Optimistis vs pesimistis ekonomi di tahun politik

Rabu, 25 Desember 2013 - 12:54 WIB
Optimistis vs pesimistis...
Optimistis vs pesimistis ekonomi di tahun politik
A A A
MEMASUKI tahun politik 2014 ditambah gejolak yang ada di pasar keuangan karena faktor global membuat banyak pihak memilih menunggu (wait and see).

Seperti diketahui pada tanggal 25 Oktober 2013 lalu Rancangan Anggaran dan Pendapatan Negara (RAPBN) 2014 yang berisi angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen, inflasi 5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp10.500 per USD dan tingkat suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan sebesar 5,5 persen telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selain itu, lifting minyak dipatok sebanyak 870 ribu barel per hari (bph) dan lifting gas 1.240 barel setara minyak per hari. Sedangkan, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar USD105 per barel.

Target lainnya pada 2014 adalah defisit sebesar 1,69 persen, yang berasal dari pendapatan negara sebesar Rp1.667,1 triliun dikurangi belanja negara sebesar Rp1.842,4 triliun.

Adapun, subsidi energi pada tahun depan ditetapkan sebesar Rp282,1 triliun, yang terdiri dari subsidi bahan bakar minyak (BBM), elpiji 3 kilogram (kg) dan LGV mencapai Rp210,7 triliun serta subsidi listrik senilai Rp71,3 triliun.

Meskipun pemerintah tetap optimistis dengan APBN 2014 tersebut, namun Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti berani memberikan angka pertumbuhan yang berbeda di angka 5,6 persen atau selisih 0,4 persen dari angka dalam APBN 2014.

Dia mengatakan, hal tersebut karena banyak indikator perekonomian yang secara umum masih mengalami perlambatan. Destry menyebut, secara keseluruhan angka inflasi pada tahun politik 2014 diperkirakan sebesar 6,28 persen atau berbeda dengan asumsi APBN 2014 milik pemerintah.

"Defisit neraca berjalan juga masih berada pada kisaran 2,5 sampai 2,7 persen," ujar Destry baru-baru ini.

Bahkan Destry menyangsikan Pemilu 2014 akan menambah pertumbuhan ekonomi 2014 dari sektor konsumsi sebesar 0,2 sampai 0,3 persen. "Jumlah partainya saja sudah menyusut," imbuh Destry.

Nada kekhawatiran juga muncul dari kalangan dunia usaha yang diwakili oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi. Dia menuturkan, fokus pemerintah akan terpecah di tahun politik 2014. Bahkan Apindo berani memberikan angka pertumbuhan ekonomi 2014 lebih pesimistis di kisaran 5-5,2 persen.

"Kalau sudah begini, yang paling bahaya dari segi ekonomi nantinya. Ini sudah kita rasakan betul," kata Sofjan.

Sofjan merasa dalam 10 bulan ke depan, pemerintah dan DPR hanya akan mengeluarkan kebijakan yang bersifat populis ketimbang rasional dan karenanya angka pertumbuhan ekonomi versi Apindo tersebut dirasakan cocok dengan keadaan tahun 2014.

"Karena mereka tidak ingin ditinggal konstituen dalam Pemilu," ujar Sofjan.

Sementara Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun politik mendatang hanya berada di kisaran 5,6-5,8 persen.

"Diperkirakan konfigurasinya masih sama dengan 2013, dimana pertumbuhan ekonomi didominasi dari kontribusi sektor konsumsi," ujar peneliti Indef Achmad Erani Yustika.

Hal lain yang juga akan menjadi tantangan besar ekonomi adalah keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk menarik dana likuiditasnya (tapering off), dimana pada Januari mendatang sebanyak USD10 miliar dana likuiditas mereka yang parkir di negara-negara berkembang selama resesi AS akan kembali pulang ke empunya karena data-data perekonomian AS yang mulai membaik.

"Ini akan membuat nilai tukar rupiah masih tetap tertekan pada 2014. Atau secara rata-rata mencapai Rp11.800 per dolar AS," kata Destry.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis menyebut, target nilai tukar rupiah dalam APBN 2014 sebesar Rp10.500 per dolar sudah tidak realistis.

"Ini tidak realistis. Untuk tahun ini saja asumsi nilai tukarnya sudah meleset hampir 30 persen. Jadi antara asumsi dan target tidak tercapai," tutur Harry.

