Pembubaran BP Migas, tamparan dunia migas Indonesia

Rabu, 26 Desember 2012 - 08:00 WIB
Pembubaran BP Migas, tamparan dunia migas Indonesia
Pembubaran BP Migas, tamparan dunia migas Indonesia
A A A
PADA Selasa, 13 November 2012, tepatnya Pukul 11.00 WIB, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan mencengangkan. Mereka membubarkan Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas dalam UU Nomor 22 tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki hukum mengikat. Kata lain, BP Migas dinyatakan inkonstitusional dan dibubarkan.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa hubungan antara negara dengan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak Pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam UU Migas adalah bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud konstitusi.

Pengujian UU Migas ke MK ini sendiri diajukan oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sama sekali tidak berkecimpung di bidang migas, di antaranya Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (Sojupek), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, dan IKADI. Mereka menilai, UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing.

Kepala BP Migas, Raden Priyono menyebut pembubaran BP Migas oleh MK ini membuat situasi industri migas di Tanah Air ibarat pertandingan sepak bola tanpa wasit.

"Kalau ibarat kita main bola ya, FIFA pemain dan wasit itu dijadiin satu. Nah, kemudian dengan reformasi itu dipisah. Wasitnya adalah BP Migas, jadi kalau nggak ada wasit ya silakan saja," ujar Raden Priyono kepada wartawan kala itu.

Pembubaran BP Migas ini membawa konsekuensi sangat besar, di antaranya adalah menjadi tidak sahnya kontrak-kontrak yang dibuat oleh BP Migas. "Ya mestinya tidak bisa beroperasi karena kontrak itu kan harusnya ilegal, nggak bisa melaksanakan pekerjaan," sambung Priyono.

Bila kontrak-kontrak BP Migas dianggap tidak sah, itu artinya negara kehilangan pendapatan yang sangat besar. "Itu kontrak hasil pengelolaan industri hulu migas kan menghasilkan USD35 miliar per tahun, kalau per hari itu kira-kira Rp1 triliun per hari," terang Direktur Pengendalian dan Operasional BP Migas Gede Pradnyana.

Langkah kilat pemerintah

Melihat konsekuensi kehilangan uang hingga Rp1 triliun per hari, pemerintah sudah tentu tidak tinggal diam. Berbagai kebijakan langsung dikeluarkan pada saat itu juga.

"Kita menjaga seluruh pendapatan yang selama ini masuk melalui PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak) yang berasal dari KKKS," tegas Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar.

Karena itu, pemerintah segera bergegas mengambil keputusan demi menjaga keberlangsungan industri hulu migas di dalam negeri. Hanya berselang kurang lebih 5 jam pasca bubarnya BP Migas, pemerintah mengadakan Rapat Koordinasi guna membahas masalah tersebut di Kementerian ESDM.

Usai Rakor, pemerintah menyatakan jaminan bahwa kegiatan industri hulu migas akan tetap berjalan normal. "Pemerintah tentu saja menjamin seluruh kegiatan-kegiatan usaha migas tetap berjalan normal sebagaimana biasanya, sebagaimana mestinya," kata Menko Perekonomian, Hatta Rajasa.

Para investor diminta tidak panik karena tugas dan fungsi BP Migas untuk sementara akan dialihkan kepada Kementerian ESDM sehingga tidak ada kevakuman, kontrak-kontrak pun tetap sah di bawah Kementerian ESDM. "Para investor saya minta tenang saja, fungsinya BP Migas akan pindah kendalinya menjadi di ESDM," ujar Menteri ESDM, Jero Wacik.

Selain itu, para karyawan BP Migas juga diminta tetap tenang karena mereka tetap akan bekerja di bawah unit baru pengganti BP Migas. "Demikian juga seluruh personel, karyawan yang ada, beralih kepada unit ini dan berada di Kementerian ESDM," kata Jero Wacik.

Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum unit pelaksana pengganti BP Migas di bawah Kementerian ESDM. "Melalui Perpres tersebut maka unit atau Badan Pelaksana Migas itu kemudian menjadi Unit Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas berada pada ESDM," lanjut Hatta.

