Akuisisi XL-Axis berpotensi terganjal prosedur hukum
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memberikan lampu hijau terkait proses akuisisi PT XL Axiata Tbk (EXCL) dengan PT Axis Telekom Indonesia.
Namun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga kini belum merestui proses penggabungan dua perusahaan telekomunikasi tersebut.
Mantan Ketua Majelis KPPU, Bambang Purnomo Adiwiyoto mengatakan, ada persoalan yang masih mengganjal dalam aksi korporasi tersebut. Diantaranya, prosedur hukum khusus akuisisi perusahaan telekomunikasi masih belum ada, lantaran di dalamnya ada pengalihan spektrum frekuensi.
Menurutnya, berdasarkan PP No 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri. Untuk itu, kata dia, seharusnya frekuensi Axis terlebih dahulu dikembalikan ke pemerintah sebagai pemilik frekuensi.
"Dikembalikan ke pemerintah dulu. Nanti pemerintah yang menata ulang," ungkap Bambang, Jumat (13/12/2013).
Meski demikian, dia setuju jika terjadi perampingan operator telekomunikasi. Sebab, jumlah operator telekomunikasi di Indonesia sangat banyak dibandingkan negara-negara lain. "Sekarang sudah terlalu banyak. Layaknya hanya tiga atau empat saja," ujarnya.
Dia menjelakan, aturannya di Indonesia tidak mempersoalkan masalah monopoli, justru yang jadi masalah bila ada penyalahgunaan monopoli. Untuk diketahui, dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas, menyangkut industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk aset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi tidak merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No 36/1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.
Namun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga kini belum merestui proses penggabungan dua perusahaan telekomunikasi tersebut.
Mantan Ketua Majelis KPPU, Bambang Purnomo Adiwiyoto mengatakan, ada persoalan yang masih mengganjal dalam aksi korporasi tersebut. Diantaranya, prosedur hukum khusus akuisisi perusahaan telekomunikasi masih belum ada, lantaran di dalamnya ada pengalihan spektrum frekuensi.
Menurutnya, berdasarkan PP No 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri. Untuk itu, kata dia, seharusnya frekuensi Axis terlebih dahulu dikembalikan ke pemerintah sebagai pemilik frekuensi.
"Dikembalikan ke pemerintah dulu. Nanti pemerintah yang menata ulang," ungkap Bambang, Jumat (13/12/2013).
Meski demikian, dia setuju jika terjadi perampingan operator telekomunikasi. Sebab, jumlah operator telekomunikasi di Indonesia sangat banyak dibandingkan negara-negara lain. "Sekarang sudah terlalu banyak. Layaknya hanya tiga atau empat saja," ujarnya.
Dia menjelakan, aturannya di Indonesia tidak mempersoalkan masalah monopoli, justru yang jadi masalah bila ada penyalahgunaan monopoli. Untuk diketahui, dalam UU No 40/2000 tentang Perseroan Terbatas, menyangkut industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk aset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
Tidak termasuk spektrum frekuensinya, karena frekuensi tidak merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No 36/1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.
(izz)