Apjatel: Penerapan Network Sharing Bisa Membuat Perang Harga
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) Muhammad Arif Angga, mengatakan mekanisme network sharing atau berbagi jaringan di industri telekomunikasi sudah berjalan sangat baik, yaitu di perangkat telekomunikasi pasif seperti tower atau menara telekomunkasi dan ducting. Tentu saja sharing ini menghemat Capex (Capital expenditure) alias belanja modal.
Tetapi penerapan network sharing antara sesama penyelenggara jaringan masih sulit dilaksanakan karena mereka berada pada pasar yang sama yaitu penyewaan jaringan. Justru, network sharing antar penyelenggara jaringan berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan kanibalisme.
"Sekilas sharing itu menguntungkan bagi penggelaran jaringan karena tidak perlu investasi. Namun network sharing antara sesama penyelenggara jaringan berpotensi menimbulkan perebutan pangsa pasar yang sama. Sebab mereka berusaha di jalur dan pangsa pasar sama," ungkap Angga di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Kondisi sulitnya sharing juga dialami penyelenggara selular. Lanjut Angga, jika salah satu operator telah melakukan investasi besar-besaran, lalu diminta untuk melakukan sharing jaringan dan frekuensi di satu wilayah, maka ada potensi pangsa pasar penyelenggara selular tersebut digerus operator yang baru masuk dengan mekanisme sharing tersebut.
Penyelenggara yang baru masuk tentu akan melakukan promosi dan menjual harga yang murah atau bahkan dibawah harga produksi untuk mendapatkan market di tempat baru tersebut. Akibatnya akan terjadi persaingan yang tidak sehat dan saling kanibal.
"Sehingga network sharing itu tidak mudah juga bagi penyelenggara jaringan dan penyelenggara selular. Justru jika network sharing dilakukan dengan gegabah akan berpotensi saling membunuh antar penyelenggara jaringan. Operator yang baru masuk di suatu wilayah dengan network sharing akan melakukan perang harga. Berbeda dengan network sharing antara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa yang saat ini sudah berjalan dengan baik. Hal ini karena penyelenggara jasa hanya menyewa dari pemilik jaringan dan mereka tidak bersaing secara langsung," ujar Angga.
Perang harga antara sesama penyelenggara jaringan akan berujung pada persaingan usaha tidak sehat yang dapat mengancam keberlangsungan industri. Bagaimana penyelenggara jaringan bisa menggelar jaringan dengan agresif kalau bisnisnya sendiri tidak sustainable.
Di sisi lain, penyelenggara jasa atau perusahaan ISP hanya melakukan fungsi intermediasi penyedia layanan telekomunikasi. ISP hanya membutuhkan satu router dan mereka sudah bisa berjualan jasa telekomunikasi.
Penyelenggara jasa telekomunikasi tak perlu membangun NAP (Network Acces Provider). Mereka cukup menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang memiliki NAP. Artinya risiko bisnis yang dihadapi penyelenggara jasa jauh lebih kecil. Dengan modal yang sedikit akan didapatkan pengembalian modal dalam waktu singkat ditambah margin yang lumayan.
Sedangkan untuk penyelenggara jaringan atau operator selular baru bisa mendapatkan pemasukan setelah membangun jaringan dan menjual kapasitas jaringan tersebut. Investasi yang dikeluarkan penyelenggara jaringan nilainya besar dan waktu pengembaliannya juga lama. Disamping itu, risiko serta ketidakpasitian bisnis yang dihapapi juga tinggi.
Tetapi penerapan network sharing antara sesama penyelenggara jaringan masih sulit dilaksanakan karena mereka berada pada pasar yang sama yaitu penyewaan jaringan. Justru, network sharing antar penyelenggara jaringan berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan kanibalisme.
"Sekilas sharing itu menguntungkan bagi penggelaran jaringan karena tidak perlu investasi. Namun network sharing antara sesama penyelenggara jaringan berpotensi menimbulkan perebutan pangsa pasar yang sama. Sebab mereka berusaha di jalur dan pangsa pasar sama," ungkap Angga di Jakarta, Rabu (17/6/2020).
Kondisi sulitnya sharing juga dialami penyelenggara selular. Lanjut Angga, jika salah satu operator telah melakukan investasi besar-besaran, lalu diminta untuk melakukan sharing jaringan dan frekuensi di satu wilayah, maka ada potensi pangsa pasar penyelenggara selular tersebut digerus operator yang baru masuk dengan mekanisme sharing tersebut.
Penyelenggara yang baru masuk tentu akan melakukan promosi dan menjual harga yang murah atau bahkan dibawah harga produksi untuk mendapatkan market di tempat baru tersebut. Akibatnya akan terjadi persaingan yang tidak sehat dan saling kanibal.
"Sehingga network sharing itu tidak mudah juga bagi penyelenggara jaringan dan penyelenggara selular. Justru jika network sharing dilakukan dengan gegabah akan berpotensi saling membunuh antar penyelenggara jaringan. Operator yang baru masuk di suatu wilayah dengan network sharing akan melakukan perang harga. Berbeda dengan network sharing antara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa yang saat ini sudah berjalan dengan baik. Hal ini karena penyelenggara jasa hanya menyewa dari pemilik jaringan dan mereka tidak bersaing secara langsung," ujar Angga.
Perang harga antara sesama penyelenggara jaringan akan berujung pada persaingan usaha tidak sehat yang dapat mengancam keberlangsungan industri. Bagaimana penyelenggara jaringan bisa menggelar jaringan dengan agresif kalau bisnisnya sendiri tidak sustainable.
Di sisi lain, penyelenggara jasa atau perusahaan ISP hanya melakukan fungsi intermediasi penyedia layanan telekomunikasi. ISP hanya membutuhkan satu router dan mereka sudah bisa berjualan jasa telekomunikasi.
Penyelenggara jasa telekomunikasi tak perlu membangun NAP (Network Acces Provider). Mereka cukup menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang memiliki NAP. Artinya risiko bisnis yang dihadapi penyelenggara jasa jauh lebih kecil. Dengan modal yang sedikit akan didapatkan pengembalian modal dalam waktu singkat ditambah margin yang lumayan.
Sedangkan untuk penyelenggara jaringan atau operator selular baru bisa mendapatkan pemasukan setelah membangun jaringan dan menjual kapasitas jaringan tersebut. Investasi yang dikeluarkan penyelenggara jaringan nilainya besar dan waktu pengembaliannya juga lama. Disamping itu, risiko serta ketidakpasitian bisnis yang dihapapi juga tinggi.