Nilai tukar rupiah diprediksi stagnan
A
A
A
Sindonews.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan akhir pekan ini diprediksi masih akan stagnan.
"Untuk Jumat (15/3/2013), nilai tukar rupiah terhadap USD masih tidak akan terlalu banyak pergerakan dan masih diprediksi di level 9.690- 9.710," kata analis valas Rahadyo Anggoro Widagdo, Jumat (15/3/2013).
Menurut dia, yang harus diperhatikan adalah hasil dari pertemuan para pemimpin Uni Eropa berkumpul di Brussels untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi yang digelar di tengah keraguan diantara anggota soal keampuhan kebijakan dalam mengatasi krisis ekonomi.
Para pemimpin kemungkinan akan membahas cara untuk melonggarkan aturan karena resesi dan pengangguran yang melanda di kawasan selatan. Fokusnya adalah konsolidasi fiskal yang ramah pertumbuhan. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah statement Presiden Perancis Francois Hollande mengatakan negaranya tidak akan mencapai target pengurangan defisit tahun ini.
Hollande memproyeksikan defisit tanpa diragukan mencapai 3,7 persen PDB, diatas batas 3 persen. Pernyataan itu mendapat respon dari Jerman yang memperingatkan meleset dari target bisa menjadi sinyal buruk bagi zona Eropa.
Sementara pada Kamis (14/3/2013), rupiah ditutup melemah ke level Rp9.702/9.707 setelah sebelumnya pada hari Rabu (13/3/2013) ditutup di level 9.692/9.697. Pelemahan ini dipengaruhi oleh kondisi global, dimana data penjualan ritel AS yang mengindikasikan pemulihan ekonomi.
Data penjualan ritel mencatat pertumbuhan terpesat dalam lima bulan. Penjualan ritel tumbuh 1,1 persen selama Februari, 2013 lebih besar dari prediksi 0,5 persen.
Data ekonomi AS yang bagus sempat memicu spekulasi the Fed bakal mengurangi atau mempersingkat stimulus moneternya. Namun, mengingat the Fed punya target tingkat pangangguran harus turun ke 6,5 persen, sepertinya kecil kemungkinan program pembelian asetnya berubah dalam waktu dekat. Meski belum mengubah posisi the Fed, perbaikan kondisi ekonomi mendorong permintaan dolar.
Sementara di zona Eropa, krisis utang dan ketidakpastian politik di Italia menjadi faktor yang membebani zona eropa dengan buruknya kondisi ekonomi di kawasan,tersebut dengan mengumumkan produksi industrial turun 0,4 persen selama Januari, lebih besar dari prediksi 0,1 persen.
Penurunan ini menunjukkan berkurangnya produk yang dibeli di saat tingkat pengangguran tinggi. Kondisi ini memberi tekanan tambahan ke Eropa dengan hasil lelang obligasi Italia yang mengecewakan, di mana investor menuntut yield lebih tinggi, menyusul penurunan rating oleh Fitch.
Pasar kini mencermati pertemuan Uni Eropa di Brussel. Euro diperdagangkan di USD1,2965, setelah sempat jatuh sampai ke USD1,2922, terendah sejak 10 Desember 2012. Sejak menyentuh level tertinggi USD1,3711, euro telah melemah 6 persen.
Dari bursa saham juga ditutup melemah, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 49 poin terkena aksi ambil untung (profit taking) karena posisinya masih tinggi, dan juga karena belum adanya sentimen positif. Pada penutupan perdagangan Kamis (14/3/2013), IHSG turun 49,072 poin (1,01 persen) ke level 4.786,367.
"Untuk Jumat (15/3/2013), nilai tukar rupiah terhadap USD masih tidak akan terlalu banyak pergerakan dan masih diprediksi di level 9.690- 9.710," kata analis valas Rahadyo Anggoro Widagdo, Jumat (15/3/2013).
Menurut dia, yang harus diperhatikan adalah hasil dari pertemuan para pemimpin Uni Eropa berkumpul di Brussels untuk menghadiri pertemuan tingkat tinggi yang digelar di tengah keraguan diantara anggota soal keampuhan kebijakan dalam mengatasi krisis ekonomi.
Para pemimpin kemungkinan akan membahas cara untuk melonggarkan aturan karena resesi dan pengangguran yang melanda di kawasan selatan. Fokusnya adalah konsolidasi fiskal yang ramah pertumbuhan. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah statement Presiden Perancis Francois Hollande mengatakan negaranya tidak akan mencapai target pengurangan defisit tahun ini.
Hollande memproyeksikan defisit tanpa diragukan mencapai 3,7 persen PDB, diatas batas 3 persen. Pernyataan itu mendapat respon dari Jerman yang memperingatkan meleset dari target bisa menjadi sinyal buruk bagi zona Eropa.
Sementara pada Kamis (14/3/2013), rupiah ditutup melemah ke level Rp9.702/9.707 setelah sebelumnya pada hari Rabu (13/3/2013) ditutup di level 9.692/9.697. Pelemahan ini dipengaruhi oleh kondisi global, dimana data penjualan ritel AS yang mengindikasikan pemulihan ekonomi.
Data penjualan ritel mencatat pertumbuhan terpesat dalam lima bulan. Penjualan ritel tumbuh 1,1 persen selama Februari, 2013 lebih besar dari prediksi 0,5 persen.
Data ekonomi AS yang bagus sempat memicu spekulasi the Fed bakal mengurangi atau mempersingkat stimulus moneternya. Namun, mengingat the Fed punya target tingkat pangangguran harus turun ke 6,5 persen, sepertinya kecil kemungkinan program pembelian asetnya berubah dalam waktu dekat. Meski belum mengubah posisi the Fed, perbaikan kondisi ekonomi mendorong permintaan dolar.
Sementara di zona Eropa, krisis utang dan ketidakpastian politik di Italia menjadi faktor yang membebani zona eropa dengan buruknya kondisi ekonomi di kawasan,tersebut dengan mengumumkan produksi industrial turun 0,4 persen selama Januari, lebih besar dari prediksi 0,1 persen.
Penurunan ini menunjukkan berkurangnya produk yang dibeli di saat tingkat pengangguran tinggi. Kondisi ini memberi tekanan tambahan ke Eropa dengan hasil lelang obligasi Italia yang mengecewakan, di mana investor menuntut yield lebih tinggi, menyusul penurunan rating oleh Fitch.
Pasar kini mencermati pertemuan Uni Eropa di Brussel. Euro diperdagangkan di USD1,2965, setelah sempat jatuh sampai ke USD1,2922, terendah sejak 10 Desember 2012. Sejak menyentuh level tertinggi USD1,3711, euro telah melemah 6 persen.
Dari bursa saham juga ditutup melemah, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 49 poin terkena aksi ambil untung (profit taking) karena posisinya masih tinggi, dan juga karena belum adanya sentimen positif. Pada penutupan perdagangan Kamis (14/3/2013), IHSG turun 49,072 poin (1,01 persen) ke level 4.786,367.
(rna)