Indonesia memasuki era TV Digital
A
A
A
INDONESIA mulai memasuki era penyiaran TV Digital terestrial free-to-air. Sistem penyiaran televisi digital ini mampu memancarkan sinyal gambar dan suara dengan kualitas penerimaan yang lebih tajam serta jernih di layar TV dibandingkan siaran analog.
Sejak akhir 2012, infrastruktur TV Digital sudah mulai dibangun dan dioperasikan oleh penyelenggara multipleksing swasta di Jawa dan Kepulauan Riau. Konten siaran dalam format digital pun sudah dapat dinikmati masyarakat di wilayah ini. Daerah lain akan menyusul secara bertahap, seperti Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Pada masa transisi, sinyal analog dan digital dipancarkan secara bersamaan yang dikenal dengan masa simulcast. Selain untuk tetap menjamin hak masyarakat mendapatkan informasi melalui media TV, tujuan masa transisi adalah agar masyarakat mulai melakukan peralihan ke siaran digital. Pada periode ini masyarakat juga bisa melihat perbedaan kualitas siaran analog dan digital.
Tanpa harus membeli pesawat TV baru, masyarakat dapat menikmati konten siaran format digital dengan cara menambahkan perangkat converter (yang disebut set top box) pada pesawat TV lama. Set top box (STB) adalah alat bantu penerima siaran digital yang berfungsi mengkonversi dan mengkompresi sinyal digital sehingga dapat diterima pada pesawat TV analog.
STB sebagai receiver sinyal digital harus memiliki standard yang sama dengan sistem pemancar (transmitter), yaitu DVB-T2. Standard ini diadopsi Indonesia sejak 2012, menggantikan standard DVB-T (2007) sebagai standard penyiaran TV Digital terestrial penerimaan tetap free-to-air atau tidak berbayar.
Salah satu perbedaan antara siaran TV analog dan digital adalah pada pemanfaatan spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam yang sangat terbatas. Pada sistem penyiaran TV analog, satu kanal frekuensi digunakan untuk menyalurkan satu program siaran TV. Sementara pada sistem penyiaran digital DVB-T2, satu kanal frekuensi mampu membawa hingga 12 program siaran standard definition (SDTV). Artinya, terjadi inefisiensi penggunaan spektrum frekuensi radio pada sistem analog. Sebaliknya, terdapat optimalisasi pemanfaatan kanal frekuensi pada sistem digital.
Pada penyiaran TV Digital, kualitas gambar dan suara jauh lebih baik dibandingkan siaran analog. Hal ini dikarenakan pancaran sinyal digital relatif stabil dan tidak menurun. Juga siaran TV Digital hanya mengenal kondisi diterima (1) atau tidak diterima (0) sinyal. Selama sinyal bisa diterima receiver, gambar dan suara konten siaran dapat dinikmati. Sedangkan pada siaran TV analog, kualitas sinyal cenderung menurun ketika lokasi penerimaan semakin jauh dari titik transmisi sehingga menimbulkan noise atau 'bersemut'. Selain itu juga rentannya sinyal siaran analog terhadap gangguan cuaca.
Membangun jaringan infrastruktur TV Digital memang membutuhkan investasi yang besar. Operator multipleksing TV Digital harus membangun infrastruktur di wilayah-wilayah layanan dalam zona layanannya sesuai komitmen pada saat seleksi penyelenggaraan multipleksing. Namun infrastruktur eksisting dapat tetap dimanfaatkan seperti bangunan, SDM dan lain-lain. Nantinya operator multipleksing tersebut dapat menyewakan sebagian kapasitas yang dimilikinya kepada lembaga penyiaran yang menyediakan program siaran.
Jadi, penyedia konten tidak harus membangun infrastruktur sendiri semacam pemancar, antena, tower, dan sebagainya. Penyedia konten cukup menyewa slot siaran sesuai ketentuan kepada operator multipleksing untuk menyalurkan konten siarannya kepada masyarakat di suatu wilayah. Model bisnis ini merupakan ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah dengan tetap mengedepankan prinsip open access dan non discriminatory antara penyelenggara jaringan dengan penyedia konten siaran.
