Kerja keras crazy entrepreneur

Senin, 25 Juni 2012 - 10:26 WIB
Kerja keras crazy entrepreneur
Kerja keras crazy entrepreneur
A A A
Sindonews.com - Siapa yang sangka Pulau Buru yang terletak di Kepulauan Maluku kini terangkat kembali namanya. Bukan karena pernah dijadikan sebagai tempat tahanan politik (tapol), tapi karena potensi alam yang berlimpah. Sumber daya alam itu bisa memicu warga setempat mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi.

Sampai kini kehidupan masyarakat adat di Pulau Buru masih memprihatinkan. Akses kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masih sulit didapat. Kesejahteraan mereka masih di bawah garis kemiskinan.

Hal ini disebabkan oleh akses ke wilayah perkotaan relatif jauh.Terlebih ada anggapan miring sebagian orang yang menyebutkan bahwa Pulau Buru bukan tempat yang bagus untuk dikunjungi. Karena itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali merasa prihatin dan berkeinginan membangun kesejahteraan masyarakat Pulau Buru.

Terlebih, Rhenald melihat kenyataan hidup salah satu suku di pulau ini, Waepo, adalah masyarakat adat yang merasa inferior karena persoalan sejarah. Seperti diketahui bahwa wilayah Waepo dulu dijadikan tempat pembuangan tapol.

“Padahal, potensi alamnya berlimpah. Banyak yang bisa dioptimalkan sehingga bisa menjadi sumber perekonomian masyarakat setempat,”kata Rhenald saat menjadi host dalam acara LA Inspiraction 2012 di Jakarta, Selasa 19 Juni 2012.

Karena itu, Rumah Perubahan yang dipimpin Rhenald dengan sejumlah wirausahawan sosial (social entrepeneur) turut bergerak mengangkat potensi Pulau Buru. Kerja sosial ini bermaksud ingin menghapus citra Pulau Buru yang angker dan jauh dari peradaban.

Rhenald pun mengajak suku adat setempat supaya turun gunung, mengupayakan peternakan sapi, merawat pohon-pohon cokelat,dan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang bisa dijadikan obat.“Kami yang akan mengupayakan jaringan bisnisnya dan mengangkat branding-nya,”ujar Rhenald. Para wirausahawan sosial ini harus bermalam beberapa hari di rumah warga. Selain untuk mengorek persoalan sosial yang dihadapi, mereka juga ingin menciptakan solusi supaya lepas dari kemiskinan dan keterbelakangan.

Akhirnya,mereka bisa memanfaatkan potensi sumber daya alam setempat agar bernilai ekonomi tinggi di pasaran. Hasilnya, kemiskinan yang mereka alami perlahan terkikis. Kedatangan para wirausahawan sosial ini, menurut Rhenald, bukan seperti pebisnis kapitalis yang hanya mengambil lahan penduduk. Tetapi, mereka bekerja sama dengan masyarakat yang memiliki lahan dan berinvestasi di sana. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

“Kita mencoba melakukan transformasi cara berpikir masyarakat Waepo. Kita coba memberikan mereka penjelasan bagaimana cara beternak sapi, mengolah kotoran sapi, dan menghasilkan minyak kayu putih,”tukas Rhenald. Sebelumnya ribuan sapi yang ada di wilayah itu dibiarkan hidup liar di hutan sehingga berpenyakitan. Di samping itu, pepohonan cokelat tidak dipupuk dengan baik sehingga kurus, layu dan mati, termasuk kekayaan biota lain yang tidak dijaga.

Transformasi yang dilakukan tentu tidak mudah. Butuh cara komunikasi yang lebih baik, tidak seperti menjelaskan kepada masyarakat berpendidikan. Caranya dengan mempertemukan para wirausahawan sosial dengan pemangku adat setempat. Selain soal kerja-kerja pemberdayaan, mereka juga berkomitmen untuk memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan. “Para wirausahawan sosial ini adalah orang-orang yang punya pikiran ‘gila’. Mereka ini adalah crazy entrepeneur. Karena, mereka menciptakan hal yang baru, belajar dengan emosi, dan berpikir untuk masa depan,” terang Rhenald.

Para wirausahawan sosial ini menerapkan seni perubahan, seni memulai sesuatu yang baru,dan bekerja karena nilai, meski hanya bermodalkan katakata “mantra”sehingga memotivasi mereka. Pola berpikir mereka beralih dari berorientasi pada materi menjadi berbasiskan kepedulian sosial. “Bekerja sosial itu kata orang rugi, tapi saya sudah bekerja di bidang ini selama 10 tahun, namun tak pernah merasa merugi.

Tidak ada penyesalan bagi saya,” kata Masril Koto, wirausahawan sosial yang mendirikan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani di Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat,pada 2007 itu.

Menurut Masril,kewirausahaan sosial bisa membuat perubahan bernilai martabat bagi orang lain,akan kekal dan terus dirasakan manfaatnya bagi banyak orang. Sementara, bagi Pendiri Kelompok Ta n i Lingkungan Hidup (KTLH) “Sangga Buana” Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta, Haji Chaeruddin, kerja sosial baginya tak mendapat hasil materi,tapi itu merupakan tabungan amal yang bisa dirasakan nanti.

“Kita bekerja bukan karena uang,tapi karena nilai kehidupan.Saya selalu menekankan pada manajemen nilai,bukan profit,”kata pria yang biasa dipanggil Bang Idin kepada Seputar Indonesia (SINDO).
()
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0929 seconds (0.1#10.140)