Perampasan lahan global makin mengkhawatirkan

Selasa, 10 Juli 2012 - 16:19 WIB
Perampasan lahan global makin mengkhawatirkan
Perampasan lahan global makin mengkhawatirkan
A A A
Sindonews.com - Krisis ekonomi, pangan, iklim dan krisis energi, global land grab (perampasan lahan global) telah memicu keriuhan di antara para investor dan negara-negara kaya untuk menguasai tanah dan sumberdaya alam di berbagai belahan dunia.

Bank Dunia maupun lembaga keuangan regional, justru memposisikan diri sebagai fasilitator atas proses perampasan tanah dan air dengan mempromosikan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada investor, serta memfasilitasi modal dan jaminan bagi mereka dengan menyusun model pembangunan ekonomi yang ekstraktif dan berdaya rusak.

Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, yang juga merupakan koordinator internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional), akibat perkembangan globalisasi perusahaan-perusahaan dunia saat ini model perampasan tanah sudah terjadi secara global akibat transnasional ini berbasis di AS, Eropa, Chile, Mexico, Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia maupun Korea Selatan. Hal ini yang menyebabkan krisis baik di daerah pedesaan maupun perkotaan.

“Tanah-tanah dirampas di Asia, Afrika, Amerika dan Eropa untuk industri pertanian, HTI, pertambangan, proyek-proyek infrastruktur, bendungan, turisme, taman nasional, industri, perluasan daerah kota maupun untuk kegiatan militer,” kata Hendri memaparkan persoalan tersebut di kantor SPI Sumatera Barat, jalan Padang Pariaman, Padang, Selasa (10/7/2012).

Katanya, karena kondisi inilah Serikat Petani Indonesia (SPI) mengadakan konferensi dan seminar internasional mengenai “Implementasi Pembaruan Agraria di Abad 21” sebagai rangkaian peringatan Hari Lahir (Harlah) SPI ke-14 dari tanggal 14-15 Juli di Bukittinggi dan 50 Kota dalam acara ini sekaligus untuk menganalisa konteks global, dinamika serta tuntutan di tingkat lokal mengenai krisis agraria hari ini.

“Dari pertemuan ini diharapkan akan dihasilkan pandangan bersama serta agenda penerapan pembaruan agraria sejati yang mencakup juga penerapan kedaulatan pangan, agroekologi, perlindungan keanekaragaman hayati dan pengakuan atas peran perempuan dan pemuda dalam pembangunan pertanian,” kata Hendri.

Sumatera Barat mempunyai posisi yang tepat untuk mengadakan konfrensi dan seminar internasional, dikarenakan memiliki tatanan agrarian unik yang disebut dengan “Tanah Ulayat”. Tanah ulayat merupakan jaminan sosial bagi seluruh anak nagari, begitulah para pendiri suku bangsa Minangkabau meletakkan pondasi dalam membangun tatanan kehidupan bagi generasi berikutnya, namun perkembangan zaman mengerus tatanan tersebut.

Sementara itu, Ketua Serikat Petani Indonesia wilayah Sumatera Barat Sukardi Bendang mengatakan, daerah ini dikenal dulunya daerah surplus beras, kini sudah berbanding terbalik. Terbukti Sumatera Barat tidak siap ketika terjadi bencana alam sehingga mendatangkan beras dari luar seperti kejadian bencana gempa 2009 dan banjir 2011.

“Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, namun tidak terlepas dari rangkain arah Pertanian yang salah arah dan tidak berpihak pada rakyat, yakni pembukaan lahan perkebunan skala besar,” kata Sukardi.

Penguasaan tanah di tingkat rumah tangga petani di Indonesia rata- rata hanya 0,3 hektar. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kurangnya produksi pangan dan tingkat kesejahteraan petani. Pelaksanaan pembaruan agraria pun penting untuk menata kembali struktur ketimpangan penguasaan agraria tersebut.

Kemudian pendistribusian tanah pada petani, khusus peruntukkannya bagi pembangunan pertanian pangan, sebagai prasyarat utama dalam pembangunan kedaulatan pangan dengan basis keadilan rakyat
(and)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7531 seconds (0.1#10.140)