Proses transisi dari analog ke digital menuju pada saat dihentikannya siaran analog (analog switch-off). Analog Switch Off (ASO) sudah dilakukan secara total di banyak negara, antara lain Amerika Serikat (12 Juni 2009), Jepang (24 Juli 2011), Kanada (31 Agustus 2011), Inggris dan Irlandia (24 Oktober 2012), Australia (2013). Indonesia menetapkan ASO secara nasional pada 2018. Namun demikian, ASO akan dilakukan sebelumnya secara bertahap di kota-kota besar yang telah lebih dulu tercover siaran TV Digital. Seperti kota-kota di Jawa, rencananya ASO dilaksanakan pada 2015 setelah hampir seluruh populasi terjangkau dan sudah menonton siaran digital.
Berjalan mulus tidaknya proses migrasi hingga ASO tergantung pada dukungan seluruh pemangku kepentingan. Kesadaran masyarakat mau membeli STB sendiri untuk berpindah dari menonton siaran TV analog ke digital sangatlah penting. Operator multipleksing TV Digital memang menyediakan STB sebagai bentuk komitmennya mendukung program migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Namun jumlahnya terbatas dan pembagiannya juga membutuhkan waktu yang cukup lama serta kriteria penerima harus sesuai ketentuan. Pemerintah juga mendorong pabrikan set top box lokal untuk memproduksi STB yang berkualitas dengan harga jual terjangkau masyarakat luas.
Pemerintah memiliki peran bukan hanya sebagai regulator tetapi juga melakukan sosialisasi TV Digital. Pemerintah telah melakukan sosialisasi dan menyiapkan berbagai sarana untuk membangun awareness dan kesiapan masyarakat menyambut era penyiaran TV Digital. Billboard TV Digital sudah tersebar di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sosialisasi juga dilakukan melalui media sosial twitter dengan mem-follow @TVDigital_IDN juga Fan Page Facebook TVdigital.Kominfo. Selain itu, sudah beroperasi selama 24 jam layanan call center Halo TV Digital di nomor 500801 untuk melayani masyarakat yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang program TV Digital. (info)
Sejak akhir 2012, infrastruktur TV Digital sudah mulai dibangun dan dioperasikan oleh penyelenggara multipleksing swasta di Jawa dan Kepulauan Riau. Konten siaran dalam format digital pun sudah dapat dinikmati masyarakat di wilayah ini. Daerah lain akan menyusul secara bertahap, seperti Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Pada masa transisi, sinyal analog dan digital dipancarkan secara bersamaan yang dikenal dengan masa simulcast. Selain untuk tetap menjamin hak masyarakat mendapatkan informasi melalui media TV, tujuan masa transisi adalah agar masyarakat mulai melakukan peralihan ke siaran digital. Pada periode ini masyarakat juga bisa melihat perbedaan kualitas siaran analog dan digital.
Tanpa harus membeli pesawat TV baru, masyarakat dapat menikmati konten siaran format digital dengan cara menambahkan perangkat converter (yang disebut set top box) pada pesawat TV lama. Set top box (STB) adalah alat bantu penerima siaran digital yang berfungsi mengkonversi dan mengkompresi sinyal digital sehingga dapat diterima pada pesawat TV analog.
STB sebagai receiver sinyal digital harus memiliki standard yang sama dengan sistem pemancar (transmitter), yaitu DVB-T2. Standard ini diadopsi Indonesia sejak 2012, menggantikan standard DVB-T (2007) sebagai standard penyiaran TV Digital terestrial penerimaan tetap free-to-air atau tidak berbayar.
Salah satu perbedaan antara siaran TV analog dan digital adalah pada pemanfaatan spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam yang sangat terbatas. Pada sistem penyiaran TV analog, satu kanal frekuensi digunakan untuk menyalurkan satu program siaran TV. Sementara pada sistem penyiaran digital DVB-T2, satu kanal frekuensi mampu membawa hingga 12 program siaran standard definition (SDTV). Artinya, terjadi inefisiensi penggunaan spektrum frekuensi radio pada sistem analog. Sebaliknya, terdapat optimalisasi pemanfaatan kanal frekuensi pada sistem digital.
