Ladang migas RI 90% dikuasai asing
Senin, 01 Juli 2013 - 16:11 WIB

Ladang migas RI 90% dikuasai asing
A
A
A
Sindonews.com - Krisis energi di Indonesia disebabkan banyak persoalan. Termasuk kepemilikan ladang minyak dan gas (migas) yang mayoritas dikuasai pihak asing.
Dewan Pakar Pusat Studi Energi (PSE) UGM Fahmy Radhi mengatakan, karakteristik kebijakan pemerintah berkaitan bahan bakar mintak (BBM) responsif, parsial dan jangka panjang. Sementara, kebijakan energi seharusnya lebih antisipatif, komprehensif dan jangka panjang.
Akibatnya, setiap kali terjadi penetapan harga BBM bersubsidi muncul "kegaduhan" dan ketidakpastian. Kondisi ini memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, memperburuk kondisi ekonomi makro serta mempercepat proses pemiskinan rakyat.
PSE merekomendasikan pemerintah menetapkan mekanisme pentapan harga BBM untuk diterapkan secara berkala berdasarkan indikator terukur, rasional dan berkeadilan. Data dan fakta menunjukan lebih dari 90 persen pengelolaan landang migas dikuasai perusahaan asing. BUMN dan BUMD hanya menguasai 10 persen.
"Komposisi tersebut, selain berpotensi untuk melanggar amanah konstitusi UUD 1945 juga menyulitkan pemerintah," katanya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (1/7/2013).
Contohnya, kata dia, pemerintah kesulitan melakukan kontrol terhadap besaran lifting, penetapan harga pokok produksi dan cost of recovery hingga jumlah pajak yang harus disetor ke negara. Atas alasan ini, PSE UGM mendesak pemerintah melakukan renegosiasi pengelolan migas yang lebih menguntungkan bangsa Indonesia.
Pemerintah juga perlu menguatkan peran BUMN dalam mengelola pertambangan di Indonesia. Dengan kata lain, BUMN harus mengambil alih kontrak pertambangan menjelang berakhirnya kontrak karya kontraktor asing.
Selain itu, pemerintah juga perlu segera melakukan migrasi dari BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) serta melakukan pengaturan dan pembatasan kendaraan bermotor sembari mengembangkan transportasi massal.
Dewan Pakar Pusat Studi Energi (PSE) UGM Fahmy Radhi mengatakan, karakteristik kebijakan pemerintah berkaitan bahan bakar mintak (BBM) responsif, parsial dan jangka panjang. Sementara, kebijakan energi seharusnya lebih antisipatif, komprehensif dan jangka panjang.
Akibatnya, setiap kali terjadi penetapan harga BBM bersubsidi muncul "kegaduhan" dan ketidakpastian. Kondisi ini memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, memperburuk kondisi ekonomi makro serta mempercepat proses pemiskinan rakyat.
PSE merekomendasikan pemerintah menetapkan mekanisme pentapan harga BBM untuk diterapkan secara berkala berdasarkan indikator terukur, rasional dan berkeadilan. Data dan fakta menunjukan lebih dari 90 persen pengelolaan landang migas dikuasai perusahaan asing. BUMN dan BUMD hanya menguasai 10 persen.
"Komposisi tersebut, selain berpotensi untuk melanggar amanah konstitusi UUD 1945 juga menyulitkan pemerintah," katanya di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (1/7/2013).
Contohnya, kata dia, pemerintah kesulitan melakukan kontrol terhadap besaran lifting, penetapan harga pokok produksi dan cost of recovery hingga jumlah pajak yang harus disetor ke negara. Atas alasan ini, PSE UGM mendesak pemerintah melakukan renegosiasi pengelolan migas yang lebih menguntungkan bangsa Indonesia.
Pemerintah juga perlu menguatkan peran BUMN dalam mengelola pertambangan di Indonesia. Dengan kata lain, BUMN harus mengambil alih kontrak pertambangan menjelang berakhirnya kontrak karya kontraktor asing.
Selain itu, pemerintah juga perlu segera melakukan migrasi dari BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) serta melakukan pengaturan dan pembatasan kendaraan bermotor sembari mengembangkan transportasi massal.
(izz)