Makassar rawan kasus ketenagakerjaan
A
A
A
Sindonews.com - Kota Makassar dinilai rawan mengalami ledakan kasus perburuhan yang dipicu sistem penerimaan dan pengupahan tenaga kerja yang masih di bawah standar kelayakan.
Banyak perusahaan yang beroperasi di kota ini disinyalir belum menerapkan aturan Upah Minimum Kota (UMK) Makassar 2013 yang sudah mencapai Rp1.500.000 perbulan. Padahal, perusahaan maupun pengusaha yang tidak mau membayarkan UMP dan UMK berarti melanggar UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana pengusaha dapat dijerat kurungan penjara maksimal empat tahun dan denda minimal Rp100 juta sampai Rp400 juta.
“Dalam sebulan saja di Komisi D, sudah dua laporan praktik kecurangan tentang ketenagakerjaan. Pertama tentang Alfamart dan yang kedua hotel mercure. Makanya pengawasan harus diperketat. Kalau tidak, di Makassar akan terjadi ledakan kasus buruh,” ungkap Ketua Komisi D DPRD Makassar Swarno Sudirman, Senin (4/3/2013).
Menurut Swarno, untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif memang tidak muda. Disnaker Kota Makassar harus bekerja keras. Apalagi dari laporan yang masuk, kasus perburuhan di kota ini juga menyentuh minimnya jaminan sosial para pekerja.
Diari enam ribu perusahaan yang beroperasi, dengan total tenaga kerja yang diserap sebanyak 38 ribu, 70 persen diantaranya tidak memberikan Jamimam Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) kepada karyawannya.
Dengan tidak adanya Jamsostek ini, lanjut dia, maka tidak ada perlindungan bagi buruh yang akan berdampak bagi pekerja yang bersangkutan. Baik terhadap jaminan kesehatan, jaminan hari tua, atau bahkan auransi kematian jika terjadi kecelakaan kerja.
Sementara itu Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Makasar Andi Bukti Djufri mengakui jika pihaknya belum memeiliki data jumlah perusahaan yang sudah menerapkan UMK. Sejauh ini pihaknya baru menerima laporan satu perusahaan yang meminta untuk menunda.
“Sekali lagi kami terkendala pada sumber daya. Jumlah tenaga pengawas kami hanya 12 orang sementara idealnya sekitar 40 orang. Tapi kami telah bersurat,” ungkapnya.
Dia menambahkan, di tahun 2012 lalu, pihaknya menerima 120 laporan buruh yang sebagain besar karena persoalan upah yang tidak sesuai UMK, pemberian jaminan keselamatan dan kesehatan, serta tunjangan-tunjangan lain yang menjadi hak para pekerja. Dari 120 kasus tersebut, lima di antaranya diteruskan ke pengadilan hubungan industrial.
Banyak perusahaan yang beroperasi di kota ini disinyalir belum menerapkan aturan Upah Minimum Kota (UMK) Makassar 2013 yang sudah mencapai Rp1.500.000 perbulan. Padahal, perusahaan maupun pengusaha yang tidak mau membayarkan UMP dan UMK berarti melanggar UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana pengusaha dapat dijerat kurungan penjara maksimal empat tahun dan denda minimal Rp100 juta sampai Rp400 juta.
“Dalam sebulan saja di Komisi D, sudah dua laporan praktik kecurangan tentang ketenagakerjaan. Pertama tentang Alfamart dan yang kedua hotel mercure. Makanya pengawasan harus diperketat. Kalau tidak, di Makassar akan terjadi ledakan kasus buruh,” ungkap Ketua Komisi D DPRD Makassar Swarno Sudirman, Senin (4/3/2013).
Menurut Swarno, untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif memang tidak muda. Disnaker Kota Makassar harus bekerja keras. Apalagi dari laporan yang masuk, kasus perburuhan di kota ini juga menyentuh minimnya jaminan sosial para pekerja.
Diari enam ribu perusahaan yang beroperasi, dengan total tenaga kerja yang diserap sebanyak 38 ribu, 70 persen diantaranya tidak memberikan Jamimam Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) kepada karyawannya.
Dengan tidak adanya Jamsostek ini, lanjut dia, maka tidak ada perlindungan bagi buruh yang akan berdampak bagi pekerja yang bersangkutan. Baik terhadap jaminan kesehatan, jaminan hari tua, atau bahkan auransi kematian jika terjadi kecelakaan kerja.
Sementara itu Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Makasar Andi Bukti Djufri mengakui jika pihaknya belum memeiliki data jumlah perusahaan yang sudah menerapkan UMK. Sejauh ini pihaknya baru menerima laporan satu perusahaan yang meminta untuk menunda.
“Sekali lagi kami terkendala pada sumber daya. Jumlah tenaga pengawas kami hanya 12 orang sementara idealnya sekitar 40 orang. Tapi kami telah bersurat,” ungkapnya.
Dia menambahkan, di tahun 2012 lalu, pihaknya menerima 120 laporan buruh yang sebagain besar karena persoalan upah yang tidak sesuai UMK, pemberian jaminan keselamatan dan kesehatan, serta tunjangan-tunjangan lain yang menjadi hak para pekerja. Dari 120 kasus tersebut, lima di antaranya diteruskan ke pengadilan hubungan industrial.
(gpr)