HSBC: Rupiah paling parah sekitar Rp12.000/USD
A
A
A
Sindonews.com - Ekonom HSBC Indonesia Ali Setiawan berpendapat bahwa laju rupiah tidak akan terperosok lebih dalam dari level Rp12.000/USD pada akhir tahun ini, meski kebutuhan Indonesia akan dolar Amerika Serikat (USD) sudah menjadi kebutuhan mendasar dan akan mempengaruhi laju mata uang domestik.
"Keperluan dolar di dalam negeri memang sudah sangat mendasar. Impor komponen sudah mendominasi kebutuhan kita dari makanan dan banyak lagi dari konstruksi serta lainnya. Jadi, kebutuhan dolar ini pasti akan ada terus," kata Ali di Hotel Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu (4/12/2013).
Meski demikian, kebutuhan dolar yang tinggi tersebut sebenarnya bukanlah perkara utama atas terjadinya depresiasi rupiah. Menurut Ali, pelemahan rupiah saat ini lebih didorong permasalahan-permasalahan psikologi pelaku pasar yang mempersepsikan rupiah masih akan melemah.
"Sebenarnya bukan karena permaslahan dolar menguat. Tapi ada persepsi bahwa rupiah masih akan melemah, sehingga meski dolar ada, belum tentu yang memiliki dolar mau menjual. Akibatnya, pasar tidak begitu likuid. Utamanya di situ, selain karena kebutuhan dolar kita memang tinggi," tutur dia.
Dengan adanya kondisi yang kurang mengutungkan tersebut, menurut Ali, bukan berarti laju rupiah akan terus longsor seperti yang terjadi layaknya tahun 1998. Pada saat itu, Indonesia mengalami krisis moneter dan rupiah sempat menyetuh level Rp18.000/USD.
"Negara kita tidak krisis, rupiah tidak akan longsor sedalam itu karena situasi kebutuhan dolar paling banyak di kuartal II dan ekonomi Indonesia masih bertumbuh. Jadi, sampai akhir tahun, paling parah kita hanya akan berada di sekitar 12.000 (per USD)," prediksi dia.
"Keperluan dolar di dalam negeri memang sudah sangat mendasar. Impor komponen sudah mendominasi kebutuhan kita dari makanan dan banyak lagi dari konstruksi serta lainnya. Jadi, kebutuhan dolar ini pasti akan ada terus," kata Ali di Hotel Ritz Carlton Pacific Place, Jakarta, Rabu (4/12/2013).
Meski demikian, kebutuhan dolar yang tinggi tersebut sebenarnya bukanlah perkara utama atas terjadinya depresiasi rupiah. Menurut Ali, pelemahan rupiah saat ini lebih didorong permasalahan-permasalahan psikologi pelaku pasar yang mempersepsikan rupiah masih akan melemah.
"Sebenarnya bukan karena permaslahan dolar menguat. Tapi ada persepsi bahwa rupiah masih akan melemah, sehingga meski dolar ada, belum tentu yang memiliki dolar mau menjual. Akibatnya, pasar tidak begitu likuid. Utamanya di situ, selain karena kebutuhan dolar kita memang tinggi," tutur dia.
Dengan adanya kondisi yang kurang mengutungkan tersebut, menurut Ali, bukan berarti laju rupiah akan terus longsor seperti yang terjadi layaknya tahun 1998. Pada saat itu, Indonesia mengalami krisis moneter dan rupiah sempat menyetuh level Rp18.000/USD.
"Negara kita tidak krisis, rupiah tidak akan longsor sedalam itu karena situasi kebutuhan dolar paling banyak di kuartal II dan ekonomi Indonesia masih bertumbuh. Jadi, sampai akhir tahun, paling parah kita hanya akan berada di sekitar 12.000 (per USD)," prediksi dia.
(rna)