DPR sepakat bentuk Panja pengawasan frekuensi
A
A
A
Sindonews.com - Industri selular yang sudah jenuh dan terbatasnya frekuensi akibat terlalu banyaknya pemain, mendorong Komisi I melakukan RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan tujuh operator telekomunikasi.
Tercatat, para petinggi dari tujuh operator yakni Telkom, Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Axis Indonesia, IM2, dan Hutchinson menghadiri RDP itu di Gedung DPR Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Dalam RDP yang dipimpin oleh politisi dari Partai Demokrat Ramadhan Pohan, para anggota Komisi I mengingatkan seluruh operator bahwa frekuensi adalah aset negara dan merupakan sumber daya terbatas yang manfaat terbesarnya adalah untuk meningkatkan kapabilitas dan kapasitas masyarakat. Bukan sekadar potensi bisnis semata demi meraih keuntungan.
“Karena bersifat terbatas, maka pengalokasiannya harus sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan,” tegas Anggota Komisi I DPR, Chandra Tirta Wijaya.
Politisi dari PAN itu mengatakan, sesuai ketentuan modern lisencing yang mengikat, operator diberikan frekuensi namun wajib membangun jaringan hingga ke seluruh wilayah Indonesia, agar masyarakat termasuk di wilayah terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah NKRI dapat menikmati layanan selular secara merata. Dengan demikian, masyarakat berhak menikmati layanan telekomunikasi tanpa pandang bulu.
Terkait persoalan frekuensi yang kini sudah habis dikavling-kavling bagi 12 operator yang beroperasi di Indonesia, Komisi I secara khusus mengulas rencana XL Axiata untuk mengakuisisi operator milik Saudi Telecom, Axis Indonesia.
DPR tidak mempermasalahkan aksi korporasi semacam merger atau akuisisi, karena hal itu merupakan wujud konsolidasi untuk memperkuat pasar. Namun legislator mengingatkan agar merger atau akuisisi tidak bertentangan dengan regulasi yang menjadi payung hukumnya.
Menurut Evita Nursanti, anggota Komisi I dari PDIP, merger merupakan hal yang wajar. Namun bagi industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk aset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
Tidak termasuk spektrum frekuensinya, sebab frekuensi bukan merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.
Karenanya, Evita mempertanyakan pengalihan frekuensi milik Axis 1.800 secara langsung kepada XL. Keputusan Menkominfo Tifatul Sembiring itu jelas bertabrakan dengan regulasi yang mengaturnya. Harusnya seluruh frekuensi yang dikelola oleh Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulang dan dikelola oleh operator memiliki komitmen membangun jaringan ke seluruh wilayah Indonesia.
“Keputusan Menkominfo jelas melanggar regulasi. Otomatis keputusan yang telah dikeluarkan menyangkut akuisisi menjadi cacat hukum, sehingga proses tersebut harus dibatalkan,” tandas Evita.
Apalagi ternyata dalam RDP tersebut terungkap bahwa, tak hanya XL yang meminati frekuensi milik Axis. Dua operator lain, yakni Telkomsel dan Hutchinson juga sudah mengirimkan surat secara resmi kepada Kemenkominfo agar dapat diberikan tambahan frekuensi di 1800, untuk meningkatkan kapasitas jaringan yang sudah overloaded.
Namun hingga saat ini, Kementerian yang dipimpin oleh Tifatul Sembiring tak merespon permintaan dua operator itu.
Karenanya, untuk menata ulang industri selular yang kini telah karut marut, terutama untuk mencegah peralihan frekuensi yang berpotensi merugikan negara, Komisi I DPR merencanakan untuk membentuk Panja Pengelolaan dan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Selanjutnya pembentukan Panja tersebut akan dibahas dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI.
