Tingkat risiko kredit konstruksi patut diwaspadai
A
A
A
Sindonews.com - Tingginya risiko kredit macet atau nonperforming loan (NPL) pengucuran kredit di sektor konstruksi membuat penyaluran kredit sektor ini perlu diwaspadai.
Menurut data Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit konstruksi perbankan di Sulawesi Selatan (Sulsel) hingga Oktober 2013 mencapai Rp262 miliar dari periode sebelumnya hanya Rp208,2 miliar. Pertumbuhan kredit sektor konstruksi meningkat 16,85 persen secara year on year (yoy).
Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) Sulsel Zulkarnaen Arief mengatakan, sektor konstruksi pada tahun ini mengalami tekanan berat. Besarnya komponen ekspor menyebabkan dampak rupiah yang terdepresiasi begitu terasa.
Zulkarnaen mengatakan, hampir 80 persen komponen sektor konstruksi merupakan hasil impor, sehingga anggaran proyek konstruksi saat ini mengalami pembengkakan lebih besar daripada rencana anggaran yang telah direncanakan sebelumnya dan mengakibatkan proyek berhenti di tengah jalan.
"Misalnya, harga aspal sebelum rupiah terpuruk sebesar Rp9.000 per kilogram, setelah dolar naik menjadi Rp12.000. Otomatis harga aspal mengikut. Sementara anggaran proyek telah ditetapkan, sehingga banyak yang berhenti di tengah jalan," tutur dia.
Dia menambahkan, kondisi ini diperburuk tingginya bunga kredit perbankan. Jika tidak ada penyesuaian anggaran, menurut dia, kondisinya akan semakin terjepit.
"Harus ada regulasi penyesuaian suku bunga oleh perbankan. Suku bunga jangan terlalu mencekik agar pengusaha bisa menyesuaikan," ujar dia.
Kepala Divisi Assessment, Ekonomi dan Keuangan BI Wilayah I Sulampua Noor Yudanto mengatakan, pihaknya belum melihat peluang adanya kredit macet, namun harus diwaspadai. Pasalnya, sektor ini memiliki komponen impor lumayan besar, yang akan berdampak di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD.
"Pelemahan rupiah terhadap USD akan berdampak pada sektor konstruksi. Tetapi kondisi ini sudah diperhitungkan para developer, sehingga dampaknya sudah bisa diantisipasi," ujar Noor.
Menurut data Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit konstruksi perbankan di Sulawesi Selatan (Sulsel) hingga Oktober 2013 mencapai Rp262 miliar dari periode sebelumnya hanya Rp208,2 miliar. Pertumbuhan kredit sektor konstruksi meningkat 16,85 persen secara year on year (yoy).
Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi) Sulsel Zulkarnaen Arief mengatakan, sektor konstruksi pada tahun ini mengalami tekanan berat. Besarnya komponen ekspor menyebabkan dampak rupiah yang terdepresiasi begitu terasa.
Zulkarnaen mengatakan, hampir 80 persen komponen sektor konstruksi merupakan hasil impor, sehingga anggaran proyek konstruksi saat ini mengalami pembengkakan lebih besar daripada rencana anggaran yang telah direncanakan sebelumnya dan mengakibatkan proyek berhenti di tengah jalan.
"Misalnya, harga aspal sebelum rupiah terpuruk sebesar Rp9.000 per kilogram, setelah dolar naik menjadi Rp12.000. Otomatis harga aspal mengikut. Sementara anggaran proyek telah ditetapkan, sehingga banyak yang berhenti di tengah jalan," tutur dia.
Dia menambahkan, kondisi ini diperburuk tingginya bunga kredit perbankan. Jika tidak ada penyesuaian anggaran, menurut dia, kondisinya akan semakin terjepit.
"Harus ada regulasi penyesuaian suku bunga oleh perbankan. Suku bunga jangan terlalu mencekik agar pengusaha bisa menyesuaikan," ujar dia.
Kepala Divisi Assessment, Ekonomi dan Keuangan BI Wilayah I Sulampua Noor Yudanto mengatakan, pihaknya belum melihat peluang adanya kredit macet, namun harus diwaspadai. Pasalnya, sektor ini memiliki komponen impor lumayan besar, yang akan berdampak di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD.
"Pelemahan rupiah terhadap USD akan berdampak pada sektor konstruksi. Tetapi kondisi ini sudah diperhitungkan para developer, sehingga dampaknya sudah bisa diantisipasi," ujar Noor.
(rna)