Hipmi tolak kebijakan kenaikan harga elpiji 12 kg
A
A
A
Sindonews.com - Hingar bingar perayaan tahun baru 2014 ternyata hanya berjalan singkat bagi rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan Pertamina di awal 2014 telah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga elpiji 12 kg sebesar 67 persen.
Tepat tanggal 1 Januari 2014, harga jual elpiji 12 kg naik dari Rp5.850 per kg menjadi Rp9.809 per kg. Sehingga harga jual dari Pertamina sebelumnya Rp70.200 per tabung menjadi Rp117.708 per tabung.
Menanggapi hal ini, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai bahwa pemerintah khususnya Pertamina sangat gegabah dalam menentukan kenaikan harga elpiji tersebut.
“Pertamina kurang cermat dalam memperhitungkan dampak kenaikan harga jual elpiji. Dari tinjauan kami di lapangan, kenaikan harga elpiji bukan lagi di kisaran 67 persen tapi sudah lebih dari 100 persen,” papar Ketua Umum BPP Hipmi Raja Sapta Oktohari, Jumat(3/1/2014).
Di level pengecer, lanjut Okto, harga elpiji saat ini sudah tembus di atas harga Rp150.000 untuk 12 kg, dari yang awalnya berada di kisaran Rp75.000.
"Jadi kenaikan harga elpiji saat ini menjadi variatif. Bahkan anggota kami di Papua melaporkan kalau harga elpiji 12 kg di sana sudah menyentuh harga Rp300 ribu-an. Artinya Pertamina tidak bisa memastikan pembentukan harga baru di level eceran,” lanjutnya.
Dia meyakini jika kenaikan harga elpiji ini akan berdampak pada lonjakan inflasi di awal 2014 ini. “Desember 2013 kan faktor utama yang mempengaruhi inflasi kan makanan dan bahan makanan. Kalau begini bisa bener-bener mid income trap,” papar Okto.
Hal ini cukup beralasan mengingat pasca kenaikan harga elpiji non Subsidi, konsumen kelas menengah yang awalnya menggunakan elpiji 12 Kg akan beralih ke elpiji 3 kg. Hal ini terbukti dengan semakin langkanya elpiji 3 kg. Apalagi, Pertamina sampai saat ini belum ada mekanisme control yang jelas untuk menjamin elpiji bersubsidi tepat sasaran.
Oleh karenanya dia berharap, Pertamina bisa me-review kenaikan harga elpiji. “Sebagai BUMN, Pertamina bukan orientasi di laba saja. Namun juga memiliki kewajiban Public Services Obligation (PSO). Jangan sampai, karena orientasi di laba, malah merusak daya beli masyarakat,” lanjutnya.
Okto juga menyampaikan, dampak dari kenaikan harga elpiji ini akan mempengaruhi harga-harga komoditas yang lain. Dia memperkirakan akan ada kenaikan sebesar 10-20 persen untuk komoditas yang lain.
“Kami memperkirakan akan ada kenaikan harga, khususnya makanan sekitar 10-20 persen. Elpiji termasuk bahan baku bagi bisnis makanan, dan porsinya sekitar 10 persen dari total produksi. Jika pembentukan harga elpiji di pasaran sampai 100 persen, ya tentu akan melipatgandakan dari yang 10 persen tersebut,” paparnya.
Dia meyakini, pengusaha makanan yang kebanyakan UKM akan menjerit. “Tidak bisa dipungkiri para pengusaha makanan akan menaikkan harga jual produknya. Apalagi kebijakan ini dibuat secara tergesa-gesa dan tanpa disosialisasikan dengan baik,” lanjutnya.
Hipmi sangat menyayangkan kenaikan elpiji yang sifatnya mendadak dan tanpa diawali sosialisasi ke masyarakat. Menurutnya, kenaikan harga jual elpiji haruslah melihat situasi perekonomian nasional. Jangan sampai pas kondisi perekonomian sedang tidak bagus, masyarakat harus terbebani lagi dengan kenaikan harga elpiji.
“Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami kepanikan akibat kenaikan elpiji 12 Kg. Kami takutkan pembentukan harga komoditas yang lain akan semakin liar,” pungkasnya.
Tepat tanggal 1 Januari 2014, harga jual elpiji 12 kg naik dari Rp5.850 per kg menjadi Rp9.809 per kg. Sehingga harga jual dari Pertamina sebelumnya Rp70.200 per tabung menjadi Rp117.708 per tabung.
Menanggapi hal ini, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai bahwa pemerintah khususnya Pertamina sangat gegabah dalam menentukan kenaikan harga elpiji tersebut.
“Pertamina kurang cermat dalam memperhitungkan dampak kenaikan harga jual elpiji. Dari tinjauan kami di lapangan, kenaikan harga elpiji bukan lagi di kisaran 67 persen tapi sudah lebih dari 100 persen,” papar Ketua Umum BPP Hipmi Raja Sapta Oktohari, Jumat(3/1/2014).
Di level pengecer, lanjut Okto, harga elpiji saat ini sudah tembus di atas harga Rp150.000 untuk 12 kg, dari yang awalnya berada di kisaran Rp75.000.
"Jadi kenaikan harga elpiji saat ini menjadi variatif. Bahkan anggota kami di Papua melaporkan kalau harga elpiji 12 kg di sana sudah menyentuh harga Rp300 ribu-an. Artinya Pertamina tidak bisa memastikan pembentukan harga baru di level eceran,” lanjutnya.
Dia meyakini jika kenaikan harga elpiji ini akan berdampak pada lonjakan inflasi di awal 2014 ini. “Desember 2013 kan faktor utama yang mempengaruhi inflasi kan makanan dan bahan makanan. Kalau begini bisa bener-bener mid income trap,” papar Okto.
Hal ini cukup beralasan mengingat pasca kenaikan harga elpiji non Subsidi, konsumen kelas menengah yang awalnya menggunakan elpiji 12 Kg akan beralih ke elpiji 3 kg. Hal ini terbukti dengan semakin langkanya elpiji 3 kg. Apalagi, Pertamina sampai saat ini belum ada mekanisme control yang jelas untuk menjamin elpiji bersubsidi tepat sasaran.
Oleh karenanya dia berharap, Pertamina bisa me-review kenaikan harga elpiji. “Sebagai BUMN, Pertamina bukan orientasi di laba saja. Namun juga memiliki kewajiban Public Services Obligation (PSO). Jangan sampai, karena orientasi di laba, malah merusak daya beli masyarakat,” lanjutnya.
Okto juga menyampaikan, dampak dari kenaikan harga elpiji ini akan mempengaruhi harga-harga komoditas yang lain. Dia memperkirakan akan ada kenaikan sebesar 10-20 persen untuk komoditas yang lain.
“Kami memperkirakan akan ada kenaikan harga, khususnya makanan sekitar 10-20 persen. Elpiji termasuk bahan baku bagi bisnis makanan, dan porsinya sekitar 10 persen dari total produksi. Jika pembentukan harga elpiji di pasaran sampai 100 persen, ya tentu akan melipatgandakan dari yang 10 persen tersebut,” paparnya.
Dia meyakini, pengusaha makanan yang kebanyakan UKM akan menjerit. “Tidak bisa dipungkiri para pengusaha makanan akan menaikkan harga jual produknya. Apalagi kebijakan ini dibuat secara tergesa-gesa dan tanpa disosialisasikan dengan baik,” lanjutnya.
Hipmi sangat menyayangkan kenaikan elpiji yang sifatnya mendadak dan tanpa diawali sosialisasi ke masyarakat. Menurutnya, kenaikan harga jual elpiji haruslah melihat situasi perekonomian nasional. Jangan sampai pas kondisi perekonomian sedang tidak bagus, masyarakat harus terbebani lagi dengan kenaikan harga elpiji.
“Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalami kepanikan akibat kenaikan elpiji 12 Kg. Kami takutkan pembentukan harga komoditas yang lain akan semakin liar,” pungkasnya.
(gpr)