Bubarnya BP Migas ini memang cukup membuat khawatir para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), sehingga pemerintah perlu segera memberikan kepastian hukum. Perusahaan Gas Negara (PGN) misalnya, mengaku beberapa kontrak migas baru yang akan dibuatnya menjadi terbengkalai karena BP Migas dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

"Kontrak-kontrak baru yang akan dibuat harus menunggu, dulu kan harus ke BP, sekarang belum ada keputusan," tutur Vice President Corporate Communication PGN, Ridha Ababil.

Agar kevakuman ini tidak berkepanjangan, pemerintah berjanji akan menerbitkan Perpres tidak sampai 24 jam setelah bubarnya BP Migas. "Langsung, kami harapkan Perpresnya bisa diterbitkan hari ini," ungkap Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar.

Akhirnya, pemerintah menepati janjinya. Hanya 19 jam pasca bubarnya BP Migas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung mengumumkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 (Perpres No.95/2012). Poin terpentingnya adalah pembentukan Satuan Kerja Sementara Pengelola Kegiatah Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas) sebagai pengganti BP Migas.

Mengundang banyak reaksi

Keputusan pemerintah membentuk SK Migas di bawah Kementerian ESDM ini belum memuaskan semua pihak. SK Migas dinilai justru lebih rawan penyimpangan daripada BP Migas.

"Sebagai unit di bawah Kementerian ESDM, otoritas hulu migas ini jauh lebih mudah dimainkan," kata Anggota DPR Drajat Wibowo.

Dikhawatirkan, SK Migas ini akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik Partai Demokrat mengingat posisi Jero Wacik selaku Menteri ESDM sekaligus Kepala SK Migas juga merupakan elite partai berlambang Mercy tersebut. "Apalagi Menteri ESDM dari Partai yang berkuasa," imbuh Drajat.

Keputusan pemerintah ini juga dianggap tidak tepat dan justru kembali menciptakan ketidakpastian hukum. "Kalau BP Migas dicabut terus di bawah Menteri, ini sama juga Government to Business lagi, hanya beda jaket dan jasnya, kan ini nanti digiring ke Menteri mempunyai unit sendiri, di situ saja sudah menimbulkan ketidakpastian," jelas Pengamat Perminyakan Dirgo D Purbo.

Pernyataan ketidakpuasan juga datang dari Muhammadiyah yang mengajukan gugatan terhadap keberadaan BP Migas ke MK. Mereka menilai, pembentukan SK Migas berdasarkan peraturan Presiden (Perpres) untuk menggantikan BP Migas tak lebih dari pergantian baju BP Migas.

"Secara substantif, Perpres itu belum sepenuhnya menjalankan keputusan MK," ujar Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin.

Adhi Massardi dari Gerakan Indonesia Bersih (GIB) berpendapat, keputusan pemerintah membentuk SKSP Migas tak ubahnya seperti lelucon yang menghina konstitusi.

"Setelah mendengar BP Migas dibubarkan, kegembiraan kami hanya berlangsung beberapa jam setelah keluarnya Perpres. Ini seperti dagelan Empat Mata menjadi Bukan Empat Mata," ujarnya.

Untuk mencegah terjadinya kembali penyimpangan-penyimpangan seperti yang dilakukan BP Migas, pemerintah diminta segera menetapkan batas waktu masa transisi. Setelah masa transisi, pemerintah harus membentuk BUMN baru untuk mengelola industri hulu migas sesuai amanat konstitusi. “Kami minta batas waktu yang logis. Perpres itu harus diberi batas waktu,” tandas Din Syamsuddin.

Namun, pemerintah sendiri mengaku belum tahu hingga kapan masa transisi ini berlangsung. "SK Migas ini sampai kapan? Sampai peraturan baru keluar, saya belum tahu," tutur Menteri ESDM Jero Wacik.

Menjawab segala kritik yang dialamatkan kepada SK Migas, menteri kelahiran Bali ini berikrar bahwa SK Migas akan berbeda dengan BP Migas, bukan sekedar ganti baju seperti penilaian Muhammadiyah maupun pihak-pihak lainnya.

