Harga gas industri naik bertahap
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah akhirnya resmi menunda kenaikan harga gas yang diterapkan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan selanjutnya memberlakukan kenaikan harga secara bertahap dengan besaran 35 persen dan 15 persen. Kenaikan bertahap rencananya akan dimulai pada September yang kemudian akan dilanjutkan pada April 2013
“Kenaikan ini juga tidak terjadi sekali, tapi dua kali. Kenaikan pertama sesudah Lebaran atau pada 1 September 2012 dan kenaikan kedua pada 1 April 2013 mendatang,” ujar Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik dalam jumpa pers di kantor Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Jero menjelaskan, kenaikan tahap pertama pada 1 September ditetapkan sebesar 35 persen. Kemudian, pada tahap kedua 1 April 2013, kenaikan gas ditetapkan sebesar 15 persen. Jero mengatakan, PGN akan segera menindaklanjuti keputusan itu supaya kinerja industri nasional tidak akan terganggu.
Seperti diketahui, sebelumnya PGN menetapkan harga gas baru untuk pelanggan industri di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat mencapai USD10,2 per MMBTU. Revisi atas kenaikan harga gas tersebut merupakan respons pemerintah atas keberatan sejumlah industri, utamanya di sektor makanan dan minuman, tekstil, baja, dan keramik. Kenaikan harga gas yang ditetapkan PGN sebesar 55 persen dinilai terlalu tinggi dan tidak diikuti dengan kualitas layanan yang setara, khususnya jaminan pasokan bagi industri.
Menurut Jero,dengan mempertimbangkan masukan yang beragam itu, pihaknya bersama Kementerian Perindustrian melakukan penghitungan ulang berapa kenaikan harga gas yang lebih sesuai. Kenaikan total sebesar 50 persen dan secara bertahap sesudah Lebaran dinilai lebih sesuai.
Terlepas dari itu, Jero mengatakan bahwa kenaikan didorong harga di dalam negeri masih tergolong murah, yakni sebesar USD6 per MMBTU, sementara harga gas di luar negeri saat ini menurutnya sudah mencapai USD16 per MMBTU. “Hal ini di dorong oleh keinginan pemerintah untuk menaikkan harga gas di hulu karena kita tahu bahwa harga gas di dalam negeri terlalu murah dan sudah pantas naik harga, sehingga dinaikkanlah di hulu,” tuturnya.
Terpisah, Sekjen Asosiasi Industri Aromatik, Olefin & Plastik Indonesia (INAPlas) Fajar A D Budiyono berharap, PGN mengambil margin keuntungan yang wajar sehingga tidak terlalu memberatkan industri. “Kita tidak ingin PGN rugi tetapi marginnya juga yang wajar, jadi sama-samalah jangan kemudian industri yang dikorbankan,” ujar Fajar kemarin.
Dia menunjuk persentase EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) dengan pendapatan rata-rata di atas 50 persen selama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa perusahaan mengambil margin terlalu besar.
Persentase EBITDA dengan pendapatan PGN pada tahun 2009 adalah 51,61 persen, pada 2010 sebesar 54,29 persen, sedangkan 2011 sebesar 48,41 persen. Sehingga, secara rata-rata, selama tiga tahun tersebut persentase EBITDA dan pendapatan PGN di atas 51 persen. Nilai margin itu, menurut Fajar, termasuk tertinggi untuk ukuran perusahaan gas.
“Jangan sampai margin dipertahankan sebesar itu namun kita dari industri yang dipaksa menanggung beban. Saya kira, kalau target laba tidak sebesar itu,maka kenaikan harga gas akan wajar,tidak lantas mencapai 55 persen seperti yang dipaksakan pada Juni 2012,” ungkapnya.
Fajar mengatakan, pernyataan PGN yang menyebutkan kenaikan harga untuk menjamin ketersediaan gas sesuai kuota juga tidak masuk akal, karena itu tergantung kemampuan perusahaan dalam mencari pasokan gas dari hulu.
