BI: Ekonomi RI perlu 'minum obat' agar tak masuk ICU

Selasa, 26 November 2013 - 13:33 WIB
BI: Ekonomi RI perlu...
BI: Ekonomi RI perlu 'minum obat' agar tak masuk ICU
A A A
Sindonews.com - Bank Indonesia (BI) menilai bahwa Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi saat ini jika dilihat dari sisi fundamental negara.

Meski demikian, BI mengingatkan agar Indonesia tetap belajar dari berbagai situasi makro yang pernah dihadapi di masa lalu.

Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara mengungkapkan, kondisi yang dihadapi Indonesia sekarang merupakan akibat dari turbulansi di pasar keuangan yang terjadi secara global. Menurutnya, hal ini bukan sebuah krisis.

"Ini berdampak ke semua negara termasuk kita. Kita cuma perlu istirahat, 'minum obat' supaya tidak masuk ICU," kata Mirza di Hotel Luwansa, Jakarta, Selasa (26/11/2013).

Dia mengatakan, nilai tukar rupiah pertama kali mengalami guncangan pada 2005 karena kenaikan harga minyak di Amerika Serikat (AS) dan China. Saat itu, kedua negara ini tengah menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi.

"Ekonomi AS dan China masing-masing pada 2005 tumbuh 10-12 persen dan di atas 3 persen. Sehingga harga minyak naik terus. Akhirnya memberi tekanan pada APBN karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) jadi terlalu besar. Rupiah berlarut-larut lemah," jelasnya.

Mirza menjelaskan, menanggapi pelemahan rupiah yang berlarut-larut waktu itu, pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM diikuti dengan langkah BI menaikkan suku bunga acuannya sampai ke angka 10 persen.

"Akibat kebijakan ini, sisi fundamental ekonomi Indonesia kembali dalam situasi normal pada periode 2006 dan 2007. Dibuktikan dengan booming-nya perekonomian kita. Namun pemerintah harus kembali melakukan adjustment karena terjadi krisis ekonomi global di 2008," terang dia.

Untuk itu, pihaknya mengingatkan bahwa ekonomi AS yang perlahan mulai bertumbuh akan mendorong Bank Sentral mereka segera menarik stimulus (tapering off) yang diperkirakan terjadi tahun depan. Sehingga, Indonesia perlu bersiap menghadapi dampaknya dengan memperkuat sisi fundamental perekonomian khususnya neraca transaksi berjalan.

"Kita harus siap menghadapi kemungkinan tapering off tersebut. Apakah itu dilakukan di Maret, Juni atau September 2014, kita harus siap. Makanya kita harus benahi defisit transaksi berjalan dengan cara mengurangi impor barang nonproduktif, minyak dan sebagainya," pungkas Mirza.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1250 seconds (0.1#10.140)