"Ada yang berkomentar BP Migas ini jadi SK migas cuma ganti nama, ya kita dengerin sajalah. Yang penting setelah tanggal 13 November, BP Migas yang berganti jadi SK Migas di bawah Jero Wacik harus berbeda," janji Jero.

Jero menyebut sikap SK Migas yang tidak pro asing sebagai perbedaan utama dengan BP Migas. "BP migas dicap pro asing. Kita tunjukkan bahwa kita tidak pro asing. Tidak boleh kita ini pro asing," tukas dia.

Kemudian, pria yang sebelumnya menjabat Menteri Pariwisata itu mengklaim, SK Migas akan lebih efisien daripada BP Migas. Untuk itu, ia meminta dukungan semua pihak agar membantu efisiensi di tubuh SK Migas.

"BP Migas yang kemarin dicap boros, tolong bantu kami agar tidak boros. BP Migas tidak efisien, tolong bantu agar efisien, bantulah menekan cost, ini kerja bersama," sambungnya.

Selain itu, dia juga berjanji, SK Migas bisa bekerja lebih cepat dibanding pendahulunya, BP Migas. "Mulai besok saudara boleh datang ke kantor SK Migas. Kantornya masih sama. Cuma ditambah suntikan dari saya jadi lebih cepat,” tukas Jero.

Motivasi gugatan dipertanyakan

Hingga kini, banyak pertanyaan yang belum terjawab di balik bubarnya BP Migas. Raden Priyono mengungkapkan, BP Migas sering mendapat tekanan dari berbagai pihak. "Itu biasa. Dari dalam ada, atau tekanan dari dalam dan luar. Memang di BP Migas harus tahan dengan tekanan," tutur Priyono.

Pengamat ekonomi Iksan Modjo menduga ada kongkalikong di balik pembubaran BP Migas. "Yang bermain ya semua uang yang berperan dalam kasus tersebut," ujarnya.

Iksan mempertanyakan ketidakkonsistenan sikap orang-orang di pemerintahan yang dulu menyetujui berdirinya BP Migas namun kini berbalik menyerang badan itu.

"Kasus BP Migas, itu kan yang mutusin dulu jadi BP Migas ya mereka-mereka juga, yang dulu dia sepakati, sekarang kenapa ramai-ramai lagi, motivasinya apa?" tanya dia.

Sebagai catatan, semua Fraksi di DPR (kecuali satu fraksi kecil), semua partai berbasis islam (termasuk Partai Keadilan, PAN, PPP, PBB, PKB) dan juga partai besar (PDI-P dan Golkar) mendukung ratifikasi dari UU Migas yang melahirkan BP Migas tahun 2001.

Mahfud MD adalah Menteri Pertahanan dan sempat menjadi Menteri Hukum Dan Perundangan-Undangan di era kepemimpinan almarhum Gus Dur. Kini, pihak-pihak itu malah berbalik mendukung pembubaran BP Migas oleh MK.

Mahfud misalnya, yang kini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), adalah yang memutuskan keberadaan BP Migas tidak sesuai konstitusi. Patut dipertanyakan mengapa dia tidak mempermasalahkan BP Migas saat masih menjadi Menteri dulu.

Investor butuh kepastian hukum

Pasca bubarnya BP Migas ini, juga timbul pertanyaan mengenai badan mana yang tepat untuk menggantikan BP Migas. Terkait hal ini, pengamat perminyakan Dirgo D Purbo mengusulkan fungsi pengelolaan industri hulu migas dialihkan kepada Pertamina seperti diatur dalam UU Migas tahun 1971.

"Menurut hemat saya, yang dalam waktu cepat, singkat, mengingat produksi kita makin turun, apa tidak salah kalau semua ini dikembalikan lagi ke UU Nomor 8 tahun 1971," ujar Dirgo.

Pengamat energi Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara juga mengungkapkan gagasan serupa. "Harusnya ke Pertamina karena memang menurut UUD seperti itu, kalau nanti ke ESDM sama saja," ucapnya.