Tercatat, para petinggi dari tujuh operator yakni Telkom, Telkomsel, Indosat, XL Axiata, Axis Indonesia, IM2, dan Hutchinson menghadiri RDP itu di Gedung DPR Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Dalam RDP yang dipimpin oleh politisi dari Partai Demokrat Ramadhan Pohan, para anggota Komisi I mengingatkan seluruh operator bahwa frekuensi adalah aset negara dan merupakan sumber daya terbatas yang manfaat terbesarnya adalah untuk meningkatkan kapabilitas dan kapasitas masyarakat. Bukan sekadar potensi bisnis semata demi meraih keuntungan.
“Karena bersifat terbatas, maka pengalokasiannya harus sesuai dengan regulasi yang telah ditetapkan,” tegas Anggota Komisi I DPR, Chandra Tirta Wijaya.
Politisi dari PAN itu mengatakan, sesuai ketentuan modern lisencing yang mengikat, operator diberikan frekuensi namun wajib membangun jaringan hingga ke seluruh wilayah Indonesia, agar masyarakat termasuk di wilayah terpencil, daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah NKRI dapat menikmati layanan selular secara merata. Dengan demikian, masyarakat berhak menikmati layanan telekomunikasi tanpa pandang bulu.
Terkait persoalan frekuensi yang kini sudah habis dikavling-kavling bagi 12 operator yang beroperasi di Indonesia, Komisi I secara khusus mengulas rencana XL Axiata untuk mengakuisisi operator milik Saudi Telecom, Axis Indonesia.
DPR tidak mempermasalahkan aksi korporasi semacam merger atau akuisisi, karena hal itu merupakan wujud konsolidasi untuk memperkuat pasar. Namun legislator mengingatkan agar merger atau akuisisi tidak bertentangan dengan regulasi yang menjadi payung hukumnya.
Menurut Evita Nursanti, anggota Komisi I dari PDIP, merger merupakan hal yang wajar. Namun bagi industri telekomunikasi, ada perlakuan khusus yang harus diketahui khalayak bahwa merger hanya untuk aset dan pelanggan perusahaan yang dimerger atau diakuisisi.
Tidak termasuk spektrum frekuensinya, sebab frekuensi bukan merupakan aset perusahaan namun berupa hak pakai. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU No. 36 tahun 1999 mengenai Telekomunikasi bahwa penggunaan spektrum frekuensi radio wajib mendapatkan izin pemerintah.
Karenanya, Evita mempertanyakan pengalihan frekuensi milik Axis 1.800 secara langsung kepada XL. Keputusan Menkominfo Tifatul Sembiring itu jelas bertabrakan dengan regulasi yang mengaturnya. Harusnya seluruh frekuensi yang dikelola oleh Axis wajib dikembalikan ke negara untuk ditender ulang dan dikelola oleh operator memiliki komitmen membangun jaringan ke seluruh wilayah Indonesia.
“Keputusan Menkominfo jelas melanggar regulasi. Otomatis keputusan yang telah dikeluarkan menyangkut akuisisi menjadi cacat hukum, sehingga proses tersebut harus dibatalkan,” tandas Evita.
Apalagi ternyata dalam RDP tersebut terungkap bahwa, tak hanya XL yang meminati frekuensi milik Axis. Dua operator lain, yakni Telkomsel dan Hutchinson juga sudah mengirimkan surat secara resmi kepada Kemenkominfo agar dapat diberikan tambahan frekuensi di 1800, untuk meningkatkan kapasitas jaringan yang sudah overloaded.
Namun hingga saat ini, Kementerian yang dipimpin oleh Tifatul Sembiring tak merespon permintaan dua operator itu.
Karenanya, untuk menata ulang industri selular yang kini telah karut marut, terutama untuk mencegah peralihan frekuensi yang berpotensi merugikan negara, Komisi I DPR merencanakan untuk membentuk Panja Pengelolaan dan Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Selanjutnya pembentukan Panja tersebut akan dibahas dalam Rapat Intern Komisi I DPR RI.
(gpr)