“Kita semua tahu berapa PGN beli dari Conoco Philips dan Pertamina, serta berapa volume yang sanggup disediakan. Persoalannya, antara harga beli dan harga yang dibebankan kepada industri terlalu jauh,” kata Fajar.
“Kenaikan ini juga tidak terjadi sekali, tapi dua kali. Kenaikan pertama sesudah Lebaran atau pada 1 September 2012 dan kenaikan kedua pada 1 April 2013 mendatang,” ujar Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik dalam jumpa pers di kantor Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Jero menjelaskan, kenaikan tahap pertama pada 1 September ditetapkan sebesar 35 persen. Kemudian, pada tahap kedua 1 April 2013, kenaikan gas ditetapkan sebesar 15 persen. Jero mengatakan, PGN akan segera menindaklanjuti keputusan itu supaya kinerja industri nasional tidak akan terganggu.
Seperti diketahui, sebelumnya PGN menetapkan harga gas baru untuk pelanggan industri di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat mencapai USD10,2 per MMBTU. Revisi atas kenaikan harga gas tersebut merupakan respons pemerintah atas keberatan sejumlah industri, utamanya di sektor makanan dan minuman, tekstil, baja, dan keramik. Kenaikan harga gas yang ditetapkan PGN sebesar 55 persen dinilai terlalu tinggi dan tidak diikuti dengan kualitas layanan yang setara, khususnya jaminan pasokan bagi industri.
Menurut Jero,dengan mempertimbangkan masukan yang beragam itu, pihaknya bersama Kementerian Perindustrian melakukan penghitungan ulang berapa kenaikan harga gas yang lebih sesuai. Kenaikan total sebesar 50 persen dan secara bertahap sesudah Lebaran dinilai lebih sesuai.
Terlepas dari itu, Jero mengatakan bahwa kenaikan didorong harga di dalam negeri masih tergolong murah, yakni sebesar USD6 per MMBTU, sementara harga gas di luar negeri saat ini menurutnya sudah mencapai USD16 per MMBTU. “Hal ini di dorong oleh keinginan pemerintah untuk menaikkan harga gas di hulu karena kita tahu bahwa harga gas di dalam negeri terlalu murah dan sudah pantas naik harga, sehingga dinaikkanlah di hulu,” tuturnya.
Terpisah, Sekjen Asosiasi Industri Aromatik, Olefin & Plastik Indonesia (INAPlas) Fajar A D Budiyono berharap, PGN mengambil margin keuntungan yang wajar sehingga tidak terlalu memberatkan industri. “Kita tidak ingin PGN rugi tetapi marginnya juga yang wajar, jadi sama-samalah jangan kemudian industri yang dikorbankan,” ujar Fajar kemarin.
Dia menunjuk persentase EBITDA (pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) dengan pendapatan rata-rata di atas 50 persen selama tiga tahun terakhir menunjukkan bahwa perusahaan mengambil margin terlalu besar.
Persentase EBITDA dengan pendapatan PGN pada tahun 2009 adalah 51,61 persen, pada 2010 sebesar 54,29 persen, sedangkan 2011 sebesar 48,41 persen. Sehingga, secara rata-rata, selama tiga tahun tersebut persentase EBITDA dan pendapatan PGN di atas 51 persen. Nilai margin itu, menurut Fajar, termasuk tertinggi untuk ukuran perusahaan gas.
“Jangan sampai margin dipertahankan sebesar itu namun kita dari industri yang dipaksa menanggung beban. Saya kira, kalau target laba tidak sebesar itu,maka kenaikan harga gas akan wajar,tidak lantas mencapai 55 persen seperti yang dipaksakan pada Juni 2012,” ungkapnya.
Fajar mengatakan, pernyataan PGN yang menyebutkan kenaikan harga untuk menjamin ketersediaan gas sesuai kuota juga tidak masuk akal, karena itu tergantung kemampuan perusahaan dalam mencari pasokan gas dari hulu.
“Kita semua tahu berapa PGN beli dari Conoco Philips dan Pertamina, serta berapa volume yang sanggup disediakan. Persoalannya, antara harga beli dan harga yang dibebankan kepada industri terlalu jauh,” kata Fajar.
()