Sementara Sofjan berpendapat, terus terdepresiasinya rupiah hingga menyentuh kisaran Rp12.000 per USD merupakan tanda bahwa pemerintah belum mengantisipasi dampak dari tapering off The Fed.

"Negara lain sudah siap menghadapi tapering off AS, sedangkan kita belum siap menghadapi," ujar dia.

Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri menyebut situasi ekonomi 2014 masih tidak akan jauh berbeda dengan tahun ini.

"Kesimpulannya, situasi ekonomi tahun ini dan tahun depan merupakan situasi yang tidak mudah," kata Presiden SBY.

SBY juga meyakini isu pertumbuhan ekonomi hampir dipastikan akan menjadi 'jualan' seluruh partai politik dan juga calon presiden menjelang Pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2014 mendatang.

"Kampanye yang akan dilakukan oleh Partai politik dan capres bagaimana membuat ekonomi kita lebih baik, tumbuh dan berkembang," tandas SBY.

Fokus jaga stabilitas dari defisit


Menteri Keuangan M Chatib Basri mengaku bahwa angka-angka yang diajukan pemerintah dalam APBN 2014 merupakan batas atas atau angka optimis yang akan diupayakan tercapai sekuat tenaga oleh pemerintah.

Pemerintah akan berusaha fokus menjaga stabilitas dengan APBN 2014 tersebut, alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi yang dapat menyebabkan terus terjadinya defisit neraca berjalan.

"Jadi kami fokus stabilitas dan APBN 2014 ini bukan untuk dorong growth. Ini sinyal yang penting untuk pasar," ujar Chatib.

Meski demikian, Chatib menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap menjadi pertumbuhan ekonomi terbesar setelah China, yang berada di kisaran 5,5-6 persen pada 2014.

"Kita tetap akan tumbuh nomor dua di G-20. Artinya, masih ada ruang untuk penurunan growth, tapi tidak banyak ruang untuk ketidakstabilan ekonomi," pungkas Chatib.

Direktur Indef Enny Sri Hartati berharap permasalahan fundamental, yaitu defisit neraca berjalan dapat segera diselesaikan menjelang Pemilu 2014 mendatang untuk menjaga kepercayaan pasar.

"Karena defisit ini akan berimplikasi kepada melemahnya kinerja perekonomian dan dapat memicu aksi spkeulasi yang semakin liar hingga mendorong depresiasi rupiah semakin dalam," terang Enny.

Seperti diketahui, penyebab defisit neraca berjalan yang paling besar adalah impor bahan bakar minyak (BBM) yang tetap besar. Sedangkan pemerintah masih rajin memberikan subsidi kepada BBM, terbukti dari subsidi BBM 2014 yang mencapai Rp194 triliun.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengungkapkan, produksi BBM dalam negeri hanya mencapai 810-820 ribu barel, sedangkan kebutuhan konsumsi di atas 1 juta barel per hari, sehingga impor harus terus dilakukan dan akan melemahkan rupiah.

"Hal-hal seperti ini harus kita perhatikan bersama," terang Agus.

Salah satu hal yang akan dicoba pemerintah untuk menekan defisit neraca pembayaran akibat impor BBM adalah dengan menerapkan subsidi tetap BBM.

"Kita sudah harus mulai membiasakan kenaikan harga BBM mengikuti pasar. Apalagi kenaikan harga BBM seperti sekarang naiknya hanya satu step dan diam terlalu lama," ujar Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

Selain itu, penetapan kewajiban 10 persen biodiesel oleh pemerintah dalam solar dirasakan akan mengurangi impor solar yang selama ini juga berperan dalam menekan defisit neraca pembayaran.

"Bahkan harusnya mandatory tersebut bisa ditingkatkan hingga 30 persen," kata Destry.

Di samping itu, pemerintah berharap dengan paket kebijakan ekonomi I pada bulan Agustus dan juga paket kebijakan ekonomi II pada bulan Desember ini akan berpengaruh banyak dalam mengurangi impor dan meningkatkan ekspor, sehingga akan membawa nilai tukar rupiah kembali kepada kestabilan.

"Ini sebabnya kita telah keluarkan paket-paket kebijakan dan paket penyederhanaan perizinan di kantor wakil presiden diharapkan akan memperbaiki persepsi pasar terhadap rupiah kita," tandas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa.
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3999 seconds (0.1#10.140)