Emiten tower disarankan restrukturisasi kontrak dengan AXIS
A
A
A
Sindonews.com - Sekjen Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Pardomuan Sihombing mengatakan, emiten tower telekomunikasi disarankan mengikuti langkah tower dan IBC provider non listed. Kondisi industri telekomunikasi saat ini terus melesu. Tren konsolidasi, seperti yang dilakukan PT XL Axiata Tbk (XL) dan AXIS, akan turut mendorong banyak efesiensi, termasuk dalam hal penggunaan tower dan IBC.
Para emiten tower yang mengikat kontrak sewa dengan AXIS, harus segera memanfaatkan momentum ini, seperti yang dilakukan sejumlah tower dan IBC provider non listed. Apalagi, selama ini santer terdengar AXIS tengah kesulitan keuangan. Langkah ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk kelangsungan bisnis tower provider di tengah lesunya industri telekomunikasi dan tren konsolidasi.
“Saya rasa keputusan sejumlah perusahaan tower dan IBC provider non listed itu sudah tepat, sebab bisnis tower dan IBC diperkirakan akan terus melesu seiring tren konsolidasi di industri telekomunikasi. Untuk kepentingan bisnis jangka panjang, emiten-emiten tower sebaiknya memanfaatkan momentum ini dengan merestrukturisasi kontrak tower dan IBC dengan AXIS,” kata Pardomuan, Jumat (15/11).
Pardomuan menyatakan, restrukturisasi kontrak dengan AXIS bisa menjadi jalan tengah untuk kepentingan bisnis jangka panjang mereka. Saat ini momentum tepat buat emiten tower dan IBC. Bila restrukturisasi tidak dilakukan sekarang, emiten tower dan IBC bisa mengalami dua kerugian sekaligus yang akan berpengaruh kepada bisnis ke depan.
Pertama, setelah merger dengan XL, sangat mungkin terjadi XL melakukan efisiensi penggunaan tower dan IBC. Efisiensi ini, dalam jangka pendek akan berpengaruh langsung terhadap kinerja perusahaan tower dan IBC, yakni harga saham mereka berpotensi terpangkas.
Kedua, bila tidak melakukan restrukturisasi sekarang, sangat mungkin terjadi manajemen XL tidak akan melakukan kerjasama sewa tower dan IBC lanjutan kepada mereka karena menganggap tidak ada kesepahaman dalam bisnis. Bila ini yang terjadi, akan merugikan bisnis emiten tower dan IBC dalam jangka panjang.
“Bila Tower dan IBC Provider tidak memanfaatkan momentum ini, justru akan merugi. Restrukturisasi ini sebagai jalan tengah yang win win solution,” kata Pardomuan.
Riset Morgan Stanley akhir September 2013 menyebutkan, konsolidasi di industri telekomunikasi Indonesia akan menekan bisnis tower. Kebutuhan penambahan tower dari 3 operator utama yaitu Telkomsel, Indosat dan XL di tahun 2014 akan turun sekitar 16 persen dibandingkan tahun ini.
Morgan Stanley pun memangkas target harga saham 2014 bagi dua emiten berbasis tower yaitu PT Tower Bersama Tbk (TBIG) dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) hingga minus 28 persen dan 23 persen. Pada tahun 2014 saham TBIG yang diproyeksikan bakal mencapai level Rp6.700 hanya ditargetkan pada level Rp4.800 per saham. Adapun saham TOWR ditargetkan pada level Rp2.700, turun dari asumsi semula yaitu Rp3.510 per saham.
Proyeksi harga saham tersebut didorong oleh potensi penurunan belanja modal industri selama tahun 2014. Dan penurunan belanja modal atau capital expenditure (Capex) ini dipengaruhi oleh kebutuhan pasar yang menurun akibat konsolidasii.
Akibatnya, di tahun 2014, Capex TBIG yang semula diperkirakan akan mencapai Rp2,28 triliun, diturunkan menjadi Rp1,8 triliun. Sementara capex TOWR diproyeksikan terpangkas dari Rp1,6 triliun menjadi hanya Rp1,2 triliun.
Para emiten tower yang mengikat kontrak sewa dengan AXIS, harus segera memanfaatkan momentum ini, seperti yang dilakukan sejumlah tower dan IBC provider non listed. Apalagi, selama ini santer terdengar AXIS tengah kesulitan keuangan. Langkah ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk kelangsungan bisnis tower provider di tengah lesunya industri telekomunikasi dan tren konsolidasi.
“Saya rasa keputusan sejumlah perusahaan tower dan IBC provider non listed itu sudah tepat, sebab bisnis tower dan IBC diperkirakan akan terus melesu seiring tren konsolidasi di industri telekomunikasi. Untuk kepentingan bisnis jangka panjang, emiten-emiten tower sebaiknya memanfaatkan momentum ini dengan merestrukturisasi kontrak tower dan IBC dengan AXIS,” kata Pardomuan, Jumat (15/11).
Pardomuan menyatakan, restrukturisasi kontrak dengan AXIS bisa menjadi jalan tengah untuk kepentingan bisnis jangka panjang mereka. Saat ini momentum tepat buat emiten tower dan IBC. Bila restrukturisasi tidak dilakukan sekarang, emiten tower dan IBC bisa mengalami dua kerugian sekaligus yang akan berpengaruh kepada bisnis ke depan.
Pertama, setelah merger dengan XL, sangat mungkin terjadi XL melakukan efisiensi penggunaan tower dan IBC. Efisiensi ini, dalam jangka pendek akan berpengaruh langsung terhadap kinerja perusahaan tower dan IBC, yakni harga saham mereka berpotensi terpangkas.
Kedua, bila tidak melakukan restrukturisasi sekarang, sangat mungkin terjadi manajemen XL tidak akan melakukan kerjasama sewa tower dan IBC lanjutan kepada mereka karena menganggap tidak ada kesepahaman dalam bisnis. Bila ini yang terjadi, akan merugikan bisnis emiten tower dan IBC dalam jangka panjang.
“Bila Tower dan IBC Provider tidak memanfaatkan momentum ini, justru akan merugi. Restrukturisasi ini sebagai jalan tengah yang win win solution,” kata Pardomuan.
Riset Morgan Stanley akhir September 2013 menyebutkan, konsolidasi di industri telekomunikasi Indonesia akan menekan bisnis tower. Kebutuhan penambahan tower dari 3 operator utama yaitu Telkomsel, Indosat dan XL di tahun 2014 akan turun sekitar 16 persen dibandingkan tahun ini.
Morgan Stanley pun memangkas target harga saham 2014 bagi dua emiten berbasis tower yaitu PT Tower Bersama Tbk (TBIG) dan PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) hingga minus 28 persen dan 23 persen. Pada tahun 2014 saham TBIG yang diproyeksikan bakal mencapai level Rp6.700 hanya ditargetkan pada level Rp4.800 per saham. Adapun saham TOWR ditargetkan pada level Rp2.700, turun dari asumsi semula yaitu Rp3.510 per saham.
Proyeksi harga saham tersebut didorong oleh potensi penurunan belanja modal industri selama tahun 2014. Dan penurunan belanja modal atau capital expenditure (Capex) ini dipengaruhi oleh kebutuhan pasar yang menurun akibat konsolidasii.
Akibatnya, di tahun 2014, Capex TBIG yang semula diperkirakan akan mencapai Rp2,28 triliun, diturunkan menjadi Rp1,8 triliun. Sementara capex TOWR diproyeksikan terpangkas dari Rp1,6 triliun menjadi hanya Rp1,2 triliun.
(gpr)