Hindari inflasi, perilaku konsumtif harus dikendalikan
A
A
A
Sindonews.com - Perilaku konsumtif masyarakat menjadi fenomena sosial ekonomi yang terjadi dalam menyambut Lebaran. Meski ekonomi Indonesia saat ini masih sangat mengandalkan konsumsi masyarakat sebagai motor penggerak pertumbuhan utama, gaya hidup konsumtif tetap harus dikendalikan.
"Saat Ramadan dan jelang Lebaran, dipastikan terjadi lonjakan permintaan pada beberapa komoditas utama, seperti pangan. Ketersediaan pasokan komoditas pangan menjadi keharusan untuk menghindari inflasi yang tinggi. Tentu kondisi ini menjadi lebih mudah jika masyarakat dapat mengendalikan gaya hidup konsumtif," ujar Ekonom UII, Edy Suandi Hamid, Kamis (1/8/2013).
Menurutnya, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga pekan ketiga Juli 2013, inflasi mencapai 2,77 persen. Hal ini disebabkan naiknya harga komoditas pangan seperti bawang dan cabai akibat tingginya permintaan.
"Kenaikan harga yang tidak perlu dan tingginya inflasi merupakan bagian dampak serius dari semakin maraknya perilaku konsumerisme yang mestinya dapat dihindari," imbuh dia.
Sementara, terkait budaya masyarakat yang semakin konsumtif, Rektor UII ini juga menegaskan, semua pihak termasuk negara, organisasi Islam institusi pendidikan hingga masyarakat memiliki peran penting untuk bersama mengikis perilaku konsumtif selama Ramadan.
"Masyarakat semestinya memperlakukan pola konsumsi pada Ramadan sama dengan bulan lainnya. Momentum Ramadan semestinya disikapi dengan sikap hidup sederhana dan tidak berlebihan," papar Edy.
Sosiolog sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMY, Zuly Qodir mengatakan, praktik konsumerisme rakyat Indonesia sudah mulai sejak 1990-an. Hal ini diperngaruhi cara hidup orang luar negeri yang begitu konsumtif setiap hari.
"Sejak Indonesia mulai mengenal kata globalisasi, sejak itulah masa-masa konsumerisme di Indonesia. Dan konsumerisme sendiri merupakan pembeda kelas sosial yang nyata," ujarnya.
Zuly mengatakan, sifat konsumeris dan konsumtif dalam diri seseorang tidak akan berhenti begitu saja. Sifat ini akan bergerak untuk kepuasana nafsu. Apalagi berbelanja menjelang Idul Fitri dianggaap sah dilakukan apalagi hanya terjadi satu tahun sekali. Dan tanpa disadari, tubuh manusia sendiri menjadi sasaran konsumsi terindah.
"Tubuh adalah sarana produksi kaum kapitalis. Tubuh kita butuh kesempurnaan, butuh perawatan dan kesegaran. Namun seharusnya kita bisa berpikir secara jernih karena konsumerisme tidak memikirkaan kefakiran, pencerahan ataupun kepasrahan," pungkasnya.
"Saat Ramadan dan jelang Lebaran, dipastikan terjadi lonjakan permintaan pada beberapa komoditas utama, seperti pangan. Ketersediaan pasokan komoditas pangan menjadi keharusan untuk menghindari inflasi yang tinggi. Tentu kondisi ini menjadi lebih mudah jika masyarakat dapat mengendalikan gaya hidup konsumtif," ujar Ekonom UII, Edy Suandi Hamid, Kamis (1/8/2013).
Menurutnya, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga pekan ketiga Juli 2013, inflasi mencapai 2,77 persen. Hal ini disebabkan naiknya harga komoditas pangan seperti bawang dan cabai akibat tingginya permintaan.
"Kenaikan harga yang tidak perlu dan tingginya inflasi merupakan bagian dampak serius dari semakin maraknya perilaku konsumerisme yang mestinya dapat dihindari," imbuh dia.
Sementara, terkait budaya masyarakat yang semakin konsumtif, Rektor UII ini juga menegaskan, semua pihak termasuk negara, organisasi Islam institusi pendidikan hingga masyarakat memiliki peran penting untuk bersama mengikis perilaku konsumtif selama Ramadan.
"Masyarakat semestinya memperlakukan pola konsumsi pada Ramadan sama dengan bulan lainnya. Momentum Ramadan semestinya disikapi dengan sikap hidup sederhana dan tidak berlebihan," papar Edy.
Sosiolog sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMY, Zuly Qodir mengatakan, praktik konsumerisme rakyat Indonesia sudah mulai sejak 1990-an. Hal ini diperngaruhi cara hidup orang luar negeri yang begitu konsumtif setiap hari.
"Sejak Indonesia mulai mengenal kata globalisasi, sejak itulah masa-masa konsumerisme di Indonesia. Dan konsumerisme sendiri merupakan pembeda kelas sosial yang nyata," ujarnya.
Zuly mengatakan, sifat konsumeris dan konsumtif dalam diri seseorang tidak akan berhenti begitu saja. Sifat ini akan bergerak untuk kepuasana nafsu. Apalagi berbelanja menjelang Idul Fitri dianggaap sah dilakukan apalagi hanya terjadi satu tahun sekali. Dan tanpa disadari, tubuh manusia sendiri menjadi sasaran konsumsi terindah.
"Tubuh adalah sarana produksi kaum kapitalis. Tubuh kita butuh kesempurnaan, butuh perawatan dan kesegaran. Namun seharusnya kita bisa berpikir secara jernih karena konsumerisme tidak memikirkaan kefakiran, pencerahan ataupun kepasrahan," pungkasnya.
(izz)