Apegti minta audit perembesan gula rafinasi dibuka
A
A
A
Sindonews.com - Perembesan gula rafinasi (GKR) ke pasar umum menjadi lagu lama yang terus berulang. Padahal, gula rafinasi hanya diperuntukan bagi industri minuman dan makanan. Akibatnya, gula yang dihasilkan petani tidak dapat terserap oleh pasar karena tidak mampu bersaing.
Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur menilai, hal tersebut merupakan dampak yang ditimbulkan karena kebijakan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian mengenai gula rafinasi ini bersifat spekulatif sehingga permasalahannya berulang-ulang.
Untuk itu, Apegti meminta Kemendag, Kemenperin, Kemenko Perekonomian dan DPR RI Komisi VI supaya perembesan gula rafinasi ini tidak menjadi kebijakan pergulaan nasional yang spekulatif.
Pihaknya juga meminta hasil audit investigasi pada 2011-2013 tentang masalah perembesan gula rafinasi ke pasar umum dipublikasikan. “Kita ingin semuanya menjadi jelas. Sanksinya juga perlu diperjelas. Selama ini pemerintah hanya melempar wacana bahwa dilakukan investigasi, tapi mana hasil investigasi itu selama 3 tahun,” ungkap Natsir dalam siaran persnya, Sabtu (9/11/2013).
Apegti menilai janggal dengan hasil audit investigasi tersebut, karena di sisi lain pada 2013 ini kuota impor raw sugar ditambah menjadi 3 juta ton, dari rencana semula yang hanya 2,3 juta ton.
“Pemerintah seharusnya tidak main-main, karena gula petani (GKP) hancur terus apalagi saat ini lagi panen,” kata Natsir.
Dia mengungkapkan, korban akibat perembesan gula rafinasi ini adalah PTPN 14 di Sulawesi Selatan yang sudah tidak produksi lagi karena di sana juga terdapat industri gula rafinasi. PTPN 14 tidak mampu bersaing dengan industri gula rafinasi yang merembes ke pasar umum.
Apegti mendesak pemerintah menata kembali manajemen pergulaan nasional yang tiap tahun menimbulkan masalah. Pengadaan gula untuk daerah seyogyanya diserahkan kepada pemerintah daerah dan pengusaha daerah untuk memenuhi kebutuhan gulanya. Karena daerah yang mengetahui persis kebutuhan gula di wilayahnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsir Mansyur menilai, hal tersebut merupakan dampak yang ditimbulkan karena kebijakan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian mengenai gula rafinasi ini bersifat spekulatif sehingga permasalahannya berulang-ulang.
Untuk itu, Apegti meminta Kemendag, Kemenperin, Kemenko Perekonomian dan DPR RI Komisi VI supaya perembesan gula rafinasi ini tidak menjadi kebijakan pergulaan nasional yang spekulatif.
Pihaknya juga meminta hasil audit investigasi pada 2011-2013 tentang masalah perembesan gula rafinasi ke pasar umum dipublikasikan. “Kita ingin semuanya menjadi jelas. Sanksinya juga perlu diperjelas. Selama ini pemerintah hanya melempar wacana bahwa dilakukan investigasi, tapi mana hasil investigasi itu selama 3 tahun,” ungkap Natsir dalam siaran persnya, Sabtu (9/11/2013).
Apegti menilai janggal dengan hasil audit investigasi tersebut, karena di sisi lain pada 2013 ini kuota impor raw sugar ditambah menjadi 3 juta ton, dari rencana semula yang hanya 2,3 juta ton.
“Pemerintah seharusnya tidak main-main, karena gula petani (GKP) hancur terus apalagi saat ini lagi panen,” kata Natsir.
Dia mengungkapkan, korban akibat perembesan gula rafinasi ini adalah PTPN 14 di Sulawesi Selatan yang sudah tidak produksi lagi karena di sana juga terdapat industri gula rafinasi. PTPN 14 tidak mampu bersaing dengan industri gula rafinasi yang merembes ke pasar umum.
Apegti mendesak pemerintah menata kembali manajemen pergulaan nasional yang tiap tahun menimbulkan masalah. Pengadaan gula untuk daerah seyogyanya diserahkan kepada pemerintah daerah dan pengusaha daerah untuk memenuhi kebutuhan gulanya. Karena daerah yang mengetahui persis kebutuhan gula di wilayahnya.
(dmd)