DPR akan awasi proses merger XL-Axis
A
A
A
Sindonews.com - Proses merger dua operator PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia tidak boleh dilakukan sembarangan. Proses tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku.
Anggota Komisi I DPR RI, Chandra Tirta Wijaya menyebutkan XL merupakan pemain telekomunikasi yang sangat perlu diawasi dan dibatasi terkait aksi korporasi berupa merger tersebut agar tidak timbul monopoli.
"Seharusnya frekuensi dikembalikan ke negara untuk dilakukan lelang frekuensi tersebut. Kalau ada perusahaan yang tidak mampu, terlebih dahulu dikembalikan ke negara, baru setelah itu dilakukan kontes atau lelang," ujar dia dalam rilisnya, Rabu (18/12/2013).
Chandra mengungkapkan, salah satu persoalan penting yang mengganjal proses merger XL-Axis itu adalah persoalan frekuensi. Makanya, dia juga mempertanyakan transparansi pengambilan keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang tiba-tiba menyetujui merger itu meskipun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertolak belakang sikapnya dengan Kementerian.
Menurut dia, seharusnya frekuensi itu tidak bisa langsung berpindah melalui merger tetapi harus dikembalikan dulu ke negara. "Baru setelah itu dilakukan lelang atau tender," ujarnya.
Senada dengan Chandra, mantan Ketua Majelis KPPU, Bambang Purnomo Adiwiyoto juga menilai, ada persoalan yang masih mengganjal dalam aksi korporasi tersebut, diantaranya prosedur hukum khusus akuisisi perusahaan telekomunikasi masih belum ada, lantaran di dalamnya ada pengalihan spektrum frekuensi.
Kata Bambang, berdasarkan PP No 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri. Untuk itu, kata dia, seharusnya frekuensi Axis terlebih dahulu dikembalikan ke pemerintah sebagai pemilik frekuensi.
Terkait kinerja XL, November lalu, operator itu menghentikan operasional 70 Base Transceiver Station (BTS) di sejumlah daerah seperti Ambon, Maluku dan Banda Naira, karena terus memicu kerugian hingga puluhan juta rupiah per BTS per bulan.
Anggota Komisi I DPR RI, Chandra Tirta Wijaya menyebutkan XL merupakan pemain telekomunikasi yang sangat perlu diawasi dan dibatasi terkait aksi korporasi berupa merger tersebut agar tidak timbul monopoli.
"Seharusnya frekuensi dikembalikan ke negara untuk dilakukan lelang frekuensi tersebut. Kalau ada perusahaan yang tidak mampu, terlebih dahulu dikembalikan ke negara, baru setelah itu dilakukan kontes atau lelang," ujar dia dalam rilisnya, Rabu (18/12/2013).
Chandra mengungkapkan, salah satu persoalan penting yang mengganjal proses merger XL-Axis itu adalah persoalan frekuensi. Makanya, dia juga mempertanyakan transparansi pengambilan keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang tiba-tiba menyetujui merger itu meskipun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bertolak belakang sikapnya dengan Kementerian.
Menurut dia, seharusnya frekuensi itu tidak bisa langsung berpindah melalui merger tetapi harus dikembalikan dulu ke negara. "Baru setelah itu dilakukan lelang atau tender," ujarnya.
Senada dengan Chandra, mantan Ketua Majelis KPPU, Bambang Purnomo Adiwiyoto juga menilai, ada persoalan yang masih mengganjal dalam aksi korporasi tersebut, diantaranya prosedur hukum khusus akuisisi perusahaan telekomunikasi masih belum ada, lantaran di dalamnya ada pengalihan spektrum frekuensi.
Kata Bambang, berdasarkan PP No 53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri. Untuk itu, kata dia, seharusnya frekuensi Axis terlebih dahulu dikembalikan ke pemerintah sebagai pemilik frekuensi.
Terkait kinerja XL, November lalu, operator itu menghentikan operasional 70 Base Transceiver Station (BTS) di sejumlah daerah seperti Ambon, Maluku dan Banda Naira, karena terus memicu kerugian hingga puluhan juta rupiah per BTS per bulan.
(izz)