Open access dan unbundling gas tidak cocok di RI
![Open access dan unbundling...](https://a-cdn.sindonews.net/dyn/732/content/2014/01/22/34/829087/l0OF487eSN.jpg)
Open access dan unbundling gas tidak cocok di RI
A
A
A
Sindonews.com - Saat ini Indonesia memiliki masalah dalam pengelolaan Minyak dan Gas (migas), utamanya berkaitan dengan permasalahan tata kelola migas sehingga berpotensi menggerus kedaulatan energi.
Liberalisasi perniagaan gas bumi diduga menjadi pangkal muncul permasalahan tersebut, termasuk memicu perseteruan antara Pertamina dan PGN.
Menurut Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi, kedaulatan energi di Indonesia masih belum tercapai. Ini dapat dilihat dari tata kelola gas bumi di Indonesia masih belum sesuai dengan konstitusi.
UU nomor 22 tahun 2001 sebagai implementasi UUD 1945 membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak Indonesia. Migas yang semestinya dijadikan komoditi strategis, dalam UU ini disebut sebagai komoditas pasar.
"Kondisi ini diperparah lagi dengan maraknya broker yang ikut menikmati industri migas nasional. Bahkan saat ini broker bisa mempengaruhi dalam pembuatan perundang-undangan atau peraturan menteri serta ikut mendesak penerapan aturan open access dan unbundling," ujar Fahmy dalam siaran persnya, Rabu (22/1/2014).
Sedangkan menurut Direktur Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (PSE-UGM), Deendarlianto, kajian yang dibuat PSE-UGM, open access dan unbundling yang tidak cocok diberlakukan di Indonesia.
Di Amerika Serikat saja, yang merupakan negara liberal, tidak semua negara bagian menerapkan open access dan unbundling. Bahkan, tidak semua negara bagian di USA yang menerapkan open access dan unbundling bisa menurunkan harga jual gas di tingkat konsumen.
“Tidak ada jaminan bahwa open access dan unbundling akan menurunkan biaya penyediaan gas bagi konsumen. Justru tercipta korelasi positif terhadap kenaikan harga pada negara yang menerapkannya,” terang Deendarlianto.
Lebih lanjut Deendarlianto mengatakan, Rusia, yang masih melakukan regulated untuk komoditas gas, harga justru lebih rendah dibanding harga gas di kebanyakan negara Eropa yang menerapkan liberalisasi melalui skema open access. Hal yang sama juga terjadi pada kasus regulated bisnis gas yang ada di Thailand dan Jepang.
Liberalisasi perniagaan gas bumi diduga menjadi pangkal muncul permasalahan tersebut, termasuk memicu perseteruan antara Pertamina dan PGN.
Menurut Peneliti Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmy Radhi, kedaulatan energi di Indonesia masih belum tercapai. Ini dapat dilihat dari tata kelola gas bumi di Indonesia masih belum sesuai dengan konstitusi.
UU nomor 22 tahun 2001 sebagai implementasi UUD 1945 membuka peluang liberalisasi dan penguasaan asing atas ladang minyak Indonesia. Migas yang semestinya dijadikan komoditi strategis, dalam UU ini disebut sebagai komoditas pasar.
"Kondisi ini diperparah lagi dengan maraknya broker yang ikut menikmati industri migas nasional. Bahkan saat ini broker bisa mempengaruhi dalam pembuatan perundang-undangan atau peraturan menteri serta ikut mendesak penerapan aturan open access dan unbundling," ujar Fahmy dalam siaran persnya, Rabu (22/1/2014).
Sedangkan menurut Direktur Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (PSE-UGM), Deendarlianto, kajian yang dibuat PSE-UGM, open access dan unbundling yang tidak cocok diberlakukan di Indonesia.
Di Amerika Serikat saja, yang merupakan negara liberal, tidak semua negara bagian menerapkan open access dan unbundling. Bahkan, tidak semua negara bagian di USA yang menerapkan open access dan unbundling bisa menurunkan harga jual gas di tingkat konsumen.
“Tidak ada jaminan bahwa open access dan unbundling akan menurunkan biaya penyediaan gas bagi konsumen. Justru tercipta korelasi positif terhadap kenaikan harga pada negara yang menerapkannya,” terang Deendarlianto.
Lebih lanjut Deendarlianto mengatakan, Rusia, yang masih melakukan regulated untuk komoditas gas, harga justru lebih rendah dibanding harga gas di kebanyakan negara Eropa yang menerapkan liberalisasi melalui skema open access. Hal yang sama juga terjadi pada kasus regulated bisnis gas yang ada di Thailand dan Jepang.
(gpr)