Kasus Indosat-IM2 resahkan investor telekomunikasi
A
A
A
Sindonews.com - Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atas kasus IM2 meresahkan para investor pasar modal. Penyebabnya, regulasi yang tidak jelas bisa menjerat siapa saja yang menjalankan bisnis di tanah air.
"Bisa saja terjadi (investor akan ketakutan) kalau putusan itu dampaknya negatif, artinya ini terkait dengan regulasi industri telekomunikasi,“ ungkap analis pasar modal, Pardomuan Sihombing kepada wartawan, Jumat (19/7/2013).
Dia mengatakan, investor yang akan menanam modal menjadi ragu-ragu, apakah dana investasi bisa kembali atau tidak saat perusahaannya tiba-tiba terjerat kasus. Jelas, keraguan ini mengancam industri keseluruhan.
"Investor memerlukan kepastian hukum, karena hal tersebut yang membuat aturan-aturan industri menjadi jelas, sehingga menjamin perkembangan industri telekomunikasi,” ungkapnya.
Pardomuan menambahkan, saat ini gejala kekawatiran belum dirasakan. Pasalnya, proses hukum belum berakhir. Namun, jika sudah ada keputusan hakim yang mengikat dan menyatakan IM2 bersalah, maka imbasnya akan terasa. "Kita semua mengharapkan hasil final akan menjadi lebih baik," ungkap Pardomuan.
Sekedar informasi, pada Senin 8 Juli 2013, Pengadilan Tipikor menghukum mantan Direktur Utama IM2 Indar Atmanto dengan penjara 4 tahun dengan denda sebesar Rp200 juta subsidair 3 bulan penjara. Hakim juga menghukum IM2 bayar denda Rp1,3 triliun. Hakim menilai, kerjasama jaringan Indosat-IM2 ada unsur korupsi.
Putusan ini berdampak besar, apalagi hampir semua pelaku bisnis sektor telekomunikasi tercatat sebagai perusahaan publik juga menjalankan model bisnis serupa. Diantaranya PT Indosat Tbk, PT Telkomsel Tbk, PT XL Axiata Tbk, PT Smartfren Telecom, PT. Bakrie Telecom Tbk dan lainnya.
Sektor komunikasi sendiri memberikan kontribusi Rp11,8 triliun dalam penerimaan negara dan pada 2012. Angka ini adalah pendapatan terbesar bagi Indonesia selain sektor energi dan sumber daya mineral.
Karena berpotensi berdampak besar, pelaku usaha lewat Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) dan regulator yakni Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah melaporkan hakim yang menyidangkan kasus ini ke Komisi Yudisial.
Mastel menilai ada dugaan pelanggaran kode etik oleh majelis hakim dalam menyidangkan perkara tersebut. "Ada beberapa poin yang diadukan kepada Komisi Yudisial, yakni bahwa majelis hakim dalam memeriksa dan mengadili tidak profesional dalam memahami perkara yang diajukan," kata Ketua Umum Mastel Setyanto P. Santosa.
Setyanto menilai, majelis hakim tidak bersikap adil dalam membuat putusannya. Menurutnya, majelis hakim hanya mendengarkan keterangan ahli dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan mengabaikan pendapat resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku regulator Telekomunikasi Indonesia.
"Bisa saja terjadi (investor akan ketakutan) kalau putusan itu dampaknya negatif, artinya ini terkait dengan regulasi industri telekomunikasi,“ ungkap analis pasar modal, Pardomuan Sihombing kepada wartawan, Jumat (19/7/2013).
Dia mengatakan, investor yang akan menanam modal menjadi ragu-ragu, apakah dana investasi bisa kembali atau tidak saat perusahaannya tiba-tiba terjerat kasus. Jelas, keraguan ini mengancam industri keseluruhan.
"Investor memerlukan kepastian hukum, karena hal tersebut yang membuat aturan-aturan industri menjadi jelas, sehingga menjamin perkembangan industri telekomunikasi,” ungkapnya.
Pardomuan menambahkan, saat ini gejala kekawatiran belum dirasakan. Pasalnya, proses hukum belum berakhir. Namun, jika sudah ada keputusan hakim yang mengikat dan menyatakan IM2 bersalah, maka imbasnya akan terasa. "Kita semua mengharapkan hasil final akan menjadi lebih baik," ungkap Pardomuan.
Sekedar informasi, pada Senin 8 Juli 2013, Pengadilan Tipikor menghukum mantan Direktur Utama IM2 Indar Atmanto dengan penjara 4 tahun dengan denda sebesar Rp200 juta subsidair 3 bulan penjara. Hakim juga menghukum IM2 bayar denda Rp1,3 triliun. Hakim menilai, kerjasama jaringan Indosat-IM2 ada unsur korupsi.
Putusan ini berdampak besar, apalagi hampir semua pelaku bisnis sektor telekomunikasi tercatat sebagai perusahaan publik juga menjalankan model bisnis serupa. Diantaranya PT Indosat Tbk, PT Telkomsel Tbk, PT XL Axiata Tbk, PT Smartfren Telecom, PT. Bakrie Telecom Tbk dan lainnya.
Sektor komunikasi sendiri memberikan kontribusi Rp11,8 triliun dalam penerimaan negara dan pada 2012. Angka ini adalah pendapatan terbesar bagi Indonesia selain sektor energi dan sumber daya mineral.
Karena berpotensi berdampak besar, pelaku usaha lewat Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) dan regulator yakni Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) telah melaporkan hakim yang menyidangkan kasus ini ke Komisi Yudisial.
Mastel menilai ada dugaan pelanggaran kode etik oleh majelis hakim dalam menyidangkan perkara tersebut. "Ada beberapa poin yang diadukan kepada Komisi Yudisial, yakni bahwa majelis hakim dalam memeriksa dan mengadili tidak profesional dalam memahami perkara yang diajukan," kata Ketua Umum Mastel Setyanto P. Santosa.
Setyanto menilai, majelis hakim tidak bersikap adil dalam membuat putusannya. Menurutnya, majelis hakim hanya mendengarkan keterangan ahli dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan mengabaikan pendapat resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku regulator Telekomunikasi Indonesia.
(gpr)