atau bank-based. Jerman, Jepang, dan banyak negara berkembang menganut sistem keuangan ini.
Pendukung sistem keuangan bank-based berpendapat kalau sistem ini lebih baik ketimbang market-based dalam mengatasi terjadinya asimetri informasi dan meminimumkan biaya keagenan terutama untuk negara-negara yang berada dalam tahapan awal pembangunan ekonominya. Tanpa ada bank, biaya yang harus dikeluarkan investor untuk memperoleh dan memproses informasi mengenai kondisi dan kinerja perusahaan menjadi sangat tinggi.
Keberadaan bank menurunkan risiko dan biaya pengawasan yang harus ditanggung investor publik. Pengawasan oleh bank sebagai kreditur jauh lebih efektif daripada pengawasan oleh sekumpulan kas surplus (investor) dengan informasi terbatas yang dimilikinya. Di sisi lain ada sistem keuangan berbasis pasar atau market-based yang dianut Amerika dan Inggris.
Dalam marketbased, sumber pembiayaan utama adalah dari pasar modal atau terjadi interaksi langsung antara yang punya uang dan perusahaan yang butuh uang. Pendukung sistem market based menekankan pentingnya pasar modal dalam memberikan insentif kepada kas surplus dan kas defisit.
Sistem keuangan ini lebih efisien karena bersifat langsung tanpa melalui perantara keuangan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
BUDI FRENSIDY, Penasihat Investasi dan Penulis Buku Matematika Keuangan (mai)
()