Pengusaha pertambangan nilai aturan DMO tidak adil
A
A
A
Sindonews.com - Penerapan aturan Domestic Market Obligation (DMO) selama ini dinilai tidak adil oleh kalangan pengusaha pertambangan. Hal ini karena infrastruktur yang belum memadai sehingga mengakibatkan kesenjangan kualitas antara batu bara yang dihasilkan dengan yang dibutuhkan.
“Terjadi ketidakadilan implementasi DMO akibat belum terbangunnya coal infrastructure plan (CIP) oleh pemerintah. Dengan lebarnya kualitas batu bara yang dihasilkan oleh pelaku usaha pertambangan batu bara, dibandingkan kualitas batu bara yang secara umum dibutuhkan,” kata Koordinator Komite Kerja Lintas Asosiasi Pertambangan, Irwandi Arif dalam pernyataan pers di Hotel Sultan, Jakarta, (15/04/2013).
Dalam pelaksanaannya, konsumsi batu bara yang terbesar dilakukan oleh PLN untuk menghidupi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) miliknya. Namun konsumsi batu bara tersebut menimbulkan inefisiensi selama proses coal logistic chain.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar kebutuhan PLN khususnya untuk mega proyek PLTU Batubara 10.000 MW tidak memakai Flue Gas Desulfurization (FGD) sehingga batu bara yang terserap di dalam negeri hanya dengan batasan sulfur maksimal 0,35 (daf) atau 0,25 (ar).
Di sisi lain, hampir sebagian besar negara importir batu bara mensyaratkan kandungan sulfur maksimal 1,0 persen (ar). Untuk batu bara kalori tinggi (di atas 6.000 kcal/kg – ar) juga hanya sebagian kecil yang terserap di sektor kelistrikan di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan DMO belum dapat diterapkan secara adil bagi semua pelaku usaha.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Singgih Widagdo menilai belum ada data yang jelas tentang kebutuhan dan daya serap batu bara di Indonesia.
“Kenapa DMO tidak direspon dengan bagus, karena kita tidak mengetahui kebutuhan dan berapa daya serapnya,” ujar Singgih.
Aturan DMO diterapkan sejak tahun 2009 oleh Menteri ESDM. Aturan tersebut bertujuan agar kebutuhan industri dalam negeri mendapatkan prioritas dalam penjualan batu bara. Hal ini untuk mencegah terjadinya krisis energi terutama listrik, akibat sebagian besar batu bara diekspor ke luar negeri.
“Terjadi ketidakadilan implementasi DMO akibat belum terbangunnya coal infrastructure plan (CIP) oleh pemerintah. Dengan lebarnya kualitas batu bara yang dihasilkan oleh pelaku usaha pertambangan batu bara, dibandingkan kualitas batu bara yang secara umum dibutuhkan,” kata Koordinator Komite Kerja Lintas Asosiasi Pertambangan, Irwandi Arif dalam pernyataan pers di Hotel Sultan, Jakarta, (15/04/2013).
Dalam pelaksanaannya, konsumsi batu bara yang terbesar dilakukan oleh PLN untuk menghidupi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) miliknya. Namun konsumsi batu bara tersebut menimbulkan inefisiensi selama proses coal logistic chain.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar kebutuhan PLN khususnya untuk mega proyek PLTU Batubara 10.000 MW tidak memakai Flue Gas Desulfurization (FGD) sehingga batu bara yang terserap di dalam negeri hanya dengan batasan sulfur maksimal 0,35 (daf) atau 0,25 (ar).
Di sisi lain, hampir sebagian besar negara importir batu bara mensyaratkan kandungan sulfur maksimal 1,0 persen (ar). Untuk batu bara kalori tinggi (di atas 6.000 kcal/kg – ar) juga hanya sebagian kecil yang terserap di sektor kelistrikan di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan DMO belum dapat diterapkan secara adil bagi semua pelaku usaha.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Singgih Widagdo menilai belum ada data yang jelas tentang kebutuhan dan daya serap batu bara di Indonesia.
“Kenapa DMO tidak direspon dengan bagus, karena kita tidak mengetahui kebutuhan dan berapa daya serapnya,” ujar Singgih.
Aturan DMO diterapkan sejak tahun 2009 oleh Menteri ESDM. Aturan tersebut bertujuan agar kebutuhan industri dalam negeri mendapatkan prioritas dalam penjualan batu bara. Hal ini untuk mencegah terjadinya krisis energi terutama listrik, akibat sebagian besar batu bara diekspor ke luar negeri.
(gpr)