Hatta desak KPPU selidiki kartel bahan pokok
A
A
A
Sindonews.com - Menanggapi pernyataan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang menyebutkan ada potensi terjadi kartel di enam komoditas pokok sebesar Rp11,4 triliun, Menko Perekonomian Hatta Rajasa meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidikinya.
"Soal kartel kita serahkan kepada KPPU. Jangan saya menuduh terjadi kartel, tapi tidak punya data," ujar Hatta di kediaman Chairul Tanjung, Jakarta, Jumat (19/7/2013) malam.
Dia meminta KPPU bekerja keras mencari kartel yang berkaitan dengan komoditas bahan pokok tersebut. "Saya minta KPPU bekerja keras untuk melihat (kartel) itu. Kalau sampai ada, tolong tertibkan," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur mengungkapkan, selama ini pangan nasional tidak seimbang karena demand banyak, sementara suplai berkurang.
Berdasarkan catatan Kadin, potensi kartel dari enam komoditas strategis, yaitu daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras nilainya mencapai Rp11,34 triliun. "Nilai potensi kartel ini belum termasuk komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan," terang Natsir.
Jika dirinci, lanjut Natsir, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel bisa diperkirakan. Di mana kebutuhan daging sapi yang mencapai 340 ribu ton, nilai kartelnya sekitar Rp340 miliar. Kemudian daging ayam 1,4 juta ton mencapai Rp1,4 triliun.
Sementara, gula sebanyak 4,6 juta ton nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp4,6 triliun, kedelai 1,6 juta ton sebesar Rp1,6 triliun, jagung 2,2 juta ton kartelnya kurang lebih Rp2,2 triliun, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.
Menurut Natsir, gambaran tersebut diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangan. Pengelolaan kebijakan pangan pemerintah dinilai masih sangat sentralistik.
Menurutnya, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian tidak ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemerintah daerah yang sebenarnya lebih tahu kebutuhan daerah.
"Kontrol DPR terhadap pangan juga lemah. Sehingga, DPR perlu memberikan sanksi kepada kementerian yang tidak dapat menjaga kenaikan pangan yang berdampak ke rakyat. Sanksinya bisa berupa pengurangan anggaran di Kementerian itu," tegas Natsir.
Pihaknya berharap pemerintah melalui Menko Perekonomian bisa merombak tata niaga pangan ke arah yang tepat, terutama komoditas pangan yang strategis, seperti gula komsumsi/rafinasi yang perlu dibuka pabrik-pabrik baru, kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih.
"Soal kartel kita serahkan kepada KPPU. Jangan saya menuduh terjadi kartel, tapi tidak punya data," ujar Hatta di kediaman Chairul Tanjung, Jakarta, Jumat (19/7/2013) malam.
Dia meminta KPPU bekerja keras mencari kartel yang berkaitan dengan komoditas bahan pokok tersebut. "Saya minta KPPU bekerja keras untuk melihat (kartel) itu. Kalau sampai ada, tolong tertibkan," tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog, Natsir Mansyur mengungkapkan, selama ini pangan nasional tidak seimbang karena demand banyak, sementara suplai berkurang.
Berdasarkan catatan Kadin, potensi kartel dari enam komoditas strategis, yaitu daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung dan beras nilainya mencapai Rp11,34 triliun. "Nilai potensi kartel ini belum termasuk komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan," terang Natsir.
Jika dirinci, lanjut Natsir, perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel bisa diperkirakan. Di mana kebutuhan daging sapi yang mencapai 340 ribu ton, nilai kartelnya sekitar Rp340 miliar. Kemudian daging ayam 1,4 juta ton mencapai Rp1,4 triliun.
Sementara, gula sebanyak 4,6 juta ton nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp4,6 triliun, kedelai 1,6 juta ton sebesar Rp1,6 triliun, jagung 2,2 juta ton kartelnya kurang lebih Rp2,2 triliun, dan beras impor 1,2 juta ton kartelnya diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun.
Menurut Natsir, gambaran tersebut diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangan. Pengelolaan kebijakan pangan pemerintah dinilai masih sangat sentralistik.
Menurutnya, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian tidak ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemerintah daerah yang sebenarnya lebih tahu kebutuhan daerah.
"Kontrol DPR terhadap pangan juga lemah. Sehingga, DPR perlu memberikan sanksi kepada kementerian yang tidak dapat menjaga kenaikan pangan yang berdampak ke rakyat. Sanksinya bisa berupa pengurangan anggaran di Kementerian itu," tegas Natsir.
Pihaknya berharap pemerintah melalui Menko Perekonomian bisa merombak tata niaga pangan ke arah yang tepat, terutama komoditas pangan yang strategis, seperti gula komsumsi/rafinasi yang perlu dibuka pabrik-pabrik baru, kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih.
(dmd)