Ratifikasi tembakau dikhawatirkan memicu pengangguran

Kamis, 14 November 2013 - 15:08 WIB
Ratifikasi tembakau...
Ratifikasi tembakau dikhawatirkan memicu pengangguran
A A A
Sindonews.com - Anggota Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan (Komisi IX) DPR RI, Poempida Hidayatullah menilai, ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) bisa memicu pengangguran. Disisi lain, hal ini juga menunjukkan pemerintah tidak punya nurani.

"Memang pemerintah semakin tidak punya hati, dan jelas tidak pro terhadap pekerja dan buruh," tegas Poempida kepada wartawan, Kamis (14/11/2013).

Dia mengingatkan, jika pemerintah mengambil kebijakan itu, maka pengangguran akan makin besar. Apalagi dari data BPS terkini menyebutkan ada penurunan jumlah angkatan kerja sebanyak 3 juta orang dari Februari 2013 ke November 2013.

"Ini makin sangat mengkhawatirkan jika FCTC diterapkan. Industri rokok/tembakau yang jelas menyerap tenaga kerja saja kok malah mau diganggu. Apa sih untungnya meratifikasi FCTC? Kok kita ini terkesan di'setir' oleh dunia luar? Padahal kita ini kan negara berdaulat," ujarnya.

Dia menambahkan, pemerintah harus sadar betul, industri rokok/tembakau di Indonesia unik. Sehingga harus ada cara yang khusus juga dalam menanganinya. Tidak kemudian menggunakan serta merta kebijakan global. Padahal kebijakan global itu mungkin tidak cocok untuk Indonesia.

"Jangan kita terjebak oleh permainan asing. Kita sudah pernah dirugikan dengan mengikuti IMF. Semua negara yang tidak ikut IMF malah bangkit dan selamat, masa' kebodohan harus diulangi lagi?" tegasnya.

Dia mengingatkan, roadmap industri rokok/tembakau Indonesia harus ditata rapi dulu. Baru kemudian dapat mengadaptasi kebijakan FCTC. Namun sekarang ini, yang terjadi adalah mau mengadaptasi kebijakan asing, sama sekali tidak ada persiapan dalam penanggulangan dampak-dampak yang akan terjadi.

Lucunya lagi, sambung Poempida, kementerian kesehatan yang katanya penuh dengan orang-orang pintar sangat yakin bahwa mengadaptasi FCTC itu tidak ada dampaknya pada industri dan tenaga kerja.

"Kalau yakin mereka dengan opininya, berani tidak mempertaruhkan gelarnya? Kalau kemudian mereka salah gelar-gelar profesornya harus dicabut. Saya yakin pasti mereka tidak mau, karena mereka tidak yakin," pungkasnya.
(gpr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7365 seconds (0.1#10.140)