Akan tetapi, menanggapi banyaknya desakan dari masyarakat itu, Pertamina dengan tegas menolak untuk diserahi tanggung jawab atas pengelolaan industri hulu migas di tanah air.

"Kami tidak ingin terlibat dalam pembuatan regulasi. Kita sudah fokus ke bisnis. Saya keberatan kalau tatanan yang sudah rapi ini kembali lagi jadi regulator," tegas Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.

Karen menjelaskan, saat ini bukan lagi masa dimana Pertamina menjadi perusahaan negara yang sangat berkuasa dan menikmati banyak keistimewaan tetapi hanya 'jago kandang'. Kini, sambung Karen, Pertamina tengah memiliki visi baru untuk menjadi perusahaan bisnis profesional yang mampu bersaing di pentas regional.

"Saya juga sudah sampaikan insan Pertamina fokus meningkatkan produksi. Kami memang ingin sekali jadi perusahaan regional," tandas Karen.

Terkait opsi pembentukan BUMN baru sebagai pengganti BP Migas, pengamat hukum UI Hikmahanto Juwana menyarankan agar sebaiknya badan pengganti BP Migas tidak berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dia mengemukakan, negara masih belum terlindung dari gugatan hukum bila pengelolaan industri hulu migas diserahkan kepada badan berbentuk BUMN.

"Bila ikuti putusan MK, diminta agar BUMN yang jadi entitas (pengganti BP Migas), maka ini tidak cukup untuk melindungi negara," jelasnya.

Bertentangan dengan pendapat Muhammadiyah dan para penggugat BP Migas lainnya, Hikmahanto justru menilai bahwa Indonesia sebenarnya masih membutuhkan badan semacam BP Migas. "Ini bukan ganti baju BP Migas, tapi negara ini memang memerlukan lembaga atau entitas yang bisa mewakili negara," ujar dia.

Guru besar hukum UI ini memaparkan, badan yang serupa dengan BP Migas diperlukan untuk mewakili negara dalam membuat kontrak-kontrak pertambangan.

"Karena industri migas yang dianut rezim kontrak, maka sebaiknya bukan negara yang berkontrak dan negara harus diwakili oleh entitas yang berbentuk badan hukum," ungkap Hikmahanto.

Bila tidak ada badan yang mewakili negara dalam pembuatan kontrak, lanjutnya, negara bisa dituntut oleh kontraktor migas bila terjadi sengketa. Artinya, negara bisa saja dipailitkan seperti halnya perusahaan dan mengalami kerugian yang luar biasa besar. “Adanya BP Migas itu sebenarnya untuk jadi bumper bagi negara selama rezim kontrak,” tandasnya.

Selain dianggap kurang tepat, pembentukan SK Migas juga belum menenangkan para investor. Investasi di sektor migas bisa terganggu karena belum terciptanya kepastian hukum di sektor migas. "Kenyataannya investasi melambat. Jangankan investor, kita juga bingung," kata Anggota Komisi VII DPR Bobby Rizaldi.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga membuat penilaian serupa. Menurut Apindo, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan BP Migas pada 13 November 2012 lalu telah memberikan preseden buruk bagi kepastian hukum hingga mengganggu iklim investasi.

"Seenaknya saja MK bisa membubarkan BP Migas, besok mana lagi yang dibatalkan?" tanya Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi.

Keputusan MK ini membuat para investor menjadi ragu karena melihat pembatalan sebuah UU dengan mudahnya tanpa mempertimbangkan konsekuensinya terhadap dunia usaha. "Hukum menjadi masalah besar," lanjut dia.

Akibat hal itu, ujar Sofjan, banyak investor yang membatalkan niatnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia. "Saya percaya investasi yang begitu banyak terdaftar di BKPM, apa mereka tidak akan menunda rencananya dulu?" tandasnya.

Seperti diketahui, saat ini pemerintah selalu membangga-banggakan bahwa Indonesia adalah Negara yang ‘seksi’ untuk berinvestasi. Atas permasalahan yang terjadi saat ini seperti kacaunya dunia migas Indonesia, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), keamanan yang tidak kondusif, masihkah Indonesia dipandang ‘seksi’?
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7933 seconds (0.1#10.140)