Pada penyiaran TV Digital, kualitas gambar dan suara jauh lebih baik dibandingkan siaran analog. Hal ini dikarenakan pancaran sinyal digital relatif stabil dan tidak menurun. Juga siaran TV Digital hanya mengenal kondisi diterima (1) atau tidak diterima (0) sinyal. Selama sinyal bisa diterima receiver, gambar dan suara konten siaran dapat dinikmati. Sedangkan pada siaran TV analog, kualitas sinyal cenderung menurun ketika lokasi penerimaan semakin jauh dari titik transmisi sehingga menimbulkan noise atau 'bersemut'. Selain itu juga rentannya sinyal siaran analog terhadap gangguan cuaca.
Membangun jaringan infrastruktur TV Digital memang membutuhkan investasi yang besar. Operator multipleksing TV Digital harus membangun infrastruktur di wilayah-wilayah layanan dalam zona layanannya sesuai komitmen pada saat seleksi penyelenggaraan multipleksing. Namun infrastruktur eksisting dapat tetap dimanfaatkan seperti bangunan, SDM dan lain-lain. Nantinya operator multipleksing tersebut dapat menyewakan sebagian kapasitas yang dimilikinya kepada lembaga penyiaran yang menyediakan program siaran.
Jadi, penyedia konten tidak harus membangun infrastruktur sendiri semacam pemancar, antena, tower, dan sebagainya. Penyedia konten cukup menyewa slot siaran sesuai ketentuan kepada operator multipleksing untuk menyalurkan konten siarannya kepada masyarakat di suatu wilayah. Model bisnis ini merupakan ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah dengan tetap mengedepankan prinsip open access dan non discriminatory antara penyelenggara jaringan dengan penyedia konten siaran.
Proses transisi dari analog ke digital menuju pada saat dihentikannya siaran analog (analog switch-off). Analog Switch Off (ASO) sudah dilakukan secara total di banyak negara, antara lain Amerika Serikat (12 Juni 2009), Jepang (24 Juli 2011), Kanada (31 Agustus 2011), Inggris dan Irlandia (24 Oktober 2012), Australia (2013). Indonesia menetapkan ASO secara nasional pada 2018. Namun demikian, ASO akan dilakukan sebelumnya secara bertahap di kota-kota besar yang telah lebih dulu tercover siaran TV Digital. Seperti kota-kota di Jawa, rencananya ASO dilaksanakan pada 2015 setelah hampir seluruh populasi terjangkau dan sudah menonton siaran digital.
Berjalan mulus tidaknya proses migrasi hingga ASO tergantung pada dukungan seluruh pemangku kepentingan. Kesadaran masyarakat mau membeli STB sendiri untuk berpindah dari menonton siaran TV analog ke digital sangatlah penting. Operator multipleksing TV Digital memang menyediakan STB sebagai bentuk komitmennya mendukung program migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital. Namun jumlahnya terbatas dan pembagiannya juga membutuhkan waktu yang cukup lama serta kriteria penerima harus sesuai ketentuan. Pemerintah juga mendorong pabrikan set top box lokal untuk memproduksi STB yang berkualitas dengan harga jual terjangkau masyarakat luas.
Pemerintah memiliki peran bukan hanya sebagai regulator tetapi juga melakukan sosialisasi TV Digital. Pemerintah telah melakukan sosialisasi dan menyiapkan berbagai sarana untuk membangun awareness dan kesiapan masyarakat menyambut era penyiaran TV Digital. Billboard TV Digital sudah tersebar di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sosialisasi juga dilakukan melalui media sosial twitter dengan mem-follow @TVDigital_IDN juga Fan Page Facebook TVdigital.Kominfo. Selain itu, sudah beroperasi selama 24 jam layanan call center Halo TV Digital di nomor 500801 untuk melayani masyarakat yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang program TV Digital. (info)
(dmd)